Senin, 23 Mei 2016

PELAYARAN DAN PERDAGANGAN DI BELAHAN BARAT NUSANTARA PADA ABAD KE-7-15 MASEHI




PELAYARAN DAN PERDAGANGAN DI BELAHAN BARAT NUSANTARA PADA ABAD KE-7-15 MASEHI
Bambang Budi Utomo

Sumber yang amat kaya dari bukti arkeologi mengenai peris­tiwa sejarah, antara lain diperoleh pada sisa runtuhan perahu - yang tetap "terpelihara" dalam lingkungan dimana objek tersebut berada - yang melalui kerja arkeologi maritim berhasil diliput.Sebagai contoh, ekskavasi atas situs runtuhan perahu di sebelah timur Quanzhou di wilayah provinsi Fujian, Tiongkok, memperlihatkan bahwa cargo perahu tersebut adalah barang dagangan yang dibawa dari Asia Tenggara, berupa kayu gaharu, kayu cendana, kemenyan, lada, dan pinang sirih. Itu adalah sisa sebuah runtuhan perahu yang berukuran cukup besar dengan panjang sekitar 34,5 meter dan lebar diduga 11 meter, yang diperkirakan berasal dari abad ke-13.
Contoh lain dijumpai di Pulau Jawa ketika pada tahun 1993 penduduk Kampung Kedung di dekat Situs Leran, Gresik menemukan sisa sebuah runtuhan pera­hu dalam kedalaman sekitar 2,5 meter. Di dalam badan perahu — yang dibangun dengan menggunakan teknologi pasak, artinya tanpa paku sepotongpun  — itu masih dijumpai sisa muatannya, antara lain kemiri dan keluak/pucung. Tempat ditemukannya runtuhan perahu itu, di bagian barat kampung, selama ini di sebut Pangkalan, yang memiliki arti tempat berlabuh atau menambatkan perahu.
Gambaran tentang jumlah objek arkeologi maritim yang dapat dimanfaatkan sebagai bukti peristiwa masa lalu menjadi semakin besar mengingat begitu banyak perahu samudera yang tenggelam pada abad-abad keti­ka European fleets of sailing ships membangun perdagangan dan kekuatan di Timur. Sejauh ini baru ditemukan sekitar dua lusinan runtuhan perahu pada situs-situs yang tersebar di dua samudera dan pada pantai dari tiga benua. Padahal, catatan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) selama 50 tahun saja - sejak 1603 hingga 1653 – memperlihat­kan hilangnya tidak kurang 100 dari 788 kapal yang berlayar ke atau dari Hindia Belanda. Angka itu termasuk 56 di negara kepulauan Indonesia, Tiongkok, Jepang, India, serta di beberapa tempat lain di Timur. Jumlah tersebut di atas terbatas hanya pada kapal-kapal armada Belanda. Logikanya, jumlah itu tentu akan bertambah bila dikumpulkan pula catatan bangsa-bangsa lain. Kita tahu bahwa orang-orang Spanyol, Portugis, Inggris, Tiongkok, serta bangsa/suku bangsa di seputar "Laut Tengah Asia Tenggara" (Laut Tiongkok Selatan), selama berabad-abad juga ikut meramaikan lalu lintas pelayaran dan perdagangan Nusantara. Berbagai peristiwa yang mewarnai aktivitas masa itu, yang diakibatkan keganasan alam maupun keterbatasan teknologi pelayaran yang digunakan, tentu menambah angka bilangan perahu-perahu yang kelak menjadi objek penelitian arkeologi maritim.
Memang banyak peninggalan yang layak dijadikan objek penelitian, namun disadari bahwa masih sedikit sumbangan yang dapat diberikan mengingat bilangan kegiatan arkeologi maritim sendiri masih jauh tertinggal dibandingkan dengan aktivitas arkeo­logi lainnya. Walaupun demikian tetap harus diakui bahwa arkeologi maritim telah memberikan sumbangan untuk mengerti sejarah dan arke­ologi Asia Tenggara. Hasil kegiatannya, antara lain mampu menyodorkan beberapa bukti baru tentang perkembangan/sejarah pembangunan perahu maupun mekanisme hubung­an dagang regional.

1. Pelayaran dan sistem ekonomi
Berbicara tentang sistem ekonomi tentu tidak lepas dari aspek pro­duk­si, distribusi dan konsumsi. Alam Nusantara telah bermurah hati menye­dia­kan berbagai komoditi yang merupakan monopoli alamiah. Adanya produksi yang amat layak dipasarkan itu juga dapat dihubungkan dengan kondisi lokasi Nusantara yang merupakan tempat persilangan lalu-lintas laut yang meng­hubungkan benua Timur dan benua Barat. Bila pada mulanya peman­fa­atan navigasi berteknologi perahu layar sekedar menempuh rute menyu­suri pantai, lama-kelamaan pelayaran samu­dera dapat diselenggara­kan, namun tetap memerlukan tempat berlabuh pada jarak tertentu untuk menam­bah perbekalan.
Kebutuhan akan rempah-rempah sebagai produk mono­poli alamiah menim­bul­kan pelayaran perdagangan yang ramai ke dan dari Nusantara. Pang­kal­nya ada di Laut Merah, Teluk Parsi dan Jazirah Arab, dengan Kepulauan Maluku sebagai terminal akhir. Rute pelayaran perdagangan itu sambung-menyam­bung melewati Gujarat, Malabar, Koromandel, Bengala, Melaka, dan tempat lain di ka­was­an Nusantara dan Laut Tiongkok Selatan. Dalam kaitannya dengan distribusi produk alam Nusantara, kondisi demikian memunculkan perantara dalam perda­gangan.
Lintas perdagangan antar bangsa lewat laut yang menyinggahi pantai-pantai Kepulauan Nusantara, sejak dahulu merupakan sumber utama pen­dapatan bandar-bandar pesisir. Hal yang demikian, khususnya berlangsung pada tempat dan saat penduduknya dapat ikut serta dalam perdagangan itu dengan mempergunakan perahu mereka sendiri. Perdagangan laut yang menguntungkan itu, yang terjadi bahkan jauh sebelum abad ke-15, ternyata berkaitan pula dengan penyebaran/ sosialisasi Islam.
Pada saat itu, aristokrasi Nusantara yang memegang kekuasaan politik dan mendominasi perdagangan cenderung melakukan ekspansi – politik - kapitalistis yang tidak mendorong terciptanya kewiraswastaan. Terse­lenggaranya pelayaran dan perdagangan di bandar-bandar yang me­muncul­kan jalur komunikasi terbuka membentuk mobilitas sosial yang hori­zontal dan vertikal. Situasi demikian menim­bulkan faktor yang mengu­rangi kekuatan sistem feodal yang ada. di satu segi, berkurangnya keterikatan feodal mam­pu membentuk citra yang baik bagi pedagang dalam prestise sosial maupun politik. Oleh karena itu, Islam yang tidak mengenal perbedaan status manusia, yang pada awalnya dianut oleh para pedagang dan pelaut itu, menjadi mudah diterima oleh masyarakat di bandar-bandar.
Kedatangan bangsa Portugis menimbulkan persaingan dalam dunia perda­gangan. Dampaknya terasa pula bagi kehidupan beragama, mengingat pengelom­pokkan antar pedagang yang juga tidak memisahkan unsur kea­gamaan. Keda­tangan Portugis dapat dikatakan ditolak oleh masyarakat bandar yang sudah Islam. Bahwa kemudian Portugis berseteru dengan Spanyol dan Belanda, hal itu lebih disebabkan perbuatan monopoli perda­gangan.
Pada sistem perdagangan terbuka abad-abad setelah kedatangan bangsa Eropa, peran pedagang Nusantara dapat di katakan bersifat komplementer. Mereka hanya sebagai pelengkap saja. Sebaliknya dengan saudagar Tionghoa yang perannya cukup menonjol, walaupun kemudian dapat dilumpuhkan oleh VOC.
Kemakmuran bandar-bandar Nusantara pada abad ke-16 bertumpu pada perdagangan. Penguasa di pedalaman memperoleh kesempatan mena­rik keuntung­an dari lalu lintas barang perdagangan di pesisir. Pelayaran dagang Portugis, yang merambah kekawasan Nusantara sejak awal abad ke-16, telah merugikan kemak­muran bandar-bandar itu. Hilangnya armada perahu yang besar sebagai akibat usaha yang gagal mengusir Portugis dari Melaka, tentu sukar ditebus. Ditambah lagi dengan kericuhan politik dalam negeri di pertengahan abad ke-16, juga merupakan penyebab kemerosotan bandar-bandar tadi. Puncaknya terjadi pada abad ke-17, ketika pesisir Jawa kehilangan kemerdekaan karena dominasi ambisi Mataram dan kemudian cengkeraman kompeni Belanda.
Pada abad ke-17, negeri-negeri Eropa Utara, terutama Belanda dan Inggris, juga memasuki jalur lalu lintas yang sudah ada sebelumnya. Keber­adaan serikat-serikat dagang Hindia mereka, memberi arah baru kepada sebagian perdagangan maritim trans-Asia yang mengun­tungkan mereka. Sebaliknya, kegiatan mereka di Nusantara menyebabkan mundurnya secara cepat unsur-unsur jaringan tradisional yang pemah ada. Itu ditandai dengan surutnya perahu-perahu kepulauan bertonase besar pada abad ke-17. Jaringan tradisionalnya sendiri memang tidak berkurang ke­giatannya, namun orang Arab dan Tionghoa yang mendominasi kelangsung­annya.
Selanjutnya, ketika sistem ekonomi kapitalis pada akhir abad ke-19 diterap­kan di Nusantara, kemungkinan-kemungkinan tradisional masa depan sejarah di kawasan Nusantara berubah secara drastis. Keti­ka itu bangsa Barat meraup bagian terbesar kegiatan maritimnya.
Dengan makin meningkatnya teknologi, kegiatan-kegiatan ekonomi makin dikuantifikasi. Bila pada awalnya perekonomian Nusantara terutama berdasar pada ekspor produk primer, hasil bumi dan hasil alamnya, kelak diwaktu belakangan, pertambangan yang menjadi tulang punggung per­ekonomian Nusantara. Kita dapat mengatakan bahwa perkembangan dalam ekspor produk alam Nusantara ialah peralihan dari perdagangan barang eksklusif (rempah-rempah), ke bahan mentah industri yang bervolume besar. Hal itu, antara lain merupakan  dampak berlang­sungnya revolusi indus­tri di Inggris pada abad ke-18-19, yang diperluas dengan dibukanya Terusan Suez pada abad ke-19. Ironisnya, bila pada awalnya masya­rakat Nusantara mampu meraih keuntungan dari kondisi yang demikian, semua itu akhirnya lebih banyak dikantongi oleh bangsa Belanda yang beberapa saat kemu­dian menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.

2.    Jaringan pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara
Aktivitas pelayaran yang dibarengi dengan perdagangan dan kadang-kadang penyebaran agama, membentuk suatu jaringan pelayaran dan perda­gangan di Nusantara. Dilihat dari sifat aktivitasnya, pelayaran dan perdagangan itu ada insuler (pelayaran/perdagangan di sebuah pulau), dan ada interinsuler (pelayaran  antar pulau). Semuanya ini mem­bentuk sebuah jaringan pelayaran dan perda­gangan di Nusantara. Ada kala­nya kedua jenis pelayar­an/perdagangan tersebut di­ba­rengi dengan pe­nye­baran agama yang pada awalnya dimulai dari pela­yaran/ perdagangan antar­bangsa/antarkerajaan, misalnya antara India dan kerajaan di Nusantara yang kemudian menyebar agama Hindu/Buddha. Dengan latar belakang agama ini kemudian timbul kerajaan-kerajaan dengan coraknya sesuai dengan agama yang berkembang pada waktu itu.
Dua kata, “pelayaran” dan “perdagangan” erat pertalian­nya disatukan dalam sebuah wujud benda yang dikenal dengan nama perahu atau kapal. Laut sebagai media utama dalam peng­angkutan, komunikasi dan perda­gang­an merupa­kan unsur utama dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia di Asia Tenggara sejak 3000 SM. Meskipun telah lama, namun kepesat­an­nya baru tampak jelas pada akhir periode Neolitik sekitar 1500 SM dan periode logam sekitar 1000 SM. Itulah awal mobilitas manusia di masa lampau dalam usahanya mengarungi laut dengan menggunakan alat transportasi perahu.
Hampir 2000 tahun lamanya orang-orang di belahan barat Nusantara terlibat dalam jaringan perdagangan maritim Asia dan membangun serang­kaian  tradisi perkapalan. Mereka memperoleh, sebagaimana halnya orang-orang di Asia dan Eropa, nama sebagai pelaut berpengalaman yang meng­gunakan lingkungan laut sebaik mungkin. Menangkap ikan telah lama men­jadi sumber protein utama bagi masyarakat dan sudah tentu menyumbang kebiasaan mereka dengan ilmu pela­yar­an. Pada akhir millenium pertama Sebelum Masehi, perdagangan maritim setempat dan kawasan serta per­tukaran jaringan meluas hingga perdagangan jarak jauh yang membawa kapal dan pedagang ke pelabuhan-pelabuhan Tiongkok selatan di Timur; Teluk Persia, Laut Merah, serta Madagaskar di Samudera Indonesia.
Para pakar sejarah kemaritiman menduga bahwa perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah perairan Nusantara pa­da masa jauh sebe­lum bukti tertulis menyebut­kan­nya (prasasti dan naskah-naskah kuno). Dugaan ini didasarkan atas sebaran artefak perunggu seperti kapak dan beja­na pe­runggu yang dikenal dengan nama nekara atau moko di berbagai tem­­pat di Nusantara mulai dari Sumatera hingga Irian, Miangas (Sulawesi Utara) hingga Rote (Nusatenggara Timur). Berdasar­kan bukti-bukti ini, mere­ka yakin bahwa pada masa akhir prase­jarah telah dikenal adanya jaringan perda­gangan antara Nusantara dan Asia darat­an. Kemudian pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada jaringan perdagangan antara Nusantara dan India. Bukti-bukti tersebut berupa barang-barang tembikar dari India Selatan/Tenggara (Arika­me­du, Karai­kadu dan Anura­dhapura) yang ditemukan di Sumatera Selatan (Karang Agung), Jawa Barat (Buni, Batujaya, dan Patenggeng) dan Bali (Sem­biran). Keberadaan barang-barang tem­bikar tersebut di Nusantara tentunya diang­kut dengan perahu/kapal yang mampu meng­arungi samudra mulai dari tempat asalnya di sebelah tenggara India hingga tiba di Nusantara.







