PELAYARAN DAN PERDAGANGAN DI BELAHAN BARAT NUSANTARA PADA ABAD KE-7-15
MASEHI
Sumber yang amat kaya
dari bukti arkeologi mengenai peristiwa sejarah, antara lain diperoleh pada
sisa runtuhan perahu - yang tetap "terpelihara" dalam lingkungan
dimana objek tersebut berada - yang melalui kerja arkeologi maritim berhasil
diliput.Sebagai contoh, ekskavasi atas situs runtuhan perahu di sebelah timur Quanzhou
di wilayah provinsi Fujian, Tiongkok, memperlihatkan bahwa cargo perahu
tersebut adalah barang dagangan yang dibawa dari Asia Tenggara, berupa kayu
gaharu, kayu cendana, kemenyan, lada, dan pinang sirih. Itu adalah sisa sebuah
runtuhan perahu yang berukuran cukup besar dengan panjang sekitar 34,5 meter
dan lebar diduga 11 meter, yang diperkirakan berasal dari abad ke-13.
Contoh lain dijumpai di
Pulau Jawa ketika pada tahun 1993 penduduk Kampung Kedung di dekat Situs Leran,
Gresik menemukan sisa sebuah runtuhan perahu dalam kedalaman sekitar 2,5
meter. Di dalam badan perahu — yang dibangun dengan menggunakan teknologi
pasak, artinya tanpa paku sepotongpun —
itu masih dijumpai sisa muatannya, antara lain kemiri dan keluak/pucung.
Tempat ditemukannya runtuhan perahu itu, di bagian barat kampung, selama ini di
sebut Pangkalan, yang memiliki arti tempat berlabuh atau menambatkan perahu.
Gambaran tentang jumlah
objek arkeologi maritim yang dapat dimanfaatkan sebagai bukti peristiwa masa
lalu menjadi semakin besar mengingat begitu banyak perahu samudera yang
tenggelam pada abad-abad ketika European fleets of sailing ships
membangun perdagangan dan kekuatan di Timur. Sejauh ini baru ditemukan sekitar
dua lusinan runtuhan perahu pada situs-situs yang tersebar di dua samudera dan
pada pantai dari tiga benua. Padahal, catatan Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) selama 50 tahun saja - sejak 1603 hingga 1653 – memperlihatkan
hilangnya tidak kurang 100 dari 788 kapal yang berlayar ke atau dari Hindia
Belanda. Angka itu termasuk 56 di negara kepulauan Indonesia, Tiongkok,
Jepang, India, serta di beberapa tempat lain di Timur. Jumlah tersebut di atas
terbatas hanya pada kapal-kapal armada Belanda. Logikanya, jumlah itu tentu
akan bertambah bila dikumpulkan pula catatan bangsa-bangsa lain. Kita tahu
bahwa orang-orang Spanyol, Portugis, Inggris, Tiongkok, serta bangsa/suku
bangsa di seputar "Laut Tengah Asia Tenggara" (Laut Tiongkok
Selatan), selama berabad-abad juga ikut meramaikan lalu lintas pelayaran dan
perdagangan Nusantara. Berbagai peristiwa yang mewarnai aktivitas masa itu,
yang diakibatkan keganasan alam maupun keterbatasan teknologi pelayaran yang
digunakan, tentu menambah angka bilangan perahu-perahu yang kelak menjadi objek
penelitian arkeologi maritim.
Memang banyak
peninggalan yang layak dijadikan objek penelitian, namun disadari bahwa masih
sedikit sumbangan yang dapat diberikan mengingat bilangan kegiatan arkeologi
maritim sendiri masih jauh tertinggal dibandingkan dengan aktivitas arkeologi
lainnya. Walaupun demikian tetap harus diakui bahwa arkeologi maritim telah
memberikan sumbangan untuk mengerti sejarah dan arkeologi Asia Tenggara. Hasil
kegiatannya, antara lain mampu menyodorkan beberapa bukti baru tentang
perkembangan/sejarah pembangunan perahu maupun mekanisme hubungan dagang
regional.
