BUKIT SIGUNTANG
Bukit Siguntang merupakan puncak tertinggi di
Palembang, yaitu 26 m di atas permukaan
laut, mempunyai luas 12 ha. Terletak di Kelurahan Bukit Lama Kecamatan Ilir
Barat II, Bukit Siguntang merupakan situs penting masa Sriwijaya. Bukit
Siguntang oleh para arkeolog diidentifikasikan sebagai situ keagamaan.
Pada masa Sriwijaya situs ini dipergunakan sebagai pusat peribadatan
agama Buddha. Di situs ini ditemukan pecahan keramik dari masa Dinasti Tang
(abad VII-X M), sisa fondasi bangunan kuno yang terbuat dari batu bata. Sisa
bangunan bata ini banyak ditemukan di kaki bukit, diduga merupakan reruntuhan
bangunan wihara. Keberadaan temuan fragmen keramik dan tembikar menunjukkan
bahwa dahulu situs ini digunakan sebagai pemukiman dan kegiatan upacara
keagamaan yang dilakukan oleh bhiksu
dan sanggha.
Tahun 1920 ditemukan arca Buddha yang berukuran 277 cm
terbuat dari batu granit. Arca tersebut mengenakan jubah transparan yang
menutup kedua bahu, berambut keriting
dan bersanggul (usnisa). Berdasarkan gaya seninya diketahui arca
tersebut bergaya Amarawati yang berasal dari abad II-V Masehi, namun menurut
Nik Hasan arca ini dipengaruhi gaya seni Pala yang berkembang di India Utara
pada sekitar abab VII-VIII Masehi.
F.M. Schnitger menyebutkan bahwa di Bukit Siguntang ditemukan juga runtuhan
stupa dari bahan batu pasir dan bata, fragmen prasasti dan arca Bodhisattwa
batu, sebuah lempengan emas dengan tulisan yang berisikan ajaran Buddha, serta
arca Kuwera perunggu. Temuan lainnya berupa arca Buddha Wairocana dari perunggu
dalam sikap duduk, lengkap dengan prabha
dan payung, sebuah prasasti batu yang
ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti terdiri dari 21 menceritakan tentang hebatnya sebuah
peperangan yang mengakibatkan banyaknya darah yang tertumpah, disamping juga
menyebutkan kutukan bagi mereka yang berbuat kesalahan.
Sejarah Melayu yang ditulis pada tanggal 13 Mei 1612
Masehi, menyebutkan bahwa Bukit Siguntag
merupakan tempat turunnya raja-raja Melayu.
“Adapun negeri Palembang itu, Palembang yang
ada sekarang inilah. Maka di hulu Sungai Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu
namanya; di dalam sungai itu ada sebuah bukit bernama Bukit Si Guntang; di hulu Gunung Maha Miru, di daratnya ada
sebuah padang bernama Padang Panjaringan. Maka ada dua orang perempuan berladang, Wan
Empo seorang namanya dan Wan Malini seorang namanya; dan keduanya berumah di
Bukit Si Guntang itu, terlalu luas humanya, syahadan terlalu jadi padinya,
tiada dapat terkatakan ; telah hampir masak padi itu”.
Kitab ini juga menceritakan turunnya Sang Siperba (Sang
Sapurba), manusia setengah dewa ke Bukit
Siguntang yang dikemudian hari menurunkan raja-raja puak Melayu di Sumatera dan
Semenanjung Malaysia.
kapalnya besar banget
BalasHapusRental Mobil Jogja
berapaan biaya ke Situs Kambang Unglen
BalasHapus