 


Jalur-jalur pelayaran di sebelah barat Nusantara pada sekitar abad ke-7 Masehi menurut rekonstruksi O.W. Wolters (1974).
 
 















Dari segi geografisnya Nusantara merupakan pasar alami. Hampir semua kawasan di Nusantara dapat dicapai dengan menggunakan perahu/kapal. Nusan­tara juga beruntung karena dapat menikmati pergantian angin musim barat­laut dan baratdaya pada setiap tengah tahunnya. Para pelaut dapat berlayar ke Tiongkok, India, Arab, atau kawasan timur Nusantara pada salah satu angin musim dan kembali pada musim yang lain. Walaupun jalur laut antara ujung timur dan ujung barat Eropa-Asia cukup aman, para pedagang Arab dan India, para pendeta Bud­dha dan Hindu, dan para penziarah lebih suka menggunakan jalur darat. Inilah yang dikenal dengan nama Jalur Sutra. Sejak akhir abad ke-14 jalur laut semakin padat jika dibandingkan dengan jalur darat, menunjukkan lonjakan pertumbuhan kapal dan pedagang Eropa dan Asia yang menuju pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Tanah Melayu, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Perairan Asia Tenggara dengan Selat Melakanya meru­pa­kan salah satu perairan tersibuk di dunia pada periode seja­rah antara abad ke-3-19 Masehi. Berbagai jenis kapal dengan teknologinya yang berbeda dari berba­gai bangsa berlalu-lalang di perairan yang sibuk itu. Semangat pengemba­raan aki­bat ke­ingin-tahuan manusia tentang laut dan dunia lain di sebe­rang laut, tekanan dan alasan politik, peperangan, penye­bar­an agama dan eko­nomi telah mempercepat per­kembangn bidang kemari­tim­an. Beberapa tem­pat di dunia, di antaranya wila­yah Asia Barat, Asia Tenggara, dan Tiongkok merupakan wilayah utama yang menyum­bang pada perkembangan tersebut.
Pelayaran Nusantara telah lama dirintis jauh sebelum tarikh Masehi. Perin­tisan pelayaran ini antara lain “dipicu” oleh perdagangan rempah-rempah. Rouffaer merekonstruksi perpin­dah­an manusia dari Asia Tenggara daratan ke Nusantara berda­sarkan tinggalan budaya masa lampau yang berupa nekara pe­rung­gu dari situs-situs yang ditemukan di Dongson (Vietnam), Semenanjung Tanah Melayu, menyeberang ke Sumatera, Jawa, Bali, Nusatenggara hingga ke Pulau Kei di Ma­luku Tenggara.
Suatu jaringan pelayaran di Nusantara telah terbentuk pada awal abad pertama masehi. Jaringan ini terbentuk antara lain karena ada satu komoditi perda­gangan yang cukup digemari pada masa itu, yaitu rempah-rempah dan mempunyai daerah pemasaran yang luas. Ber­dasarkan sumber-sumber naskah Ero­pa, Rouf­faer menduga bahwa rempah-rempah yang diperda­gang­­kan di Eropa berasal dari Nusantara. Komoditi ini tampak­nya hanya dihasilkan di Nusantara. Karena itulah, banyak peda­gang yang datang jauh-jauh menempuh perjalanan melalui laut untuk mencarinya.
Daya tarik cengkeh, pala, dan bunga pala, menjadi dorongan utama perkem­bangan perdagangan antarabangsa di Asia Tenggara. Pohon ceng­keh (Eugenia aromatica, Kuntze) terdapat di Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Pala dan bunga merahnya diperoleh dari pohon pala (Myristica fragrans, Linn) terdapat di Pulau Banda. Setelah tahun 1550 pohon-pohon ditanam di kawasan lain di Nusan­tara. Dengan kemajuan teknologi budidaya tanaman, pada akhirnya dapat ditanam di beberapa tempat di dunia.
Pokok permasalahan untuk mengetahui dikenalnya Malu­ku dalam kaitannya dengan dunia luar dapat ditelusuri dari sumberdaya alam yang dihasilkan Maluku, yaitu rempah-rempah khususnya pala dan cengkeh. Pakar tumbuh-tumbuhan me­nya­­ta­kan bahwa kedua macam rempah tersebut hanya dapat tumbuh di bumi Malu­ku. Pala hanya dapat tumbuh di Maluku Tengah, sedangkan cengkeh di Maluku Utara. Dengan demikian, pala dan cengkeh termasuk komoditi yang langka seku­rang-kurangnya un­tuk masa awal tarikh masehi. Karena banyak pemi­nat­nya, se­men­­­tara tempat mengha­silkannya terba­tas, maka komoditi tersebut harganya cukup mahal.
Melalui komoditi cengkeh dan pala tersebut, dapat dite­lusuri jalur-jalur pela­yaran dan perdagangan sampai seberapa jauh hubungan Maluku dengan dunia luar. Sebuah sumber ter­tulis Romawi dari Plinius Major (tahun 75 Masehi) menye­butkan garyophyllon (nama tumbuhan yang hanya dapat tumbuh di hutan sakti India). Dari keterangan sumber tersebut, Rouffaer men­duga bahwa yang dimaksud dengan garyophyllon adalah cengkeh, dan telah dikenal di benua Eropa pada awal abad Masehi. Namun, jauh sebe­lum itu pada sebuah ekskavasi arkeologis di Situs Terqa (Mesopotamia, Syria) ditemukan sebuah jambangan yang penuh berisi cengkeh. Jam­bang­an ini ditemukan pada sebuah ruangan dapur rumah sederhana yang berasal dari sekitar tahun 1700 SM. Sebuah sumber Tiongkok menginfor­masikan bahwa salah seorang Kaisar Dinasti Han (abad ke-3 SM) mengharuskan para peting­gi kekaisaran untuk mengulum cengkeh ketika menghadap.
Sumber Eropa lainnya menyebutkan bahwa St. Silvester, seorang Uskup Roma (314-335 Masehi) menerima hadiah 150 pon cengkeh. Sumber lain menye­butkan bahwa pada tahun 547 Cosmos Indicopleustis mencatat di antara barang-barang da­gang­annya terdapat rempah-rempah yang didatang­kan dari Tiongkok dan Srilanka.
Informasi dari sumber-sumber tadi menimbulkan perta­nyaan. Sebuah komo­diti yang "hanya” dihasilkan dari satu tem­pat, yaitu Maluku, tetapi ada di tempat lain yang letaknya jauh dari sumbernya. Pertanyaannya, siapa yang membawa komoditi tersebut, apakah mereka yang datang mengambil, atau orang dari Maluku yang membawanya. Atau dibawa secara berantai dari Maluku, India (Srilanka), kemudian Eropa. Kemudian bagai­mana dengan bentuk alat angkutnya?
Sumber-sumber tertulis tentang hasil dari Maluku ter­sebut, meng­indika­si­kan bahwa bukan pembeli yang datang ke Maluku, melainkan orang-orang dari Maluku (Nusantara) yang datang. Kalau pembeli yang datang, biasanya diceri­terakan juga tempat yang didatangi itu. Sebuah deskripsi “menyesatkan” yang ditulis oleh penulis Arab terkenal Ibnu Baţūţā (1350 Masehi) menyatakan: “cengkeh yang diperda­gang­kan adalah batang po­hon­­nya, buahnya disebut pala, dan bunganya dinamakan fuli. Ini berarti, Ibnu Baţūţā tidak tahu bagaimana bentuk pohon ceng­keh dan bagai­mana bentuk pohon pala.




 











Sampai seberapa jauh para pelaut Nusantara ini meng­arungi laut. Apakah mereka hanya melayari laut/selat yang me­misahkan antar pulau, atau lebih jauh lagi sampai ke Asia Selatan, Tiongkok, Asia Timur, atau lebih jauh lagi bahkan sampai ke Eropa? Sebuah gambar cat air yang dibuat oleh Alphonse Pellion yang berjudul “Kora-kora from Gebe, North Moluccas, 1818” menggambarkan sebuah perahu besar dengan 9-10 pendayung dan sebuah layar besar. Perahu besar ini sangat layak untuk pelayaran jarak jauh dan dipergunakan untuk mengangkut rempah-rempah, khususnya pala dan cengkeh, ke pelabuhan entrepôt di Asia Tenggara.[11]
Pada awalnya pedagang atau pelaut dari belahan barat (India dan Arab) Nusantara yang datang. Beberapa abad kemudian, ketika Tiongkok mulai mengem­­bangkan teknologi mari­tim dan mulai mengeksport komoditi perdagang­an­nya, baru­lah pelayaran dan perdagangan di Nusantara diramai­kan oleh peda­gang dari belahan timur (Champa, Tiongkok, dan Jepang). Dari kawasan ini ko­moditi perda­gangan yang banyak digemari orang adalah barang-barang keramik dan porselen. Dari kete­rangan ini dapat diasumsikan bahwa jalan perdagangan (laut) antara kawasan Asia Tenggara dan India serta kawasan lain di sebelah barat lebih dahulu dikenal daripada jalur perdagangan (laut) yang menuju timurlaut (ke Tiongkok dan Jepang).[12]
Pada pertengahan millenium pertama tarikh Masehi, di belahan barat Nusan­tara terdapat sebuah kerajaan dengan nama Kadātuan Śrīwijaya. Sebelum berdirinya kerajaan ini, se­orang tokoh yang bernama Dapunta Hiyaŋ, pada tanggal 19 Mei 682 Masehi berangkat dari suatu tempat yang bernama Minańa dengan mem­bawa dua laksa pasukan dan 200 peti perbekalan yang diangkut dengan perahu-perahu. Kemudian pada tanggal 16 Juni 682 mereka tiba di Mukha Upaŋ dan membangun perkam­pungan yang diberi nama Śrīwijaya. Sejak itulah kota Śrīwijaya berkem­bang dan menjadi pusat pemerintahan dari sebuah Kadātuan.
Dapat dibayangkan kehidupan penduduk pada kala itu dari berita-berita Tionghoa yang ditulis oleh para musafir yang datang ke Śrīwijaya. Sebuah berita Tionghoa yang berasal dari tahun 1225 meng­uraikan tentang rakyat di Swarnna­bhūmi (Śrīwijaya). Disebutkan bahwa rakyat ting­gal di se­kitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka itu tang­kas dalam pepe­rang­an, baik di darat maupun di laut. Dalam pepe­rangan dengan negara lain, mere­ka ber­kum­pul. Berapa pun keper­­lu­annya, dipenuhi. Mereka sendiri yang memilih pang­lima dan pemim­­pinnya. Semua pengelu­aran un­tuk per­sen­jataan dan perbekalan di­tanggung oleh mereka masing-masing. Dalam meng­hadapi lawan dengan resiko mati ter­bunuh, di antara bangsa-bangsa lain sukar dicari tan­dingannya.[13]
Politik dan ekonomi kaitannya sangat erat. Śrīwijaya se­bagai negara maritim yang sebagian besar kehidupan masyara­kat­nya dari per­da­gangan, banyak berhu­bungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia, misal­nya dengan Tiong­kok, India, Persia, dan Arab. Hubungan politik ditujukan untuk kemajuan dan keamanan dalam perdagangan. Hubungan antar­ke­rajaan lebih intensif dila­kukan dengan kerajaan-kerajaan di Tiongkok dan India dibandingkan dengan kerajaan di Timur Tengah. Ke­eratan hubungan ini diduga karena persa­maan dalam kehidupan ber­agama. Kerajaan-kera­jaan di daerah Persia dan Timur Tengah sebagian besar masya­rakat dan rajanya beragama Islam.
Sebagai sebuah kerajaan maritim, sistem birokrasi pe­me­­rin­tahannya juga mencerminkan kemaritiman. Prasasti per­sum­pahan Telaga Batu me­nye­butkan para pejabat dan pegawai kadātuan yang disumpah oleh Dapunta Hiyaŋ dengan tujuan agar tidak mela­kukan pemberontakan. Mereka yang disumpah antara lain, putra mahkota, putra-putra dātu, pemimpin, senāpati (komandan tentara), nāyaka (Ketua Bendahara), hāji pratiaya (Tumeng­gung), dandanāyaka (hakim), para pemimpin, peng­awas para buruh, para pengawas kasta-kasta yang rendah, pembuat pisau, kumārā­mātya, cāţa­bhaţa, adhikarana, kāyastha (juru tulis), vāsikarama (pande besi), puhāvam (kapten bahari), vaniyāga (pedagang), tukang cuci, dan pelayan istana.
Sumber-sumber Arab me­­­nye­­­­butkan nama Śrī­buza (=Śrī­wi­jaya) da­lam kait­an­nya dengan ba­rang ko­mo­diti perda­gang­an. Jalur-jalur pela­yar­an para pela­­ut/ peda­gang Arab dari Oman dan Siraf ke Kalah (=Kedah). Orang-orang Arab (Ta-shi) ini mungkin hanya sampai di Kalah. Selan­jut­nya perda­gang­an/pe­la­yaran di selat dilaku­kan oleh para pelaut/peda­gang Mā­layu. Se­orang pe­dagang Arab lain ber­na­ma Ibn Hordad­beh ber­kun­jung ke Śrīwijaya pa­da tahun 844-848 Mase­hi. Ia menulis bahwa raja Zā­bag disebut mahā­rāja dan ke­kua­sa­annya meli­puti pulau-pulau ba­­­­­gian timur. Hasil utama dari ne­gerinya adalah kapur barus. Peda­gang Arab lain­nya ada­lah Sulay­man yang ber­kunjung ke Zābag tahun 851 Ma­sehi dan Ibn al-Fakih yang berkun­jung tahun 902 Ma­sehi. Me­re­ka menye­but bahwa di Zābag ada gu­nung berapi. Barang dagangan da­ri Zā­bag adalah kapur barus, ceng­­keh, kayu cendana, dan pala. Pe­la­buh­an­nya yang besar ada di pan­tai barat bernama Fansur (=Barus).
Berita Arab lain ditulis oleh Ibn Rosteh (903 Masehi) dan Abu Zayd (916 Mase­hi). Mereka menyebutkan kekayaan dan hasil negeri mahārāja Zābag. Mahārāja Zābag sangat kaya dan kekayaannya melebihi kekayaan mahārāja India. Demikian kaya­nya, mahārāja Zābag setiap hari melempar­kan segumpal emas ke kolam di dekat istananya. Hasil hutan dari Zābag adalah kapur barus, berbagai macam kayu (gaharu, cendana, dan sapan), dan gading gajah, hasil tambang seper­ti emas dan timah, dan rem­pah-rempah.
Selain para pedagang, yang singgah di Zābag terdapat juga seorang ahli geografi bang­sa Arab yang terkenal pada masa itu ada­lah Mas’udi. Ia berkunjung ke Zābag pada ta­hun 955 Masehi. Dalam catatannya ia meng­urai­kan bah­wa Mahārāja Zābag menguasai ba­nyak pulau, rakyat dan tenta­ranya banyak ser­ta kuat. Hasil bumi dari negeri Zābag adalah ka­pur barus, cengkeh, kayu gaharu, cendana, pinang, pala, kapulaga, dan pinang. Dari Fan­sur di pantai barat dihasil­kan kapur barus, se­dangkan dari Kalah dihasil­kan emas dan timah. Selanjutnya dise­butkan bahwa Mahārāja Zābag juga me­ngua­sai perdagangan dari Siraf dan Oman.