1. Pelayaran dan sistem ekonomi
Berbicara tentang sistem
ekonomi tentu tidak lepas dari aspek produksi, distribusi dan konsumsi. Alam
Nusantara telah bermurah hati menyediakan berbagai komoditi yang merupakan
monopoli alamiah. Adanya produksi yang amat layak dipasarkan itu juga dapat
dihubungkan dengan kondisi lokasi Nusantara yang merupakan tempat persilangan
lalu-lintas laut yang menghubungkan benua Timur dan benua Barat. Bila pada
mulanya pemanfaatan navigasi berteknologi perahu layar sekedar menempuh rute
menyusuri pantai, lama-kelamaan pelayaran samudera dapat diselenggarakan,
namun tetap memerlukan tempat berlabuh pada jarak tertentu untuk menambah
perbekalan.
Kebutuhan akan
rempah-rempah sebagai produk monopoli alamiah menimbulkan pelayaran
perdagangan yang ramai ke dan dari Nusantara. Pangkalnya ada di Laut Merah,
Teluk Parsi dan Jazirah Arab, dengan Kepulauan Maluku sebagai terminal akhir.
Rute pelayaran perdagangan itu sambung-menyambung melewati Gujarat, Malabar,
Koromandel, Bengala, Melaka, dan tempat lain di kawasan Nusantara dan Laut
Tiongkok Selatan. Dalam kaitannya dengan distribusi produk alam Nusantara,
kondisi demikian memunculkan perantara dalam perdagangan.
Lintas perdagangan antar
bangsa lewat laut yang menyinggahi pantai-pantai Kepulauan Nusantara, sejak dahulu
merupakan sumber utama pendapatan bandar-bandar pesisir. Hal yang demikian,
khususnya berlangsung pada tempat dan saat penduduknya dapat ikut serta dalam
perdagangan itu dengan mempergunakan perahu mereka sendiri. Perdagangan laut
yang menguntungkan itu, yang terjadi bahkan jauh sebelum abad ke-15, ternyata
berkaitan pula dengan penyebaran/ sosialisasi Islam.
Pada saat itu,
aristokrasi Nusantara yang memegang kekuasaan politik dan mendominasi
perdagangan cenderung melakukan ekspansi – politik - kapitalistis yang tidak
mendorong terciptanya kewiraswastaan. Terselenggaranya pelayaran dan
perdagangan di bandar-bandar yang memunculkan jalur komunikasi terbuka
membentuk mobilitas sosial yang horizontal dan vertikal. Situasi demikian
menimbulkan faktor yang mengurangi kekuatan sistem feodal yang ada. di satu
segi, berkurangnya keterikatan feodal mampu membentuk citra yang baik bagi
pedagang dalam prestise sosial maupun politik. Oleh karena itu, Islam yang
tidak mengenal perbedaan status manusia, yang pada awalnya dianut oleh para
pedagang dan pelaut itu, menjadi mudah diterima oleh masyarakat di
bandar-bandar.
Kedatangan bangsa
Portugis menimbulkan persaingan dalam dunia perdagangan. Dampaknya terasa pula
bagi kehidupan beragama, mengingat pengelompokkan antar pedagang yang juga
tidak memisahkan unsur keagamaan. Kedatangan Portugis dapat dikatakan ditolak
oleh masyarakat bandar yang sudah Islam. Bahwa kemudian Portugis berseteru
dengan Spanyol dan Belanda, hal itu lebih disebabkan perbuatan monopoli perdagangan.
Pada sistem perdagangan
terbuka abad-abad setelah kedatangan bangsa Eropa, peran pedagang Nusantara
dapat di katakan bersifat komplementer. Mereka hanya sebagai pelengkap saja.
Sebaliknya dengan saudagar Tionghoa yang perannya cukup menonjol, walaupun
kemudian dapat dilumpuhkan oleh VOC.
Kemakmuran bandar-bandar
Nusantara pada abad ke-16 bertumpu pada perdagangan. Penguasa di pedalaman
memperoleh kesempatan menarik keuntungan dari lalu lintas barang perdagangan
di pesisir. Pelayaran dagang Portugis, yang merambah kekawasan Nusantara sejak
awal abad ke-16, telah merugikan kemakmuran bandar-bandar itu. Hilangnya
armada perahu yang besar sebagai akibat usaha yang gagal mengusir Portugis dari
Melaka, tentu sukar ditebus. Ditambah lagi dengan kericuhan politik dalam
negeri di pertengahan abad ke-16, juga merupakan penyebab kemerosotan
bandar-bandar tadi. Puncaknya terjadi pada abad ke-17, ketika pesisir Jawa
kehilangan kemerdekaan karena dominasi ambisi Mataram dan kemudian cengkeraman
kompeni Belanda.