 
Pada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-15 Masehi di Nusantara terdapat kerajaan-kerajaan yang mendapat pengaruh budaya India. Kerajaan-kerajaan ini berhubungan da­gang dan agama dengan kerajaan lain di Nu­san­tara maupun di Asia Selatan, Asia Teng­gara daratan, dan Tiongkok. Sebut saja, se­lain Śrīwijaya dan Mālayu di Sumatera, pada masa yang sama di Jawa ada Kerajaan Sunda dan Mdaŋ (Matarām), dan di Kali­mantan Barat ada Kerajaan Wijayapura (Chin-li-pi-shih). Adanya kerajaan-kerajaan itu tidak mustahil pelayaran dan perdagangan antarpulau sering dilakukan.
Matarām dengan tinggalan budayanya berupa candi-candi seperti Boro­budur, Mendut, Pawon, Kalasan, Sewu, dan Prambanan merupakan negara agraris. Meskipun kehidupannya dari hasil pertanian, namun rakyat­nya juga mengenal budaya maritim. Bukti dikenalnya budaya maritim dapat dilihat pada relief Candi Boro­bu­dur.[14] Pada relief digambarkan berbagai jenis alat transportasi air. Ada perahu bercadik, dan ada juga yang tidak tetapi mempunyai layar tunggal. Pada pelayaran jarak jauh, kapal yang digu­nakan adalah kapal yang menggunakan cadik dengan layar ganda. Fungsi cadik ada­lah sebagai alat agar perahu/kapal tersebut tidak mu­dah ter­balik ketika meng­ha­dapi gelombang besar.
Dikenalnya budaya maritim selain tergambar pada relief candi Borobudur, juga tercermin dalam jabatan pemerintahan seperti yang tertulis pada Prasasti Daŋ Puhāwaŋ Glis yang ditemukan di kaki Gunung Sumbing (Temanggung, Jawa Tengah). Prasasti berbahasa Melayu Kuna yang ber­tanggal 17 Mei 827 ini menye­butkan seorang nakhoda kapal (Daŋ Puhāwaŋ) dan keluar­ga­nya memberikan persem­bahan kepada sīma-nya. Ia adalah seorang nakhoda kapal yang datang dari Sumatera. Di tempat yang dikun­junginya itu ada bangunan suci, ada kelompok masya­ra­kat Melayu yang di antaranya ada yang duduk pada pimpinan kerajaan.[15]
Jaringan maritim yang terbentuk pada sekitar abad ke-8 Masehi serta peran­an Kadā­tuan Śrīwijaya dan Matarām dalam bidang kemaritiman dapat diketahui dari bukti-bukti arkeologis berupa prasasti dan arca-arca batu dan logam. Pada awalnya memang bermula dari perdagangan, kemudian diba­rengi dengan penyebaran agama. Pada sekitar abad ke-8-9 Masehi di belahan barat Nusantara berkuasa Dinasti Śailendra. Entah darimana asal dinasti ini, yang kita tahu keberadaannya ada di Jawa, Sumatera, Tanah Genting Kra (Ligor, Thai­land), dan India. Jejak keberadaannya dapat dike­tahui dari prasasti-prasasti yang ditemukan di India (Nālanda), Ligor (Thai­land), dan Jawa (Sojomerto, Kalasan, dan Wanua Tńah II), serta arca-arca batu dan logam berlanggam Śailendra dari Jawa, Sumatera, dan Seme­nanjung Tanah Melayu.
Selain indikasi keberadaannya di tempat-tempat tersebut, ada petun­juk lain yang menginformasikan bahwa pada sekitar abad ke-8 Masehi antara Jawa dan Khmer terjadi hubungan politik. Adalah suatu “fakta sejarah” bahwa hubungan politik antara Kamboja dan kerajaan di Nusantara pada sekitar abad ke-8 Masehi tidak demikian baik, meskipun kerajaan-kerajaan di Nusantara telah mengadakan hubung­an politik dan ekonomi dengan kekai­saran Tiongkok yang letaknya jauh di sebelah timurlaut Kamboja. Sumber sejarah yang menyiratkan hal itu justru diper­oleh dari prasasti-prasasti yang ditemukan di Kamboja. Sementara itu data prasasti yang menyiratkan hubungan kurang baik itu belum pernah ditemukan di Nusantara.
Dari beberapa buah prasasti yang dikeluarkan oleh Jayawarman II, agaknya Prasasti Sdok Kak Thom (802 Masehi) yang isinya penting dalam kaitannya pertalian sejarah antara Kamboja dan Jawa. Prasasti Sdok Kak Thom pada bagian yang berbahasa Khmer menyebutkan: “Yang Mulia Parameśwara telah datang dari Jawa kemudian menjadi raja di Kerajaan Indrapura” (bait 61-62). Pada bait lain (71-72) disebutkan: “Yang Mulia Brâh­mana Hiranyadâma yang ahli dalam ilmu gaib telah datang dari Janapada karena Paduka Yang Mulia Parameśwara telah mengundangnya untuk mengadakan upacara agama, agar daerah Kamboja tidak lagi tergan­tung kepada Jawa, oleh karena Yang Mulia telah menjadi cakrawarti
Selain prasasti yang dikeluarkan oleh Jayawarman II, prasasti lain yang menye­butkan “jawa” adalah Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan oleh Raja Indra­warman pada tahun 799 Masehi. Isinya mengenai peringatan selesainya pemu­garan kuil Bhadrâdhipa­tīśwara yang pada tahun 787 Masehi telah diserang dan dibakar oleh sepasukan yang datang naik kapal dari Jawa. Pada tahun 774 Masehi Campa juga pernah mendapat se­rangan dari orang-orang yang datang dari Jawa.
Peristiwa penyerangan Jawa atas Kamboja begitu membekas di hati rakyat Kamboja, sehingga menjadi sumber cerita orang-orang Khmer yang disampaikan kepada pedagang Arab ketika ia berkunjung pada tahun 851 Masehi. Pedagang Arab yang bernama Sulaeman menceriterakan tentang kekalahan yang diderita oleh raja Khmer akibat serangan yang dilakukan oleh pasukan Śrī Mahārāja dari negeri Zabaj. Nama Śrī Mahārāja disebutkan juga di dalam beberapa prasasti dari abad ke-8 Masehi, baik yang ditemukan di Jawa (Kalasan, 775 Masehi) dan Tanah Genting Kra (Ligor B, 778 Masehi).
Petunjuk keberadaan “pengaruh” Śailendra di Semenanjung Tanah Me­la­yu, Sumatera, dan Jawa pertama-tama diketahui dari prasasti yang ditemukan di daerah-daerah itu. Prasasti-prasasti itu menye­but­kan seorang tokoh dari keluarga Śailendra, yaitu Śrī Mahārāja Rakai Paņamkaran. Tokoh ini di Ligor disebutkan membangun trisamaya caitya untuk Padmapāņi, Śākyamuni, dan Vajrapāņi (Prasasti Ligor A), dan di Jawa disebutkan mem­bangun  bangunan suci untuk Dewi Tārā (Prasasti Kalasan), Candi Sewu untuk pemujaan Mañjuśri (Prasasti Kelurak), Candi Plaosan Lor (Prasasti Plaosan), Candi Borobudur, dan salah satu bangunan di Bukit Ratu Baka. Meskipun Paņamkaran diberitakan telah membuat bangunan suci di Ligor, namun belum ada satupun sumber prasasti yang me­nyebutkan bahwa Paņamkaran membuat bangunan suci di wilayah Sumatera. Berdasar­kan informasi dari Prasasti Siwagŗha hanya dapat menduga bahwa cucu dari Paņamkaran (Bāla­putra) inilah yang membawa pengaruh Śailendra ke Sumatera pada tahun 856 Mase­hi. Ia pergi melarikan diri ke Sumatera setelah kalah perang melawan Rakai Pikatan.
Bāla­putra mulai memerintah di Sumatera pada sekitar tahun 860 Masehi. Menurut Prasasti Nālanda yang dikeluarkan oleh Dewapāladewa pada perte­ngahan abad ke-9 Masehi, hak waris atas tahta kerajaan di Sumatera diperoleh dari abang pihak ibu­nya (Dharmasetu) yang dikatakan dari Somawangśa. Kepin­dahannya ke Sumatera tentu­nya tidak mungkin sendiri atau hanya terdiri dari beberapa orang. Apalagi ia seorang bang­sawan anak raja yang memerin­tah sebe­lumnya. Mungkin saja ia membawa pengikutnya yang terdiri dari para ahli. Setidak-tidak­nya ia juga membawa arsitek dan pemahat.
Keberadaan bukti-bukti arkeologis tersebut mengindikasikan bahwa pa­da masa sekitar abad ke-8-9 Kerajaan Matarām di bawah pemerintahan dinasti Śailendra telah menjalin persahabatan dengan kerajaan lain di luar Nusantara (Jawa dan Sumatera khususnya). Keberadaannya “diakui” di Thailand Selatan dan India. Di Kalimantan Barat pengaruh Śailendra juga terasa dengan ditemukannya bukti sejumlah arca logam yang bergaya seni Śailendra (abad ke-8-9 Masehi). Pada waktu itu di Kalimantan Barat terdapat Kerajaan Wijayapura (Ch’in-li Pi-shih). Kera­jaan ini menurut Wolters yang kajiannya didasarkan atas berita Tionghoa, berhu­bungan dagang dengan Śrīwijaya, dan tidak ada hubungan langsung ke Tiongkok.[16]
Majapahit adalah sebuah kerajaan agraris, namun segi kemaritiman juga dikembangkan. Pada waktu itu di Jawa Timur yang termasuk daerah inti kerajaan terdapat beberapa kota pelabuhan, misalnya pelabuhan Kambang­putih (Tuban), Paja­rakan, Gresik, Surabaya, dan Canggu. Jauh sebelum Maja­pahit, sejak masa pemerintahan Raja Airlangga (abad ke-11 Masehi), di wilayah Jawa Timur telah dikenal pembagian fungsi pelabuhan sesuai dengan asal kedatangan kapal. Pela­buhan Hujunggaluh yang merupakan pelabuhan sungai (Sungai Brantas) letaknya di sekitar Mojo­kerto diatur untuk pelabuhan pulau, sedangkan pelabuhan Kam­bang­putih yang letaknya di pesisir Tuban diatur untuk pelabuhan antarpulau.[17]
Perdagangan maritim di Asia Tenggara, khususnya di Nusantara, mencapai puncak kejayaannya pada sekitar abad ke-15 Masehi. Pada waktu itu para peda­gang Muslim dan pedagang Tionghoa ramai berhubungan dagang dengan kera­jaan-kerajaan di Nusantara. Akibatnya Selat Melaka yang menghu­bungkan Asia Timur dan Asia Barat/Selatan menjadi ramai, Di daerah tepiannya, baik di daerah Seme­nanjung Tanah Melayu, maupun di pantai timur pulau Sumatera timbul beberapa kota pelabuhan yang dising­gahi oleh kapal-kapal. Sebuah bandar yang baru lahir dibangun oleh Para­meswara --seorang bangsawan yang “menying­kir” dari Sumatera Selatan-- yaitu Melaka di Semenanjung Tanah Melayu.
Letak bandar Melaka sangat strategis, yaitu di pusat kawasan Asia Teng­gara dekat dengan gerbang perdagangan regional dan internasional yang menghu­bungkan antara Asia Timur dan Asia Barat/Selatan termasuk Timur Tengah dan Afrika. Dari segi pelayaran yang mengandalkan angin muson lokasinya juga mendukung. Bandar Melaka terlindung oleh Semenan­jung Tanah Melayu dari tiupan angin muson timurlaut yang datang dari Laut Tiongkok Selatan, dan terlindung oleh Sumatera dari angin muson baratdaya yang datang dari Samudra Indonesia. Dengan mengandalkan angin muson ini pelayaran dan perdagangan berlangsung sesuai musimnya. Sambil menunggu musim, para pedagang/pelaut itu tinggal di Melaka. Dengan demi­kian mereka yang hendak meneruskan pelayaran dengan menunggu datang­nya angin musim berikutnya menjadikan bandar Melaka sebagai tempat penantiannya. Kondisi ini menjadikan bandar Melaka cepat berkembang.
Ketika di Nusantara timbul kerajaan-kerajaan Islam, pada awal abad ke-15, sebuah ekspedisi ambisius dari kekai­saran Tiongkok yang melibatkan ratusan kapal besar dengan puluhan ribu anak buah kapal di bawah pimpinan Laksa­mana Chêng Ho, datang ke berbagai tempat di kawasan barat Nusantara hingga pantai timur benua Afrika. Ekspedisi yang diperintah­kan oleh Kaisar Yung Lo dari Dinasti Ming ini bertujuan memperkuat kedudukan dan sekaligus memperluas pengaruh Ming di luar perbatasan Kekaisaran Tiongkok. Namun di belakang itu, ekspedisi yang besar ini dapat dikatakan sebuah Misi Kebudayaan yang sifatnya memper­ke­­nalkan pengua­­sa baru di kekaisaran Tiongkok,[18] dan mengundang pedagang asing agar mau berdagang ke Tiongkok.



Tabel 1. Pelayaran Laksamana Chêng Ho[19]
No.
Tahun Pelayaran
Kawasan Asia Tenggara yang dikunjungi
1.
1405-1407
Champa, Melaka, Jawa, Samudra Pasai, Lambri (Banda Aceh), dan Palembang.
2.
1407-1409
Champa, Melaka, Siam, Kalimantan, Jawa, dan  Lambri
3.
1409-1411
Champa, Melaka, Jawa, Samudra Pasai, dan Lambri.
4.
1413-1415
Champa, Melaka, Pahang, Kelantan, Jawa, Palembang, Nakur, Lambri, dan Aru.
5.
1417-1419
Champa, Melaka, Sulu, Pahang, Jawa, Palembang, Samudra Pasai, dan Lambri.
6.
1421-1422
Champa, Siam, Melaka, Samudra Pasai, Lambri, dan Aru.
7.
1431-1433
Champa, Melaka, Siam, Jawa, Palembang, Samu­dra Pasai, Lide, Nakur, Aru, dan Lambri.

Misi Kebudayaan Laksamana Chêng Ho yang dilakukan sebanyak tujuh kali mengunjungi berbagai tempat di Nusantara dan Asia Barat hingga ke pantai timur benua Afrika. Beberapa tempat di Nusantara di­singgahi beberapa kali oleh misi ini.  Menurut penutur­an Ma Huan, Chêng Ho singgah di Palembang untuk pertama kalinya dalam pelayarannya yang pertama (1405-1407) dengan tujuan utama menangkap seo­rang lanun Ch’en Zuyi beserta pengi­kutnya yang me­nyingkir dari Propinsi Fujian di Tiongkok.
Semangat petualangan yang dibarengi dengan perkem­bangan tekno­logi kemaritiman menjadikannya bangsa-bangsa di dunia ini mencari dunia baru. Semula di perairan Asia Tenggara banyak dilalui pedagang/pelaut dari kawasan Asia, misalnya dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Para peda­gang/pelaut dari Asia Barat tidak semata berdagang. Mereka juga mem­punyai andil dalam penye­baran agama Islam. Di Asia Tenggara, khusus­nya di Nusantara, daerah yang per­tama kali berkembang agama Islam adalah Sumatera bagian utara. Sebagai contoh misalnya, Kerajaan Samudera Pasai yang berdiri pada abad ke-13 Masehi merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Dibangun oleh pedagang Mus­lim yang datang dari Gujarat (pantai barat India). Dari Samudera Pasai agama Islam berkembang ke arah timur, Melaka, Jawa, dan kawasan timur Nusantara.
Pada kurun waktu sekitar abad ke-15-16 Masehi di Nusantara telah ada kelompok-kelompok masyarakat yang ber­agama Islam. Mata penca­harian mereka adalah berdagang. Kare­na itulah, pada awalnya mereka tinggal di daerah pesisir yang dilalui oleh jalur-jalur pelayaran, seperti Lambri, Aru, Jambi, Palembang, Banten, Kalapa, Cirebon, Demak, Tuban, Gre­sik, dan Surabaya. Tempat-tempat ini pada awal perkem­bangan Islam merupa­kan pelabuhan penting yang banyak disinggahi kapal dari berbagai bangsa dengan kargonya berupa barang-barang komo­diti per­dagangan dari berbagai jenis.
Sejalan dengan kemunduran dan akhirnya runtuhnya Kerajaan Maja­pahit, pa­da sekitar abad ke-15-16 Masehi di Jawa timbul Kerajaan Islam Demak dan Pajang. Demak merupakan kerajaan Islam yang cukup kuat di bidang kemari­timan. Pada tahun 1511 Demak pernah menye­rang Portugis dalam usahanya mengusir dari Melaka. Na­mun usaha ini tidak mem­buahkan hasil. Bandar Melaka pada akhir­nya jatuh ke tangan Portugis.
Sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara, Melaka merupakan sebuah bandar yang penting. Kapal-kapal Tiongkok perlu sing­gah di Melaka guna mengisi per­bekalan sebe­lum melanjutkan pelayaran ke Asia Barat. Jung-jung Tiong­kok membawa banyak barang dagangan ke Melaka, seperti bibit mi­nyak wangi, benang-benang sutra dan tenunan sutra dalam jum­lah besar, kain-kain mahal, barang-barang kera­jinan, serta kera­mik dan porselen yang dihasilkan dari negara­nya. Dari Melaka barang-barang tersebut mereka membeli rempah-rempah, kayu cendana, timah, dan gading gajah.
rempah-rempah dan hasil lain dari kawasan timur Nusantara pada abad ke-15 merupakan komoditi yang sangat populer, sehingga terjadi semacam booming pada pasaran Eropa. Permintaan pasar Eropa terhadap komoditi ini sangat tinggi. Masa itu dapat dikatakan “Abad Perniagaan” yang mengubah Asia Tenggara. Banyak yang menganggap bahwa naiknya permin­taan rempah-rempah akibat dari aktivitas pedagang Tionghoa dalam memasarkan­nya. Keadaan sebenarnya tidak demikian. Para pedagang Muslim-lah yang berperan aktif dalam membawa rempah dan komo­diti lain antara Asia Tenggara dan pasar lain. Peda­gang Arab, Persia, dan India juga aktif menyebarkan agama Islam ber­samaan perdagangan dari Timur Tengah ke Gujarat, India Selatan, Asia Tenggara, dan Nusantara.
Kedatangan dan dominasi kemaritiman bang­sa Eropa seperti Portu­gis, Spanyol, Belanda, dan Inggris di wilayah per­airan Asia Tenggara selama lebih dari 500 tahun (1400-1900), sedikit banyak te­lah mem­bantu perkem­bangan dunia maritim seca­ra global. Sementara itu di wilayah perairan Asia Teng­gara lebih awal telah berkembang hubung­an pela­yaran dengan bangsa-bangsa Asia Barat, Asia Sela­tan, dan Asia Timur. Namun perkembang­annya lebih bersifat penje­la­jah­an maritim, hubung­an perda­gang­an, dan penye­baran agama (Islam) yang har­monis.
Dunia kemaritiman dibagi dua oleh dua penguasa lautan yang pada waktu dikuasai oleh Portugis dan Spanyol. Portugis mengua­sai jalur-jalur pelayaran melalui Tanjung Ha­rapan, Samu­dera Indonesia, Nusantara, dan Brazil. Semen­tara itu Spanyol menguasai ja­lur pelayaran Laut Carribia, Amerika Te­ngah, Ame­rika Utara, dan sebelah barat Pa­si­fik (termasuk Filipina dan timur­laut Nusantara).[20]
Portugis datang ke Asia pada sekitar tahun 1500, yaitu ke­tika Alvares Cabral dengan mem­ba­wa 13 buah kapalnya menye­rang Calcutta. Setelah bandar Calcutta ja­tuh, selanjutnya Portugis menye­rang pela­buhan utama lainnya, ya­itu Goa (1510) dan Melaka (1511). Sejak Melaka jatuh, Portugis ber­hasil mengua­sai jalur perda­gangan dunia yang melalui Selat Melaka.
Armada Portugis berjaya di Selat Melaka dan Nusantara se­lama seki­tar 200-an tahun. Do­mi­nasinya berubah dengan kemun­cul­an pe­ngua­sa lautan yang baru pada awal abad ke-18, yaitu Inggris dan Be­landa. Abad ini merupakan era di­mu­lainya persaingan da­gang oleh  bang­­sa-bangsa Eropa jauh dari negerinya dalam merebut kawasan dan jalur perda­gangan/pe­la­yaran di kawasan Asia Teng­­ga­ra/Nusantara dan Asia Timur.
Kedua pemain baru ini masing-masing mendirikan syarikat dagang. Pada tahun 1600 Inggris mendirikan East Indian Com­pany (EIC), dan pada tahun 1602 Belanda men­dirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Mereka ini tidak hanya me­ngua­sai jalur-jalur perdagangan saja, tetapi juga me­monopoli perdagang­an. Penduduk di Nusantara hanya boleh berda­gang dengan Inggris atau Belanda saja, dan tentunya dengan har­ga yang telah mereka tetapkan.
Masuknya bangsa-bangsa Eropa sebagai “pemain” di kawasan Asia Teng­gara, bersamaan dengan semakin besarnya volume perdagangan antara Nusantara dan Eropa, menyebabkan terjadinya perubahan dalam kebudayaan. Banyak para penguasa pelabuhan (shahbandar) gaya hidupnya berubah. Hasil penjualan rempah-rempah dan cukai pelabuhan menjadikan mereka kaya raya dan sangat berkuasa. Produk-produk dari luar Nusantara banyak yang masuk, seperti kain-kain mahal, barang-barang keramik, dan aneka jenis barang mewah. Tidak hanya materi yang masuk dan mengubah penduduk Nusantara, dalam hal gagasan dan pola pikir juga terjadi peru­bahan. Teknologi rancang-bangun kapal, sistem persenjataan, sistem per­ben­tengan, dan bangunan-bangunan istana mulai dikenal. Demikian juga cara baru memandang negara, keluarga, diri sendiri, serta moral. Pada abad ini pula terjadi masuknya agama Islam, kemudian disusul agama Nasra­ni menggantikan agama yang sebelumnya banyak dianut penduduk Nusantara, yaitu Hindu dan Buddha.