Pada abad ke-17,
negeri-negeri Eropa Utara, terutama Belanda dan Inggris, juga memasuki jalur
lalu lintas yang sudah ada sebelumnya. Keberadaan serikat-serikat dagang
Hindia mereka, memberi arah baru kepada sebagian perdagangan maritim trans-Asia
yang menguntungkan mereka. Sebaliknya, kegiatan mereka di Nusantara
menyebabkan mundurnya secara cepat unsur-unsur jaringan tradisional yang pemah
ada. Itu ditandai dengan surutnya perahu-perahu kepulauan bertonase besar pada
abad ke-17. Jaringan tradisionalnya sendiri memang tidak berkurang kegiatannya,
namun orang Arab dan Tionghoa yang mendominasi kelangsungannya.
Selanjutnya, ketika
sistem ekonomi kapitalis pada akhir abad ke-19 diterapkan di Nusantara,
kemungkinan-kemungkinan tradisional masa depan sejarah di kawasan Nusantara
berubah secara drastis. Ketika itu bangsa Barat meraup bagian terbesar
kegiatan maritimnya.
Dengan makin
meningkatnya teknologi, kegiatan-kegiatan ekonomi makin dikuantifikasi. Bila
pada awalnya perekonomian Nusantara terutama berdasar pada ekspor produk
primer, hasil bumi dan hasil alamnya, kelak diwaktu belakangan, pertambangan
yang menjadi tulang punggung perekonomian Nusantara. Kita dapat mengatakan
bahwa perkembangan dalam ekspor produk alam Nusantara ialah peralihan dari
perdagangan barang eksklusif (rempah-rempah), ke bahan mentah industri yang
bervolume besar. Hal itu, antara lain merupakan
dampak berlangsungnya revolusi industri di Inggris pada abad ke-18-19,
yang diperluas dengan dibukanya Terusan Suez pada abad ke-19. Ironisnya, bila
pada awalnya masyarakat Nusantara mampu meraih keuntungan dari kondisi yang
demikian, semua itu akhirnya lebih banyak dikantongi oleh bangsa Belanda yang
beberapa saat kemudian menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
2. Jaringan pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara
Aktivitas pelayaran yang
dibarengi dengan perdagangan dan kadang-kadang penyebaran agama, membentuk
suatu jaringan pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Dilihat dari sifat
aktivitasnya, pelayaran dan perdagangan itu ada insuler (pelayaran/perdagangan
di sebuah pulau), dan ada interinsuler (pelayaran antar pulau). Semuanya ini membentuk sebuah
jaringan pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Ada kalanya kedua jenis
pelayaran/perdagangan tersebut dibarengi dengan penyebaran agama yang pada
awalnya dimulai dari pelayaran/ perdagangan antarbangsa/antarkerajaan,
misalnya antara India dan kerajaan di Nusantara yang kemudian menyebar agama
Hindu/Buddha. Dengan latar belakang agama ini kemudian timbul kerajaan-kerajaan
dengan coraknya sesuai dengan agama yang berkembang pada waktu itu.
Dua kata, “pelayaran”
dan “perdagangan” erat pertaliannya disatukan dalam sebuah wujud benda yang
dikenal dengan nama perahu atau kapal. Laut sebagai media utama dalam pengangkutan,
komunikasi dan perdagangan merupakan unsur utama dalam perkembangan
kebudayaan dan peradaban manusia di Asia Tenggara sejak 3000 SM. Meskipun telah
lama, namun kepesatannya baru tampak jelas pada akhir periode Neolitik
sekitar 1500 SM dan periode logam sekitar 1000 SM. Itulah awal mobilitas
manusia di masa lampau dalam usahanya mengarungi laut dengan menggunakan alat
transportasi perahu.
Hampir 2000 tahun
lamanya orang-orang di belahan barat Nusantara terlibat dalam jaringan
perdagangan maritim Asia dan membangun serangkaian tradisi perkapalan. Mereka memperoleh,
sebagaimana halnya orang-orang di Asia dan Eropa, nama sebagai pelaut
berpengalaman yang menggunakan lingkungan laut sebaik mungkin. Menangkap ikan
telah lama menjadi sumber protein utama bagi masyarakat dan sudah tentu
menyumbang kebiasaan mereka dengan ilmu pelayaran. Pada akhir millenium
pertama Sebelum Masehi, perdagangan maritim setempat dan kawasan serta pertukaran
jaringan meluas hingga perdagangan jarak jauh yang membawa kapal dan pedagang
ke pelabuhan-pelabuhan Tiongkok selatan di Timur; Teluk Persia, Laut Merah,
serta Madagaskar di Samudera Indonesia.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Jalur-jalur
pelayaran di sebelah barat Nusantara pada sekitar abad ke-7 Masehi menurut
rekonstruksi O.W. Wolters (1974).
|
|
Dari segi geografisnya
Nusantara merupakan pasar alami. Hampir semua kawasan di Nusantara dapat
dicapai dengan menggunakan perahu/kapal. Nusantara juga beruntung karena dapat
menikmati pergantian angin musim baratlaut dan baratdaya pada setiap tengah
tahunnya. Para pelaut dapat berlayar ke Tiongkok, India, Arab, atau kawasan
timur Nusantara pada salah satu angin musim dan kembali pada musim yang lain.
Walaupun jalur laut antara ujung timur dan ujung barat Eropa-Asia cukup aman,
para pedagang Arab dan India, para pendeta Buddha dan Hindu, dan para
penziarah lebih suka menggunakan jalur darat. Inilah yang dikenal dengan nama
Jalur Sutra. Sejak akhir abad ke-14 jalur laut semakin padat jika dibandingkan
dengan jalur darat, menunjukkan lonjakan pertumbuhan kapal dan pedagang Eropa
dan Asia yang menuju pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Tanah Melayu, Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan.
Perairan Asia Tenggara
dengan Selat Melakanya merupakan salah satu perairan tersibuk di dunia pada
periode sejarah antara abad ke-3-19 Masehi. Berbagai jenis kapal dengan
teknologinya yang berbeda dari berbagai bangsa berlalu-lalang di perairan yang
sibuk itu. Semangat pengembaraan akibat keingin-tahuan manusia tentang laut
dan dunia lain di seberang laut, tekanan dan alasan politik, peperangan, penyebaran
agama dan ekonomi telah mempercepat perkembangn bidang kemaritiman.
Beberapa tempat di dunia, di antaranya wilayah Asia Barat, Asia Tenggara, dan
Tiongkok merupakan wilayah utama yang menyumbang pada perkembangan tersebut.
Pelayaran Nusantara
telah lama dirintis jauh sebelum tarikh Masehi. Perintisan pelayaran ini
antara lain “dipicu” oleh perdagangan rempah-rempah. Rouffaer
merekonstruksi perpindahan manusia dari Asia Tenggara daratan ke Nusantara
berdasarkan tinggalan budaya masa lampau yang berupa nekara perunggu dari
situs-situs yang ditemukan di Dongson (Vietnam), Semenanjung Tanah Melayu,
menyeberang ke Sumatera, Jawa, Bali, Nusatenggara hingga ke Pulau Kei di Maluku
Tenggara.
Suatu jaringan pelayaran
di Nusantara telah terbentuk pada awal abad pertama masehi. Jaringan ini
terbentuk antara lain karena ada satu komoditi perdagangan yang cukup digemari
pada masa itu, yaitu rempah-rempah dan mempunyai daerah pemasaran yang luas.
Berdasarkan sumber-sumber naskah Eropa, Rouffaer
menduga bahwa rempah-rempah yang diperdagangkan di Eropa berasal dari
Nusantara. Komoditi ini tampaknya hanya dihasilkan di Nusantara. Karena
itulah, banyak pedagang yang datang jauh-jauh menempuh perjalanan melalui laut
untuk mencarinya.
Daya tarik cengkeh,
pala, dan bunga pala, menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan
antarabangsa di Asia Tenggara. Pohon cengkeh (Eugenia aromatica, Kuntze) terdapat di Ternate, Tidore, Moti,
Makian, dan Bacan. Pala dan bunga merahnya diperoleh dari pohon pala (Myristica fragrans, Linn) terdapat di
Pulau Banda. Setelah tahun 1550 pohon-pohon ditanam di kawasan lain di Nusantara.