3. Era Perdagangan Rempah
Indonesia yang terletak di pertengahan rute pelayaran dan perda­gangan antara India dan Tiongkok, telah dikenal sejak dulu. Berhubungan dengan aktivitas itu, banyak ahli percaya bahwa “sosialisasi” budaya India  berlang­sung di Jawa dan Sumatera. Kedua pulau itu telah dinyatakan dalam catatan geografi Arab Kuno sejak abad-abad awal masehi. Orang Portugis tampil pertama kali di Nusantara pada tahun 1509,  yang diikuti dengan aksi Antonio de Abreu, seorang perwira armada Afonso de Albuquerque, memperoleh Maluku, pulau penghasil rempah-rem­pah. Kakak-beradik Par­mentier[21] dari Dieppe, Perancis, pada tahun 1529 juga ber­layar ke Sumatera dalam usaha mencari rempah-rempah walaupun kematian yang ditemu­kan­nya di sana. Selanjutnya, orang Belanda datang ke Jawa pada tahun 1596, membangun Batavia pada tahun 1619, dan sedikit demi sedikit berhasil meng­gantikan kedudukan orang Portugis.
Pengenalan beberapa produk alam Nusantara sebagai komoditi per­da­gang­an yang transaksinya berlangsung sejak dulu dan melibatkan banyak bangsa, adalah hal yang menarik untuk diungkap. Mengacu pada data seja­rah dan arkeologi maritim, kita dapat membicarakannya pada pokok yang terkait dengan topik bahas­an yang lebih luas, yaitu economic exchanges, sebagai yang dikemuka­kan oleh Mollat.[22]
Besarnya kebutuhan akan rempah-rempah mengakibatkan peru­bah­­an jalannya sejarah serta mempengaruhi hubungan internasional dan antarbangsa. Hal itu memunculkan arti lain rempah-rempah sebagai komoditi yang menyebabkan bangsa Eropa mendatangi Nusantara untuk mem­perolehnya dari tangan pertama. Dalam konteks ini rempah-rempah adalah pala, cengkeh, lada, kayu manis, dan beberapa lainnya. Pada saat itu perahu - yang memanfaatkan angin sebagai tenaga penggerak - amat berperan. Tanpa perahu kita tahu bahwa eksplorasi, kolonisasi, maupun perkem­bangan umum sebagian besar dunia, merupakan hal yang tidak akan begitu saja terwujud. Sejak abad pertama Masehi, masyarakat Nusantara telah memiliki hubungan dagang dengan wilayah-wilayah lain. Ada rute dagang dari Tiongkok melalui kepulauan Nusantara ke India, Persia, Mesir, Eropa, dan seba­liknya. Barang dagangan yang dihasilkan Indonesia adalah rempah-rempah yang terutama berasal dari Maluku. Saudagar Jawa dan Sumatera membawa barang itu ke pusat perdagangan di kawasan nuasantara barat. Selanjutnya mereka atau pedagang-pedagang dari India, mengangkut­nya ke India. Di sana telah menunggu saudagar-saudagar Asia Barat (orang Per­sia dan Arab, mula-mula juga orang Yunani dan Mesir), yang selanjutnya membawa rempah-rempah tadi, bersama barang lain ke pasaran Eropa. Rute dagang itu tampak bagaikan sebuah rantai yang terjalin dari beberapa mata rantai.
Penduduk Sumatera yang berada di ujung barat nusantara telah melibatkan diri dalam perdagangan antara Tiongkok dan India sejak abad ke-5 dan ke-6.[23] Mulai abad ke-7, secara teratur pedagang Arab yang keba­nyak­an datang dari India berlayar ke Asia Tenggara. Perdagangan secara meluas tidak saja dilakukan di Nusantara, malahan mencapai Tiongkok sebelah selatan. Lada, rempah-rempah lain, dan kayu harum adalah komo­ditas yang dicari.[24]
Gresik sejak lama juga merupakan sebuah mata rantai pelayaran dan perda­gangan di kawasan Asia Tenggara. Di Leran masih tersimpan data pertang­galan yang dihubungkan dengan keberadaan komunitas Islam yang paling tua di Asia Tenggara, ialah nisan Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 495 Masehi (sekitar 1101 Masehi). Lokasi sekitarnya mengandung sisa kehidupan sebuah bandar abad ke-10-14 Masehi (Situs Pasucinan), yang mampu menempatkannya sebagai alternatif dari lokasi Gresik awal. Temuan keramiknya berkronologi abad ke-10-14, dengan dominasi produk dinasti Song-Yuan.
Kehadiran orang Portugis di Nusantara bermula dengan penjelajahan pantai barat Afrika sejak abad ke-15. Keinginan untuk menemukan jalur ke "Hindia" seba­gai cara mencari kekayaan melalui perdagangan adalah motivasi ekonomi yang menjadi pendorongnya. Di dalamnya terkandung maksud mengalihkan lalulintas perda­gangan melalui jalur baru. Diperhi­tung­kan bahwa hal tersebut akan merugikan bangsa-bangsa yang sampai saat itu menguasai rantai perdagangan Asia-Eropa, di antaranya adalah bangsa Turki, yang ketika itu sedang menyerang kerajaan-kerajaan Eropa. Itu dapat dikategorikan sebagai alasan politis bangsa Portugis. Adapun alasan lain yang mendorong penjelajahan itu adalah rasa tang­gung jawab mereka atas penyiaran agama, pengabdian terhadap agama Kristen sehingga dapat dilihat pula adanya alasan keagamaan di dalamnya.
Berkenaan dengan itu, maka pada permulaan abad ke-16 masuklah faktor baru dalam konstelasi kekuatan ekonomi, politik, dan religi di Nusantara, yakni ketika Melaka - pusat per­dagangan utama antara Maluku dan India - direbut orang Portugis pada tahun 1511. Peristiwa tersebut diikuti dengan malang melintangnya armada kapal mereka di perairan antara Jawa dan Maluku. Puncaknya terjadi tahun 1522 ketika mereka mendirikan ben­teng di Temate. Semua itu adalah kelanjutan dari kegiatan os descobri­mentos (penjelajahan dan penemuan) dalam sejarah Portugal yang meru­pakan seculo domo (abad/zaman keemasan) pada lintasan sejarah bangsa itu. Tujuan jangka panjangnya jelas, yakni menguasai perdagangan Asia-Eropa yang dapat dicapai dengan menguasai lautan.
Orang Portugis jelas mencium peran Melaka sebagai bandar yang amat penting. Keletakannya yang strategis menjadi tumpuan hubungan dagang re­gional dan intemasional. Dari barat, berdatangan perahu-perahu pedagang Pegu, Beng­gala, Srilangka (Serendib, menurut pelaut Arab) dan Goa. Mereka adalah perantara lalu lintas komoditi Barat dan Timur. Dari arah timur, kedatangan pedagang Siam, Tiongkok, dan Jepang meramaikan jual-beli berbagai jenis barang dagangan yang dibawa dan yang diperlukan. Jung Tiongkok datang ke Melaka membawa sutera, keramik, dan sebagainya. Sedangkan barang utama yang dibawa balik ke Tiongkok berupa lada, gaharu, rempah, dan hasil hutan Nusantara. Disampaikan oleh Tomé Piresbahwa satu kuintal lada yang dibeli dengan nilai 4 cruzados di Melaka, laku dijual dengan harga 15 atau 16 cruzados di Tiongkok.[25] Dari selatan, kapal-kapal yang sarat dengan rempah-rempah dan kayu harum, hasil bumi dan hasil hutan Sumatera, Jawa, dan Kepulauan Maluku datang mengisi gudang-gudang pedagang di Melaka. Kegiatan tersebut memberikan pengaruh yang besar atas tumbuh kembangnya bandar-bandar pesisir utara Pulau Jawa seperti Cirebon, Demak, Jepara, dan Tuban, selain memberi kesempatan diperolehnya pangsa pasar yang luas atas produk berupa cengkeh (Maluku), pala (Banda), dan kayu gaharu (Lombok), atau kayu cendana dari Timor.
Kedatangan Diego Lopes de Sequiera[26] pada tahun 1509 di Pedir menandai hubungan Sumatera dan Portugal, sebelum orang Portugis menguasai Melaka. Ia melanjutkan pelayaran ke Pasai, dan kemudian ke Melaka. Tujuannya menguasai kekayaan alam Pasai, yang antara lain menghasilkan kayu cendana, kamper, damar, lada, dan jahe. Namun akibat serangan Aceh pada tahun 1524, Portugis meninggalkan bentengnya di Pasai.
Penaklukan Goa dan Melaka oleh orang Portugis mengakibatkan berubah­nya rute perdagang­an rempah-rempah. Dahulu lada di bawa melalui Laut Merah, Kairo, Laut Tengah, dan masuk ke Eropa. Setelah itu rute ber-geser melalui Tan­jung Harapan. Hal itu jelas menguntungkan pihak Portugal, dan sebaliknya meru­gikan orang-orang Venesia.
Pedagang Muslim yang tidak mau lagi singgah di Melaka cenderung berda­gang di bandar-bandar pesisir utara Jawa dan kawasan barat Nusan­tara, seperti Aceh di Sumatera. Aceh yang beruntung, mampu menciptakan bandar altematif bagi padagang yang enggan menyinggahi Melaka. Seba­gian ruas Selat Melaka berada di bawah kontrolnya sehingga mengganggu arus perdagangan orang Portugis di Nusantara. Aceh juga berkali-kali me­nye­­rang Melaka, bahkan menyerbu Patani, Johor, dan Perak.[27] Menurut sumber Tiongkok ketika itu Aceh mengekspor kayu gaharu, cengkih, dupa, lada, kayu sapang, dan sebagainya.[28]
Bangsa Eropa lain yang ikut memasuki "ajang perburuan rempah-rempah" Nusantara adalah orang Belanda. VOC yang dibentuk tahun 1602 merupakan sebuah federasi dari enam badan dagang yang sejak tahun 1596 telah mengirimkan armada dagangnya ke bandar-bandar di Nusantara. Tempat-tempat penting yang menghasilkan komoditi bagi konsumen Eropa - yakni rempah-rempah - dikuasainya dengan cara yang lebih luas, berbeda dengan tempat-tempat yang hanya dijadikan titik persinggahan atau jual-beli saja.
Walaupun perdagangan utamanya antara Batavia dan negeri Belanda, VOC tidak meninggalkan perdagangan dengan bandar lain di Asia Tenggara dan Asia Timur. Bila yang diangkut dari Batavia adalah rempah-rempah, maka yang dibawa dari Belanda berupa uang, barang-barang keperluan VOC, serta sedikit barang dagangan.[29]
Upaya Belanda memonopoli rempah-rempah Nusantara dilakukannya dengan susah payah. Kenyataan menunjukan bahwa saudagar Tionghoa  tetap aktif dalam perdagangan lada di sepanjang abad ke-17. Bahkan mere­ka mampu mencegah Belanda menguasai perdagangan lada di Kalimantan pada tahun 1730. Kondisi yang demikian menyebabkan rencana Belanda memonopoli pasar lada Eropa tidak begitu saja dapat diimplemen­tasikan sehingga pada tahun 1736 English East India Com­pany masih mampu mengimpor lada ke London, dalam jumlah yang sama banyaknya dengan yang diterima VOC di Batavia dari seluruh kepulauan Nusantara.[30]

4. Musibah di laut
Setangguh apapun sebuah kapal dalam menerjang badai atau bencana lain di laut, kapal tersebut pada akhirnya akan tenggelam juga. Ada empat faktor utama yang menjadi penye­bab sebuah perahu/kapal dapat tenggelam atau kandas, yaitu, penguasaan geografi kelautan, cuaca (penguasaan pengetahuan meteorologi), pe­pe­rang­an, dan kelalaian manu­sia (human error).[31] Keempat faktor ini merupa­kan pe­nye­bab umum sebuah perahu/kapal dapat tenggelam atau kandas di perairan yang biasa terjadi di seluruh dunia sejak mulai dike­nalnya transportasi air hingga kini.
Perairan Asia Tenggara, khususnya perairan Nusantara, sejak awal abad pertama tarikh Masehi telah ramai dilalui dan dikun­jungi kapal-kapal niaga dari berbagai penjuru dunia, di antaranya dari Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia Timur. Mulai permulaan abad ke-16, sejalan dengan berkem­bang­nya ilmu pengetahuan kelautan dan majunya teknologi perka­palan, datang ke perairan Asia Tenggara kapal-kapal dari Eropa.
Sejalan dengan kemajuan teknologi pembangunan perahu/kapal, dikem­bangkan pula ketrampilan navigasi disertai pengetahuan geografi untuk mengenal lokasi yang dikunjungi; hidrografi untuk mengetahui arus laut di sebuah perairan pada waktu tertentu dan alur pelayaran yang aman; meteorologi untuk mempelajari gerak angin yang dapat dimanfaatkan; serta astronomi untuk memahami peredaran bulan dan bintang yang dapat menjadi pegangan dalam menentukan arah angin.
Perairan Nusantara tampaknya merupakan sebuah per­airan yang tenang, jauh dari obak besar dan badai karena meru­pakan perairan antar pulau. Namun pada perairan yang tampak tenang itu, tersembunyi bahaya yang tidak diduga oleh pelaut manapun. Badai muson yang sewaktu-waktu datang, batu karang di laut, serta gosong-gosong pasir di perairan dangkal merupa­kan bahaya yang se­waktu-waktu dapat menimbulkan bencana. Apalagi pada kala itu pengetahuan geografi kelautan dan belum adanya peta laut, dapat menambah daftar inven­taris kapal yang karam dan akhirnya tenggelam beserta muatannya.
Sebagai bangsa bahari, sebagian besar masyarakat yang hidupnya di laut, tentu mengenal jenis-jenis angin. Tanpa mengenal jenis angin, maka mereka akan celaka di laut. Kosa kata dalam berbagai bahasa di Nusantara “menyumbang” kata-kata untuk menyebutkan nama-nama angin. Untuk angin yang berpusing-pusing disebut angin langkisan, angin puting beliung, atau angin puyuh. Bila ada angin yang tidak tentu arahnya, maka disebut dengan nama angin gila, sedangkan untuk angin yang bertiup keras ada angin gunung-gunung, angin taufan, atau angin ribut. Angin yang bertiup sedang, disebut angin sendalu, apabila anginnya kurang baik maka disebut angin salah. Angin yang bertiup pada dinihari disebut angin pengarak pagi.
Sebutan untuk berjenis-jenis angin, sebagian besar disumbangkan oleh masyarakat bahari. Angin haluan dan angin buritan menunjukkan daripada arah angin itu datang jika sedang berlayar. Angin turutan yang keras adalah angin sorong buritan. Angin sakal yang datang dari depan tentu saja merupakan angin peng­halang pelayaran, sedangkan angin paksa justru memaksa pelaut membongkar sauh dan pergi berlayar.
Bila datang dari berbagai jurusan maka dikatakan angin ekor duyung, tetapi kalau angin bertiup keras dari sebelah sisi perahu disebut angin tambang ruang. Sebagai tinggalan zaman bahari dikenal perbedaan antara negeri-negeri di atas angin (Eropa, Magrib, Arab, Persia, dan India) ada di belahan barat Semenanjung Tanah Melayu, sedangkan negeri di bawah angin terletak di sebelah timur, termasuk Nusantara dan Asia Tenggara daratan.
Dilihat dari keletakan geografis Nusantara yang dibelah oleh garis kha­tu­listiwa, seharusnya Nusantara berada dalam wilayah kekuasaan angin pasat: di belahan selatan khatulistiwa bertiup angin pasat tenggara, dan di belahan utara bertiup angin pasat timurlaut sepanjang tahunnya. Tempat bertemunya dua jenis angin ini disebut intertropical front dan merupakan “daerah angin mati”. Hukum alam di Nusantara ini berbeda dengan kawasan lain yang juga termasuk dibelah oleh khatulistiwa. Ada dua faktor yang menjadikannya berbeda, yaitu:
1.    Peredaran bumi mengitari matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” itu berpindah-pindah dari Lintang Mengkara (Tropic of Cancer) ke Lintang Jadayat (Tropic of Capricorn). Akibatnya pasat tenggara pada waktu melintasi garis khatulistiwa akan berobah menjadi pasat baratdaya, sedangkan apabila pasat timurlaut melin­tasi khatulistiwa dalam perjalanannya ke selatan akan ber­obah menjadi angin pasat baratlaut.
2.    Lokasi satu benua ini akan mengakibatkan suatu tekanan rendah yang cukup mempengaruhi daerah angin mati tersebut bergeser lebih jauh ke selatan atau utara menurut musimnya sehingga mengubah arah angin yang bersangkutan.
Kedua faktor tersebut mengakibatkan terjadinya angin musim yang berubah arah tujuannya setiap setengah tahunnya, sehingga angin seolah-olah memutar haluannya.
Di beberapa tempat tertentu karena kondisi setempat, angin yang dalam bulan Desember sampai dengan Februari merupakan angin barat, menjadi angin timur dalam bulan September sampai dengan November.
Perubahan-perubahan musim tersebut sudah lama dikenal oleh bahariawan Nusantara sejak dahulu. Dengan memanfaatkan perubahan angin ini maka dalam bulan Oktober kapal-kapal angkat sauh dari Maluku menuju pusat-pusat perda­gangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten, sampai ke Melaka dan kota-kota lain di belahan barat Nusantara. Pelayaran ke arah timur dapat dilakukan dengan meng­gunakan angin barat.
Dalam bulan Juni hingga Agustus angin di Laut Tiongkok Selatan bertiup ke arah utara sehingga memudahkan pelayaran ke Ayutthaya, Campa, Tiongkok, dan kerajaan-kerajaan di sebelah utara. Angin ini mulai mengubah haluan lagi pada bulan September dan Desember angin ini sudah berbalik sedemikian rupa sehingga perjalanan kembali ke seletak dapat dimulai lagi.
Dengan adanya sistem angin musim ini, terlebih bagian barat, maka Nusan­tara berada dalam posisi istimewa. Di tempat inilah kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia bertemu. Tidak heran apabila kerajaan besar per­tama yang dikenal berpusat di kawasan ini. Kedudukan geografis ini sangat menguntungkan baginya, karena dapat menguasai tempat pertemu­an jalan pelayaran dan perdagangan.
Pelaut yang mengendalikan sebuah pelayaran besar tentu saja sudah harus terampil dalam pengetahuan tentang arah angin di Nusantara. Sumber-sumber tertulis sering menginformasikan bahwa kapal yang satu menempuh suatu jarak tertentu dalam waktu yang lebih lama dari kapal yang lain. Fa Hsien pada tahun 414 Masehi mengeluh bahwa jarak antara Melaka dan Kanton yang biasa ditempuh dalam kurun waktu 50 hari sudah dilampaui. Sebelas abad kemudian pelayaran Tomé Pires (1517) untuk jalur yang sama masih memerlukan waktu 45 hari. Sebaliknya, Chia Tan (abad ke-8 Masehi) berlayar dari Kanton ke “Selat” dalam waktu 18.5 hari suatu kemajuan yang besar, tetapi tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan Ch’ang Chun (abad ke-7 Masehi yang berlayar dalam 20 hari dari Kanton ke bagian selatan Semenanjung Tanah Melayu, atau kapal yang ditumpangi I-Tsing pada tahun 671 yang berlayar dari Kanton ke Śrīwijaya dalam waktu kurang dari 20 hari.
Pengetahuan geografi laut sangat penting untuk dike­tahui para pelaut. Gosong-gosong pantai dan batu karang yang menonjol di perairan yang dangkal dapat menyebabkan sebuah kapal tenggelam atau kandas. Karena pada waktu itu belum ada peta laut, maka di sini yang berperan adalah nahkoda atau juru­mudi yang berpengalaman dalam melalui jalur yang berbahaya bagi pelayaran. Pada awal pelayaran di perairan Asia Tenggara, tidak terdapat peta yang menunjukkan keletakkan terumbu karang ataupun beting pasir yang banyak terdapat di per­airan Asia Tenggara, seperti beting di Selat Gaspar dan Selat Karimata serta batu karang di Kepu­lauan Enggano.
Salah satu cara untuk menandai adanya beting pasir atau batu karang yang membahayakan pelayaran, adalah dengan membuat tanda berupa pelampung. Namun cara inipun tidak ba­nyak menolong apabila cuaca berubah menjadi badai yang ganas. Ombak besar yang dapat menghanyut­kan pelampung, dan hujan lebat yang menghalangi pandangan dapat menye­babkan kapal ma­suk dalam perangkap. Badai angin muson meru­pakan badai yang sangat berbahaya. Datangnya secara tiba-tiba dan ber­lang­sung tidak lama. Setelah itu cuaca menjadi cerah kembali.
Siapa yang mengenal perairan kawasan Nusantara dengan sifat anginnya yang berbeda dan geografi lautnya yang khas, tentu saja para pelaut lokal. Data tertulis mengenai kemampuan navigasi dari pelaut lokal yang bersumber dari naskah Nusantara dapat dikatakan tidak ada. Mungkin hanya sumber barat yang jelas-jelas menyebutkan kemampuan navigasi pelaut Nusantara. Sumber barat ini biasanya terdapat pada jurnal pelayaran (logboek). Dalam jurnal ini harus disebutkan siapa mualim yang memimpin pelayaran. Dalam sebuah jurnal pela­yaran disebutkan kapal Eropa yang pertama memasuki perairan Nusantara menggunakan mualim setempat untuk mengantarkannya sampai ke tujuan. Dalam ekspedisi Magelhaens tahun 1521, d’Elcano menculik dua perahu pandu laut setempat untuk mengantarkan kapal-kapalnya dari Filipina ke Tidore.[32] Armada VOC dengan pimpinan Cornelis de Houtman datang ke Nusantara, selain meng­gunakan orang Portugis yang pernah datang ke Nusantara, juga memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman mualim-mualim setempat, misalnya pelayar­an di Selat Sunda hingga ke Banten. Kapal-kapal VOC yang pertama menerima tawaran juragan perahu yang dijumpainya di Selat Sunda, untuk mengantarkan mereka ke Banten dengan sewa 5 real.[33] 