Dengan kemajuan teknologi budidaya tanaman, pada akhirnya dapat ditanam di
beberapa tempat di dunia.
Pokok permasalahan untuk
mengetahui dikenalnya Maluku dalam kaitannya dengan dunia luar dapat
ditelusuri dari sumberdaya alam yang dihasilkan Maluku, yaitu rempah-rempah
khususnya pala dan cengkeh. Pakar tumbuh-tumbuhan menyatakan bahwa kedua
macam rempah tersebut hanya dapat tumbuh di bumi Maluku.
Pala hanya dapat tumbuh di Maluku Tengah, sedangkan cengkeh di Maluku Utara.
Dengan demikian, pala dan cengkeh termasuk komoditi yang langka sekurang-kurangnya
untuk masa awal tarikh masehi. Karena banyak peminatnya, sementara
tempat menghasilkannya terbatas, maka komoditi tersebut harganya cukup mahal.
Melalui komoditi cengkeh
dan pala tersebut, dapat ditelusuri jalur-jalur pelayaran dan perdagangan sampai
seberapa jauh hubungan Maluku dengan dunia luar. Sebuah sumber tertulis Romawi
dari Plinius Major (tahun 75 Masehi) menyebutkan garyophyllon (nama tumbuhan yang hanya dapat tumbuh di hutan sakti
India).
Dari keterangan sumber tersebut, Rouffaer menduga bahwa yang dimaksud dengan garyophyllon adalah cengkeh, dan telah
dikenal di benua Eropa pada awal abad Masehi.
Namun, jauh sebelum itu pada sebuah ekskavasi arkeologis di Situs Terqa
(Mesopotamia, Syria) ditemukan sebuah jambangan yang penuh berisi cengkeh. Jambangan
ini ditemukan pada sebuah ruangan dapur rumah sederhana yang berasal dari
sekitar tahun 1700 SM. Sebuah sumber Tiongkok menginformasikan bahwa salah
seorang Kaisar Dinasti Han (abad ke-3 SM) mengharuskan para petinggi
kekaisaran untuk mengulum cengkeh ketika menghadap.
Sumber Eropa lainnya
menyebutkan bahwa St. Silvester, seorang Uskup Roma (314-335 Masehi) menerima
hadiah 150 pon cengkeh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 547 Cosmos
Indicopleustis mencatat di antara barang-barang dagangannya terdapat
rempah-rempah yang didatangkan dari Tiongkok dan Srilanka.
Informasi dari
sumber-sumber tadi menimbulkan pertanyaan. Sebuah komoditi yang "hanya”
dihasilkan dari satu tempat, yaitu Maluku, tetapi ada di tempat lain yang letaknya
jauh dari sumbernya. Pertanyaannya, siapa yang membawa komoditi tersebut,
apakah mereka yang datang mengambil, atau orang dari Maluku yang membawanya.
Atau dibawa secara berantai dari Maluku, India (Srilanka), kemudian Eropa.
Kemudian bagaimana dengan bentuk alat angkutnya?
Sumber-sumber tertulis
tentang hasil dari Maluku tersebut, mengindikasikan bahwa bukan pembeli
yang datang ke Maluku, melainkan orang-orang dari Maluku (Nusantara) yang
datang. Kalau pembeli yang datang, biasanya diceriterakan juga tempat yang
didatangi itu. Sebuah deskripsi “menyesatkan” yang ditulis oleh penulis Arab
terkenal Ibnu Baţūţā (1350 Masehi) menyatakan: “cengkeh yang diperdagangkan
adalah batang pohonnya, buahnya disebut pala, dan bunganya
dinamakan fuli. Ini
berarti, Ibnu Baţūţā tidak tahu bagaimana bentuk pohon cengkeh dan bagaimana
bentuk pohon pala.
|
|
|
Sampai seberapa jauh
para pelaut Nusantara ini mengarungi laut. Apakah mereka hanya melayari
laut/selat yang memisahkan antar pulau, atau lebih jauh lagi sampai ke Asia
Selatan, Tiongkok, Asia Timur, atau lebih jauh lagi bahkan sampai ke Eropa?
Sebuah gambar cat air yang dibuat oleh Alphonse Pellion yang berjudul “Kora-kora from Gebe, North Moluccas, 1818”
menggambarkan sebuah perahu besar dengan 9-10 pendayung dan sebuah layar besar.