Salah satu peta pertama yang dibuat Francisco Rodriguez (Sumber: Indonesian Heritage Vol. 3).
 
 



Dari jurnal pelayaran tersebut didapat gambaran yang lebih baik mengenal kemahiran pelaut-pelaut Nusantara dalam mempraktekan kemam­puan navigasi dalam memperhitungkan lamanya pelayaran dari satu tempat ke tempat lain, dan kecakapan mualim Nusantara membawa kapal asing ke tempat tujuan. Para mualim itu dapat dikatakan mahir, karena kapal yang di­bawanya jelas ukurannya lebih besar, berbeda teknologi pembangunannya, serta perlengkapan navigasinya jauh lebih maju. Meskipun demikian para mualim tersebut tidak mengalami hambatan, atau dalam bahasa sekarang tidak “gagap teknologi”. Penilaian tentang penge­tahuan navigasi mualim-mualim lokal dalam membawa kapal asing yang sama sekali berbeda, tentu saja lain daripada jika harus membawa kapalnya sendiri. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa dalam penjelajahan pertama di perairan Nusantara pelaut-pelaut Portugis banyak mendapat bantuan dari pelaut-pelaut setem­pat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat orang-orang Portugis telah mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai keadaan iklim (angin) dan geografi setempat. Peta-peta dan roteiros (buku panduan laut) tidak hanya didasarkan atas observasi sendiri oleh pelaut Portugis, tetapi oleh kemam­puannya untuk memper­oleh keterangan nautika dari pelaut setempat (Nusantara). Buku-buku roteiros yang disalin kembali dalam dua jilid itu dikumpulkan pada sekitar abad ke-17, tetapi sebagian besar ditulis dalam abad ke-16.
Salah satu contoh roteiros adalah panduan laut mengenai pantai timur Sumatera, mulai dari utara hingga selatan. Jalan yang dilalui oleh para pemandu Portugis adalah sepanjang garis pantai Sumatera yang berlumpur. Mereka mengambil jalan ini untuk menghindari karang-karang laut di sepanjang perairan Pulau Bangka. Selain meminta para nakhoda untuk menghitung jumlah tanjung seca­ra cermat, para pengarang roteiros itu juga menganjurkan mereka supaya selalu mengukur kedalaman dan mengarah­kan kapal mereka berlayar di tempat yang kedalaman airnya 7-12 fathom. Ini berarti perairan yang dilaluinya itu berjarak sekitar 5 mil laut atau sekitar 9 km dari garis pantai Sumatera yang seringkali kedalamannya hanya sekitar 3 fathom. Tidak heran, jika banyak sumber tertulis mengenai pelayaran Nusantara selalu menulis bahwa orang lebih memilih terperosok ke dalam lumpur si Sumatera daripada menabrak karang di sekitar Pulau Bangka. Karena itulah, dalam roteiros lebih sering ditemukan keterangan mengenai pantai Sumatera
Selain hafal di luar kepala tentang geografi Nusantara, pelaut-pelaut Nusan­tara juga telah mengenal peta. Sebuah catatan Portugis dari abad ke-16 meng­informasikan bahwa pelaut-pelaut Nusantara sudah mengenal peta untuk berlayar. Orang-orang Portugis berusaha keras untuk mendapatkan peta-peta tersebut. Peta pertama tentang Nusantara dibuat oleh Francisco Rodrigues sekitar tahun 1512-1513. Rodrigues adalah salah seorang pelaut Portugis pertama yang berlayar di perairan Nusantara setelah bandar Melaka jatuh pada tahun 1511. Dari beberapa sumber lain, dapat diketahui bahwa ia mewawancara beberapa pelaut setempat secara mendalam, bahkan mengirim sebuah salinan “peta Jawa” ke Lisabon melalui Albur­quer­que untuk dipersembahkan pada raja Portugal. Namun peta yang bertu­lisan dengan aksara Jawa itu tidak pernah sampai ke tujuannya. Kapal Alberquer­que yang membawa peta-peta tersebut tenggelam di Selat Melaka. Toponim Mela­yu yang dipakai pada peta untuk beberapa tempat di pantai Vietnam dan Campa jelas menunjukkan asal usul keterangan yang diperoleh pelaut-pelaut Portugis itu.[34]
Dengan hilangnya peta yang beraksara Jawa tersebut, kita tidak lagi mem­punyai bukti tentang pengetahu­an pelayaran orang Jawa pada masa itu. Dalam peta yang hilang itu dijelaskan juga bahwa peta yang dibuat orang Jawa itu juga mencakup daerah seberang Samudera Indonesia hingga wilayah Amerika Selatan (Brazil).[35] Hanya keterangan Alburquerque itulah yang memberi petunjuk tentang penggunaan peta dalam pelayaran Nusantara. Tidak mustahil kemajuan kartografi Portugis mengenai wilayah perairan Asia Tenggara dan Nusantara khususnya, pem­buatannya didasar­kan atas peta-peta yang dibuat oleh petawan-petawan Nusantara.
Ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa peta yang keterang­an­­nya beraksara Jawa itu dibuat sebelum tahun 1512 setelah mempelajari peta-peta Portugis di mana pada masa itu Portugis sudah mencapai pantai Brazil. Peta-peta Portugis ini kemudian dipakai untuk membetulkan dan melengkapi peta-peta yang sebelumnya telah dikenal di Nusantara.[36]
Pengetahuan tentang angin dan geografi laut tidak cukup menjamin kese­lamatan di laut. Dalam sebuah pelayaran, selain pengetahuan soal arah angin serta peta laut, diperlukan juga peralatan navigasi lain yang tidak kalah pentingnya. Peralatan navigasi tersebut adalah kompas dan sextant. Kompas berfungsi sebagai alat bantu untuk menentukan arah dan tempat menurut deklinasi dan inklanasi jarum­nya, sedangkan sextant berfungsi untuk menentukan lokasi menurut peng­ukuran tinggi matahari. Instrumen yang kedua sangat bermanfaat apabila kapal berada di tengah-tengah laut di mana tidak tampak daratan. Bagaimana dengan instrumen ini ? Apakah pelaut-pelaut Nusantara telah mengenalnya ?
Sebuah sumber Italia menginformasikan bahwa Ludovico di Varthema dalam pelayarannya dari Kalimantan ke Jawa tahun 1506 melihat kompas digunakan oleh nakhoda kapal yang ditumpanginya. Selain kompas, kapal itu mempunyai pula “sebuah peta yang penuh garis-garis melintang dan memanjang (mungkin yang dimaksud adalah peta laut). Selanjutnya nakhoda kapal berceritera bahwa jauh di sebelah selatan pulau Jawa terdapat lautan yang besar di mana siang hari sangat pendek, hanya 4 jam lamanya. Apabila ceritera Varthema itu benar, maka pelayaran di Samudera Indonesia sudah melewati garis subtropik di sebelah selatan. Dengan kata lain, para pelaut Nusantara sudah sampai di daerah lingkaran Kutub Selatan.[37] Persoalannya, apakah para pelaut tersebut sudah membekali dirinya dengan instrumen kompas dan sextant?
Kompas memang sudah lama dikenal para pelaut Asia. Instrumen ini  ditemukan di Tiongkok pada abad ke-10-11 Masehi, namun pemakai yang pertama-tama adalah pelaut-pelaut Arab, Persia, dan India. Namun demi­kian, belum dapat dipastikan apakah semua kapal di masa lampau dileng­kapi dengan instrumen ini. Lepas dari dipakai atau tidak, pelaut-pelaut Nusantara tentu sudah mengenal instrumen ini melalui pelaut-pelaut Arab, Persia, dan India yang sudah lama berlalu-lalang di perairan Nusantara. Karena itu ketika pelaut Portugis memperlihatkan instrumen tersebut, para pelaut tersebut tidak menunjukkan rasa heran atau takjub.
Bagaimana pelaut Nusantara tahu arah ke mana mereka menuju, dan sarana apa yang dapat dijadikan pedoman ketika kompas belum ditemukan atau tidak mereka miliki? Kondisi iklim dan geografi Nusantara memungkin­kan pelaut-pelaut pribumi menjadikan pulau, gunung, dan tanjung jika ber­layar menyusuri pantai. Pada malam hari mereka menggunakan bintang-bintang di langit yang cerah sebagai penentu kedudukan mereka di tengah laut. Di sinilah yang bermain adalah pengetahuan astronomis pada pelaut-pelaut tersebut.
Instrumen navigasi, seperti kompas dan sextant tidak diper­lu­kan di perairan Nusantara yang jauh dari kabut dan badai. Para pelaut Nusantara lebih banyak mengandalkan pengetahuan astronomis. Konstelasi bintang dikenal dengan kombinasi yang khas Nusantara dengan nama-nama seperti mayang dan biduk yang lebih lagi mengingatkan sifat bahari dari pengeta­huan perbintangan.[38] Menurut pengetahuan astronomi suku-suku di Biak (Irian Jaya), dua musim yang dikenalnya berada di bawah pengaruh bintang-bintang Sawakoi (Orion) dan Romangwandi (Scorpion). Romangwandi (naga) dengan ekornya yang terdiri dari bintang Southern Crown menanda­kan bahwa musim angin ribut sudah berlalu. Apabila Romangwandi masih berada di bawah cakrawala, musim angin barat yang menyebabkan ombak-ombak besar masih akan mengganggu pelayaran. Tetapi dengan munculnya bintang Scorpion ini maka bintang Sawakoi mulai menghilang.
Bagaimana dengan arah mataangin pada sukubangsa-sukubangsa di Nusan­tara. Rupa-rupanya persepsi tentang arah mataangin pada setiap suku­bangsa berbeda-beda. Ada sukubangsa yang hanya mengenal dua arah saja, se­perti Bali, yaitu arah laut (ka lot) dan arah darat (ka ja, gunung). Dalam bahasa Indonesia, di samping mengenal empat arah mataangin (utara, selatan, timur, dan barat), mengenal istilah “tenggara” khusus untuk arah antara timur dan selatan. Dalam bahasa Batak dikenal delapan mata­angin dasar, sedangkan orang Sangir-Talaud mengenal di samping delapan kata khusus untuk mataangin dasar, juga mataangin ambola (antara baratdaya dan selatan), dam araj miang (utara agak ke barat).
Di samping bahaya yang ditimbulkan oleh alam, ada juga bahaya lain yang menyebabkan kapal tenggelam. Peperangan di laut dan di perairan sungai sering terjadi kala itu. Persaingan dagang dan penguasaan sumber­daya alam yang merupakan barang komoditi pada kala itu, adalah yang menjadi pokok perseng­ketaan. Tidak jarang iring-iringan kapal (eskader) di antara para pesaing, ben­trok di jalur pelayaran. Pertempuran laut dapat terjadi se­waktu-waktu apabila saling berha­dapan di laut. Karena itulah kapal dagang jarang berlayar sendiri tanpa kawalan dari kapal yang dipersenjatai atau kapal dagang yang bersenjata meriam.
Pertempuran di laut atau di perairan sungai, seringkali terjadi di Nusantara terutama sejak masuknya bangsa-bangsa Eropa. Sebelum itu ada juga pertem­puran laut antara pihak penyerbu dan kerajaan lokal. Sebut saja per­tempuran laut yang terjadi tahun 1298 Masehi di Laut Jawa perairan Tuban antara pasukan Sińhasāri dan Kubilai Khan merupakan contoh pertem­puran laut. Meskipun jum­lahnya cukup kuat, namun armada Kubilai Khan berhasil dipukul mundur kembali ke Tiongkok.
Tahun 1511 di wilayah perairan Melaka terjadi pertem­puran laut antara armada Demak di bawah pimpinan Pati Unus melawan armada Portugis yang hendak menduduki bandar Mela­ka. Dalam pertempuran itu armada Demak berhasil dipukul mun­dur. Berberapa buah kapal Demak yang oleh orang Portugis disebut junco (jung) berhasil ditawan. Jung Jawa yang berhasil ditawan ini digambarkan bahwa dibangun dengan empat lapis papan lambung yang mampu menahan tembakan meriam Portugis, berbobot sekitar 600 ton dengan ukuran melebihi kapal-kapal perang Portugis.[39] Sebuah berita Portugis menginfor­ma­sikan kedatangan jung Jawa ketika baru menguasai Melaka:
“Dari kerajaan Jaoa juga datang kapal-kapal junco raksasa (dengan empat tiang layar) ke kota Malaca, yang amat berbeda dibanding gaya kapal-kapal kita, dibuat dari kayu sangat tebal, sehingga bila kayu ini menua maka papan-papan baru dapat dilapiskan kembali di atasnya” .[40]


 









 
Berdasarkan laporan-laporan catatan harian orang Eropa, diketahui ada dua jenis jung, yaitu jung untuk mengangkut barang yang besar, dan jung untuk mengangkut pasukan yang dikhususkan untuk menyerang Melaka. Jung untuk mengangkut barang muatan besar berukuran sekitar 400-500 ton, sedangkan jung untuk mengangkut pasukan berbobot mati sekitar 1000 ton. Jung peng­angkut pasukan yang dibuat oleh orang Jawa ini papan lambungnya berlapis-lapis, gunanya supaya tidak mudah tertembus peluru meriam Portugis. Demikian tebal­nya dinding lambung, jung ini dikomentari “Anunciada sama sekali tidak menyeru­pai sebuah kapal bila disandingkan dengan jung itu”. 






Perang laut VOC dan Spa­nyol tahun 1602 (Indone­sia Heritage Vol. 3, hlm. 41)
 
 



Di samping pertempuran antara pihak pendatang dan pihak pribumi, ada juga pertempuran antara pihak pendatang. Perebutan wilayah penghasil rempah dan jalur pelayaran timur-barat, merupakan sebab utama seringnya terjadi pertempuran laut. Sebagai contoh, misalnya pertempuran antara Portugis dan Belanda pada 26 Desember 1601 di perairan Banten, 1636 di perairan Selat Melaka, dan 1660 di perairan Makassar.
Pertempuran air tidak hanya terjadi di laut lepas saja, di perairan sungai pun terjadi pertempuran. Sejarah Nusantara mencatat beberapa kali pertem­puran sungai yang pernah terjadi antara kerajaan pribumi dan pihak kolonial Eropa. Sebagai contoh, misalnya pihak Kerajaan Palembang dengan Belanda pada November tahun 1659;[41] Kesultanan Palembang-Darussalam dengan Belanda pada tahun 1819 dan tahun 1821.[42]
Faktor lainnya yang tidak kalah berbahayanya adalah faktor kelalaian manusia. Kebakaran dalam kapal, seperti yang terjadi atas kapal Fame tahun 1824 di Laut Jawa merupakan salah satu contohnya. Ada juga ter­bakarnya sebuah kapal karena faktor kesengajaan dengan tujuan untuk mengelakkan diri dari ditawan pihak yang menang perang, seperti dalam kasus kapal-kapal milik Portugis Alioza de Caruailla, Saint Symon, dan Erasmus yang sengaja dibakar pada tanggal 17/18 Agustus 1606 karena kalah perang melawan armada Belanda di perairan Selat Melaka dekat bandar Melaka, dan kapal Denham milik Inggris yang sengaja dibakar pada tahun 1758 karena kalah perang melawan armada Perancis di perairan Bengkulu.
Sesuai dengan zamannya, kapal-kapal yang lalu-lalang di perairan Nusantara membawa kargo yang tentunya pada masa itu diperlukan baik untuk per­dagangan maupun untuk agama. Sebelum kedatangan Islam dan bangsa Eropa, kapal-kapal yang datang ke Nusantara umumnya kapal dagang dimana biasanya menumpang pula pendeta agama Hindu atau bhiksu agama Buddha. Kapal-kapal yang datang dari Asia Barat dan Asia Se­latan kargonya berupa barang-barang kaca dari Persia atau Timur Tengah, manik-manik dari bahan batu mulia seperti kar­nelian, arca-arca batu atau logam, dan barang-barang lain seperti kain sutera dan barang-barang seni. Dari Asia Timur, khususnya Tiongkok, kapal-kapal mem­bawa barang-barang por­se­len/keramik, lakuer, emas, dan kain-kain brokat. Kem­balinya ke negeri asalnya, kapal-kapal tersebut membawa komoditi per­dagangan yang berasal dari beberapa pulau di Nusantara. Barang-barang terse­but antara lain berupa kapur barus, damar, kemenyan, bahan wangi-wangian, kayu cendana, gading gajah, mutiara, dan hewan-hewan yang tidak ada di negeri asalnya.[43]
Meskipun Mdaŋ (Matarām) merupakan sebuah kerajaan agraris, namun kerajaan ini juga memperhatikan kehidupan ma­ritim. Hal ini tercermin dalam relief perahu/kapal yang ter­dapat pada Candi Borobudur (abad ke-7-8 Masehi). Kerajaan ini, yang pada waktu itu diperintah oleh dinasti Śailendra, juga menga­dakan hubungan persahabatan dengan daerah lain, jauh di sebe­rang Pulau Jawa. Di Thailand selatan (Ligor) salah seorang raja­nya meng­hadiah­kan tiga buah bangunan suci, dan di Nālanda (India) meng­hadiahkan tanah untuk keperlu­an wihara.[44] Tidak mustahil terjalin juga hubungan perdagangan antar pulau. Kapal-kapal itu, selain mengangkut komoditi per­dagangan, juga meng­angkut arca-arca batu dan logam untuk diberikan kepada ma­syarakat pemeluk agama Hindu atau Buddha.[45] Arca-arca logam (perunggu, emas, dan perak) dengan gaya Śailendra (abad ke-7-9 Masehi) yang ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, diduga dibuat di Jawa kemu­dian dibawa ke tempat-tempat tersebut.
Lain halnya dengan Kerajaan Mdaŋ (Matarām), Kadātuan Śrīwijaya adalah negara maritim yang penghasilannya terutama diperoleh dari sektor perda­gangan, seperti komoditi eksport serta bea dan cukai bagi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya. Komoditi eksport yang dikapal­kan dari pelabuhan Śrīwijaya ke negeri Arab adalah kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading gajah, timah, ebony, kayu sapan, rempah-rempah, kemenyan dan bahan wangi-wangian. Ke negeri Tiongkok Śrīwijaya mengeksport gading gajah, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, kapur barus, batu karang, kain katun, cula badak, bahan wangi-wangian, bumbu masak, dan obat-obatan.[46] Barang-barang tersebut tidak seluruhnya dihasilkan dari Śrīwi­jaya. Ada juga didatangkan dari tempat lain, karena pelabuhan Śrīwijaya banyak didatangi oleh pedagang dari berbagai bangsa dan tempat di Nusantara. Barang-barang kaca, misalnya didatangkan dari negeri di kawas­an Asia Barat (Persia). Jenis kayu-kayuan, seperti sapan, ebony, dan cendana didatangkan dari kawasan timur Nusantara, seperti dari Nusatenggara dan Maluku.
Pada masa jayanya Kadātuan Śrīwijaya pada abad ke-7-11 Masehi, rem­pah-rempah yang didatangkan dari kawasan timur Nusantara menjadi komoditi eksport utama bagi Śrīwijaya. Perubahan besar terjadi pada akhir abad ke-14 pada waktu kota-kota pantai utara Jawa Timur dengan penguasa kaum elit Tionghoa, Arab, dan Jawa menjadi pusat jaringan perdagangan antarapulau yang menghu­bung­kan penghasil rempah ke dunia luar. Bandar Melaka yang dibangun pada abad ke-15 Masehi, melanjutkan tradisi sebagai pusat penyalur utama rempah untuk pasar antarabangsa.
Dalam kitab Sejarah Melayu, disebutkan bahwa bandar Melaka dibangun oleh Parameswara, salah seorang bangsawan dari Palembang yang menyingkir keluar lingkungan keluarga. Parameswara, yang setelah memeluk agama Islam bernama Megat Iskandar Syah, sejak tahun 1402 mengembangkan Melaka dari sebuah perkampungan nelayan menjadi pusat perdagangan antarabangsa.
Dari sudut pandang geografi, letak bandar Melaka sangat strategis, yakni di pusat kawasan Asia Tenggara yang dekat dengan pintu gerbang lalu lintas perdagangan regional dan internasional yang menghubungkan Afrika, Asia Barat, Asia Selatan dengan Asia Tenggara dan Asia Timur. Melaka sebagai pelabuhan adalah sangat ideal, karena terlindung oleh Semenan­jung Tanah Melayu dari tiupan angin muson timurlaut, dan demiki­an pula terlindung oleh Pulau Sumatera dari angin muson baratdaya yang bertiup dari Samudera Indonesia. Ketika kapal-kapal layar menjadi satu-satunya alat transportasi di laut, maka orang sangat tergantung pada arah angin dalam mencapai tujuan pelayarannya. Ketika angin bertiup dari arah timurlaut barang-barang dagangan dibawa dari Melaka menuju Asia Selatan (India) dan Asia Barat. Ketika berembus angin baratdaya pada musim berikutnya, kapal-kapal niaga berlayar ke bandar Melaka. Pada saat itu pula kapal-kapal dari Melaka juga membongkar sauh menuju Tiongkok atau tempat lain di Asia Timur. Kapal-kapal layar dari Tiongkok datang ke Melaka ketika musim angin timurlaut berhembus, dan pada saat itu pula kapal-kapal layar yang menuju India dan Asia Barat telah memulai pelayarannya. Dengan demikian para saudagar dan para pelaut yang hendak meneruskan pelayaran dengan menunggu datangnya angin musim berikutnya menjadikan bandar Melaka sebagai tempat penantiannya. Jadilah Melaka bandar niaga yang ramai.
Melaka pada akhir abad ke-15 dikunjungi oleh para saudagar yang datang dari Arab, India, Asia Tenggara dan saudagar-saudagar Nusantara (Demak, Tuban, Gresik, dan kawasan timur Nusantara). Pada waktu itu daerah ini merupakan pusat perdagangan di Asia. Dengan demikian tidak aneh jika penduduk Melaka pada akhir abad ke-15 ini bercampur dengan anasir-anasir asing.[47] Penduduk asli dan para pendatang tinggal di daerah-daerah khusus.
Puncak hegemoni oleh penguasa Melayu atas Selat Melaka terjadi pada kurun waktu abad ke-15-16 Masehi. Pada abad ini Melaka merupakan emporium yang sangat penting di Asia Tenggara. Ketika era raja-raja Melayu bertahta di Melaka, pelabuhan Melaka menjadi sebuah kota metropolitan, sebuah pelabuhan yang makmur, tempat bercam­purnya berbagai bangsa dengan berbagai tingkat budaya yang beragam. Tidaklah berle­bihan kalau dikatakan bahuwa pada waktu itu Melaka menjadi pusat dunia Melayu. Ber­bagai kawasan di Sumatera, Kalimantan, dan kawasan kepulauan mengakui kekuasaan Melaka. Kejayaan ini berlangsung sampai tahun 1511, yaitu ketika Melaka jatuh ke dalam kekuasaan Portugis. Sejak saat itulah peng­awasan atas Selat Melaka berada di tangan Portugis. Dari kejatuh­an ini, Tomé Pires dapat berbangga dan mengatakan:
“Barangsiapa menguasai Melaka bisa mencekik Venesia. Sejauh Melaka, dan dari Melaka ke China ke Maluku, dan dari Maluku ke Jawa, dan dari Jawa ke Melaka dan Sumatera, semuanya sudah berada dalam kekuasaan kami”
Tidak mengherankan apabila pada sekitar tahun 1513 Pati Unus dari Demak berusaha merebut Melaka dari tangan Portugis, meskipun meng­alami kegagalan. Demikian pula VOC tahun 1641 merebut kota tersebut dari kekuasaan orang-orang Portugis. Kejadian-kejadian itu membuktikan bahuwa betapa pen­tingnya kedudukan Melaka dengan selatnya dilihat dari sudut politik dan ekonomi.



5. Penutup

Sebagai penutup dari makalah singkat ini, sesuai dengan topik “BMKT dari Sisi Ilmu Pengetahuan, Sejarah, dan Budaya”, dapat saya rangkum sebagai berikut:
  • Sejak awal tarikh Masehi perairan Nusantara telah sering dan banyak dilalui kapal-kapal niaga yang datang dari berbagai tempat untuk melakukan hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
  • Kapal-kapal niaga tersebut membawa kargo yang berasal dari negerinya untuk dijual di Nusantara, dan dari Nusantara kembali ke negerinya atau ke negeri lain membawa barang-barang yang dihasilkan dari Nusantara.
  • Barang-barang berharga yang berasal dari Asia Barat, misalnya wadah-wadah kaca dari Persia, dari Asia Selatan, misalnya manik-manik dari batu karnelian, dan dari Asia Timur (Tiongkok), misalnya barang-barang keramik dan porselen. Sebaliknya, dari Nusantara mereka membawa hasil hutan dan hasil tambang seperti emas, perak, dan timah.

Dalam kesempatan ini pula, perkenankan saya mengusulkan beberapa hal yang berkenaan dengan masalah-masalah kearkeologian maritim termasuk Arkeologi Bawah Air (Underwater Archaeology):
  • Sumberdaya Manusia yang menangani masalah Arkeologi Bawah Air jum­lahnya sangat terbatas, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Sementara itu, situs-situs bawah air (laut) di perairan Nusantara jumlahnya sangat banyak. Untuk itu diperlukan tenaga yang terdidik dan terlatih dengan biaya pelatihan dibebankan pada investor yang mendapat lisensi meng­angkat barang berharga.
  • Dalam usaha pengangkatan benda berharganya, didokumentasikan juga kapal pengangkutnya, karena dengan mengetahui teknologi rancang-bangun kapalnya diharapkan dapat diketahui latar budaya asalnya.


Samudera luas tepiannya indah.
Semangat bahari menentang maut.
Pabila nafsu menguasai kaidah.
Habis sudah kekayaan laut.




Y Makalah dalam Side Meeting Sunken Treasure yang diselenggarakan oleh Panitia Nasio­nal dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam. Batam, 28 Agustus 2006.
* Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
[1] Renfrew, Colin & Paul Bahn, 1991, Archaeology. Teories, Methods, and Practise. London: Thames and Hud­son
[2] Salmon, Claudine & Denys Lombard, 1979, “Un vaisseau du XIII eme s. retrouve avec sa cargaison dans la rade de Zaitun", dalam  Archipel 18, hlm. 57-67. Paris: Association Archipel; Green, Jeremy, 1983, “The Song Dynasty Shipwreck at Quanzhou, Fujian Pro­vince, People's Republik of China”, dalam International Jour­nal of Nautical Archaeo­logy, 12(3), hlm. 253--261


[3] Manguin, Pierre-Yves & Nurhadi, 1987, “Perahu Karam di situs Bukit Jakas, Propinsi Riau. Sebuah laporan sementara”, dalam 10 Tahun Kerja-sama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Ecole Français d'Extrême-Orient, hlm. 43—64. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional; Manguin, Pierre-Yves, 1989, “The trading ships of Insular Southeast Asia: new evidence from Indonesian archaeological sites”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Vol. I, hlm. 200—220 Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia,; Green, Jeremy, 1990, “Maritime archaeol­ogy in Southeast and East Asia”, dalam Antiquity Vol. 64 No. 243. Cam­bridge: Antiquity Publications Ltd.; Koestoro, Lucas Partanda, 1995, “Penempatan Situs-Situs Runtuhan Perahu Indonesia dalam Sejarah Teknik Pembangun­an Perahu di Asia Tenggara”, dalam Hariani Santiko dkk. (eds.), Kirana: Persembahan untuk Prof. Dr. Haryati Soebadio, hlm. 203—216. Jakarta: Intermasa
[4] Koestoro, Lucas Partanda, 1993, “Tinggalan Perahu di Sumatera Se­latan: Perahu Sriwi­jaya?”, dalam Sriwijaya dalam perspektif arkeo­logi dan sejarah hlm. C1-1-10. Palem­bang: Pemerintah Da­erah Tk. I Provinsi Sumatera Selatan; Bellwood, Peter, 1995, “Austro­nesian pre­history in Southeast Asia: Homelands, expansion and transforma­tion”, dalam The Austronesian: Historical and comparative perspec­tives (ed. P. Bell­wood, J.J. Fox dan D. Tyron), hlm. 96-111. Canberra: The Australian National University.
[5] Rouffaer, G.P., 1900, “Een paar aanvullingen over bronzen keteltrom­men in Neder­landsch-Indië”, dalam BKI 7 hlm. 284-307.
[6] Rouffaer, G.P., 1905, “Oudste ontdekkingstochten” Encyclopæ­die van Nederlandsch-Indië, Jilid IV, hlm. 363-395.
[7] Deinum, Hk. dan F. Wit, 1949, “De Kruitnagel”, dalam Landbouw in de Indische Archipel, onder red. V. Dr. C.J.J. van Hall en C. Van der Koppel, jilid II B, hlm. 684-718. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
[8] Orang Tionghoa rupanya sudah mengetahui bahwa cengkeh hanya dapat diperoleh dari Maluku, “hanya satu tempat di laut selatan yang memproduksi cengkeh...”, Geroene­veldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara.
[9] Rouffaer, G.P., 1905, “Oudste ontdekkingstochten” dalam Encyclopæ­die van Neder­landsch-Indië, Jilid IV, hlm. 363-395
[10] Ferrand, G., 1913, Relation de voyages et texts geographiques arabes, persan et turks relatifs a l’Extrême Orient du VIIIe au XVIIIe siècles. Jilid I. Paris.
[11] Nik Hassan Shuhaimi (ed), 1999, Early History (The Encyclopedia of Malaysia Vol. IV), hlm. 87. Singapore: Archipelago Press.
[12] Lapian, A.B., 1979, “Pelayaran pada Masa Sriwijaya”, dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, hlm. 95-103. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
[13] Groeneveldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, hlm 73. Jakarta: Bhratara,
[14] Pada Candi Borobudur terdapat 11 buah panil relief yang menggam­barkan pera­hu/ka­pal, dan van Erp membaginya dalam tiga jenis, yaitu 1) perahu lesung, 2) pe­rahu yang dipertinggi dengan cadik, dan 3) perahu lesung yang dipertinggi tanpa cadik. Van Erp, Th., 1923-1924, “Voorstellingen van vaartuigen op de reliefs van den Boroboe­doer”, dalam Nederlandsch Indië Oud en Nieuw, 8ste jg. hlm. 227-255.
[15] Kelompok masyarakat berbahasa Melayu diketahui telah lama berada di Pulau Jawa sebagaimana diberitakan dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Sojomerto, Pekalongan, Jawa Tengah. Di dalam prasasti ini disebutkan Dapunta Selendra, nama ayah dan ibunya, yaitu Santanu dan Bhadrawati, dan istrinya yang bernama Sampula. Dapunta adalah nama gelar seperti yang disebutkan dalam praasti-prasasti Śrīwijaya yang berbahasa Melayu Kuna (Boechari, 1966, “Preliminary report on the discovery of an Old Malay inscription at Sojomerto”, dalam MISI III, no. 2 dan 3, hlm 241-251).
[16] Wolters, O.W, 1974, Early Indonesian Commerce: A study of the origins of Śrīvijaya, hlm. 65-66. Ithaca N.Y: Cornell University Press
[17] De Casparis, J.G., 1958, “Airlangga”, Pidato Diucapkan pada Peres­mian Penerimaan Djabatan Guru Besar dalam Mata Peladjaran Sedja­rah Indonesia Lama dan Bahasa Sansekerta pada Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Universitas Airlangga di Malang jang Diadakan di Malang pada Hari Saptu Tgl. 26 April 1958. Surabaja: Penerbitan Universitas
[18] Menurut Ming shih (Buku Seja­rah Dinasti Ming), ketika itu Dinasti Ming sebagai penguasa pribumi Han yang baru saja berdiri dan berhasil meruntuhkan Dinasti Mongol (Yüan, 1279-1368 Masehi), perlu memamer­kan keperkasaan dan kemegahan kekaisaran Tiongkok di negara-negara asing. Ia juga berniat untuk mencari jejak seorang pembe­rontak yang lari ke selatan.
[19] Kong Yuanzhi, Prof, 2000, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, hlm. 268. Jakarta: Pustaka Popu­ler Obor

[20] Padfield, Peter, 2002, Maritime Supremacy and the Opening of the Western Mind, hlm. 7-8. New York: Overlook Press
[21] Parmentier, 1883, Le discourse de la navigation de Jean et Raoul Parmentier de Dieppe. Paris: Ernest Lereoux.
[22] Mollat, Michel, 1980. “Historical contacts of Africa and Madagascar with South and South-East Asia: the role of In­dian Ocean”, dalam Historical rela­tions across the Indian Ocean, hlm. 45—60. Paris: Unesco,
[23] Selling, Eleanor, 1981, The Evolution of Trading States in Southeast Asia Be­fore the 17th Century. Disertasi pada Columbia University
[24] Hall, D.G.E., 1968, A History of South East Asia. London: Macmillan
[25] Cortesaõ, Armando (ed.), 1967, The Suma Oriental of Tomé Pires and The Book of Francisco Rodrigues. [translated from the Portuguese MS in the Bibliothèque de la Chambre des Députés, Paris, and edited by Armando Cortesaõ]. Nendeln/Liech­tenstein: Kraus Reprint Limited.
[26] Pemimpin armada pertama orang Eropa yang tiba di Asia Tenggara yang selamat dari serangan orang Melayu (Reid, Anthony, 2002, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.: Jakarta: LP3ES)
[27] Tahir Al-Haddad, Sayed Alwi bin, 1957, Sedjarah Perkembangan Islam di Timur Djauh (diterjemahkan oleh Dzija Shahab). Djakarta: Almaktab Addaimi
[28] Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya. Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara
[29] Leirissa, R.Z, 1976, “Dokumen-dokumen VOC dari abad ke XVIII”, dalam Bulettin YAPERNA Nomor 17 Tahun III, hlm. 44—53. Jakarta: Yayasan Perpustakaan Nasional
[30] Boxer, Charles Ralph, 1973, The Dutch Seaborne Empire 1600--1800. Middle­sex: Penguin Books
[31] Baszley Bee B, Basrah Bee, 2000, “Sejarah dan Pola Kekerapan Kapal Karam di Asia Tenggara antara tahun 1501-1900 Masihi”, dalam MANU 4, hlm. 4-5.
[32] Pigafetta, Antonio, 1801, Premier voyage autour du Monde, hlm. 160. Paris
[33] “… de overste van den Parao presenteerde ons tot Banten te brenghen, midts betalende voor loostman loon voor elck schip 5 Realen van vieren … de Loostman bleef aen ons boort …” (Rouffaer, G.P. & J.W. Ijzerman (ed.), 1915, De eerste schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië… Jilid I, hlm. 65. D’eerste boek van Willem Lodeycksz. Den Haag,).
[34] Manguin, P.Y., 1972, “Les Portugais sur les cotes du Viet-Nam et du Campa Etude sur les routes maritimes et les relations commerciales, d’apres les sources portugaises (xvie, xviiie siecles)”, dalam Ecole Française d’Extrême-Orient, chapter 1.2. Paris.
[35] Armando Cortesão, 1935, Cartografia e cartografos portugueses dos seculos xv e xvi, 2 jilid, hlm. 122-130. Lisboa: Edicao dan “Serra Nova”; Noteboom, C., 1972, Tentang pelayaran di Samu­dera Hindia, a.l. Kata Pengantar. Jakarta: Bhratara
[36] Meilink-Roelofsz, M.A.P., 1962, Asian trade and European influence in the Indonesian archipelago between 1500 and about 1630 hlm. 354 catatan 122. Den Haag: Martinus Nijhoff
[37] Bausani, A., 1970, “L’Indonesia nell’opera degli Italiana”, dalam Lettera di Giovanni da Empoli,  hlm. 16, 17, 93. (with English translation). Roma: Instituto Italiano per il Medio ed Estremo Oriente
[38] Para petani di lingkungan masyarakat agraris seperti di Jawa mengenal, misalnya kombi­nasi bintang waluku yang menyerupai bajak. Para petani tersebut menginterpretasikannya sebagai saatnya untuk membajak sawah.
[39] Manguin, P.Y., 1980, “The Southeast Asia Ship: A Historical Approach”, dalam JSEAS XI(2), hlm 267
[40] Barbosa, Duarte, 1518, The Book of Duarte Barbosa. An Account of the Countries Bordering on the Indian Ocean and their Inhabitants (2 Vols), (terjemahan M. Longworth Dames) vol. 2, hlm. 173-174. Reprint, London: Hakluyt Sciety 1918.
[41] Perang yang terjadi ketika keraton masih berada di Palembang Lama, di Kampung 2 Ilir. Ketika itu Palembang masih berbentuk kerajaan yang beragama Islam. Pengaruh Mataram masih kuat.
[42] Dalam naskah perang yang terjadi tahun 1819 dikenal dengan nama Perang Menteng. Woelders, M.O., 1975, “Het Sultanaat Palembang 1811-1825”. VKI 72. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
[43] Hirth, Friedrich dan W.W. Rockhill, 1966, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the twelfth and thirteenth Centu­ries, entitled Chu-fan-chi, Amster­dam: Oriental Press.
[44] Bambang Budi Utomo, 1997, “Brave enemies killer is in the west Nusantara and Malay Peninsula”, dalam Jurnal Arkeologi Siddhayātra No. 2/II/Nopember/1997, hlm. 9-18. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.
[45] Sebuah prasasti yang ditemukan di Rambahan, Sumatera Barat, me­nyebutkan sebuah arca Amoghapāśa dibawa dari Jawa untuk di­tem­patkan di Dharmasraya. Arca tersebut ditemukan di daerah Kabupa­ten Dharmasraya (Sumatera Barat) dan sekarang ditempatkan di Museum Nasional.
[46] Van Leur, J.C., 1955, Indonesian Trade and Society: Essay in Asian Social Economic History. Bandung, van Hoeve: The Hague, hlm 342-343.
[47] Meilink-Roelofsz, M.A.P., 1962, Asian trade and European influence in the Indonesian archipelago between 1500 and about 1630, hlm. 36. Den Haag: Martinus Nijhoff


1 komentar:

  1. INI SUDAH DI PUBLISH DIMANASAJA MAS?
    APAKAH BISA SAYA PAKAI UNTUK REFRENSI PENULISAN SAYA

    BalasHapus