Perahu besar ini sangat layak untuk pelayaran jarak jauh dan dipergunakan untuk
mengangkut rempah-rempah, khususnya pala dan cengkeh, ke pelabuhan entrepôt di Asia Tenggara.
Pada awalnya pedagang
atau pelaut dari belahan barat (India dan Arab) Nusantara yang datang. Beberapa
abad kemudian, ketika Tiongkok mulai mengembangkan teknologi maritim dan
mulai mengeksport komoditi perdagangannya, barulah pelayaran dan perdagangan
di Nusantara diramaikan oleh pedagang dari belahan timur (Champa, Tiongkok,
dan Jepang). Dari kawasan ini komoditi perdagangan yang banyak digemari orang
adalah barang-barang keramik dan porselen. Dari keterangan ini dapat
diasumsikan bahwa jalan perdagangan (laut) antara kawasan Asia Tenggara dan
India serta kawasan lain di sebelah barat lebih dahulu dikenal daripada jalur
perdagangan (laut) yang menuju timurlaut (ke Tiongkok dan Jepang).
Pada pertengahan millenium pertama tarikh Masehi, di belahan barat Nusantara
terdapat sebuah kerajaan dengan nama Kadātuan Śrīwijaya. Sebelum
berdirinya kerajaan ini, seorang tokoh yang bernama Dapunta Hiyaŋ, pada
tanggal 19 Mei 682 Masehi berangkat dari suatu tempat yang bernama Minańa dengan membawa dua laksa pasukan dan 200 peti perbekalan
yang diangkut dengan perahu-perahu. Kemudian pada tanggal 16 Juni 682 mereka
tiba di Mukha Upaŋ dan membangun perkampungan yang diberi nama Śrīwijaya.
Sejak itulah kota Śrīwijaya berkembang dan menjadi pusat pemerintahan dari
sebuah Kadātuan.
Dapat dibayangkan kehidupan penduduk pada kala itu dari berita-berita
Tionghoa yang ditulis oleh para musafir yang datang ke Śrīwijaya. Sebuah berita Tionghoa yang berasal dari tahun 1225 menguraikan tentang
rakyat di Swarnnabhūmi (Śrīwijaya). Disebutkan bahwa rakyat tinggal di
sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka itu tangkas dalam
peperangan, baik di darat maupun di laut. Dalam peperangan dengan negara
lain, mereka berkumpul. Berapa pun keperluannya, dipenuhi. Mereka sendiri
yang memilih panglima dan pemimpinnya. Semua pengeluaran untuk persenjataan
dan perbekalan ditanggung oleh mereka masing-masing. Dalam menghadapi lawan
dengan resiko mati terbunuh, di antara bangsa-bangsa lain sukar dicari tandingannya.
Politik dan ekonomi
kaitannya sangat erat. Śrīwijaya sebagai negara maritim yang sebagian besar
kehidupan masyarakatnya dari perdagangan, banyak berhubungan dagang dengan
kerajaan-kerajaan lain di Asia, misalnya dengan Tiongkok, India, Persia, dan
Arab. Hubungan politik ditujukan untuk kemajuan dan keamanan dalam perdagangan.
Hubungan antarkerajaan lebih intensif dilakukan dengan kerajaan-kerajaan di
Tiongkok dan India dibandingkan dengan kerajaan di Timur Tengah. Keeratan
hubungan ini diduga karena persamaan dalam kehidupan beragama. Kerajaan-kerajaan
di daerah Persia dan Timur Tengah sebagian besar masyarakat dan rajanya
beragama Islam.
Sebagai sebuah kerajaan
maritim, sistem birokrasi pemerintahannya juga mencerminkan kemaritiman.
Prasasti persumpahan Telaga Batu menyebutkan para pejabat dan pegawai kadātuan
yang disumpah oleh Dapunta Hiyaŋ dengan tujuan agar tidak melakukan
pemberontakan. Mereka yang disumpah antara lain, putra mahkota, putra-putra dātu,
pemimpin, senāpati (komandan
tentara), nāyaka (Ketua Bendahara),
hāji pratiaya (Tumenggung),
dandanāyaka (hakim), para pemimpin,
pengawas para buruh, para pengawas kasta-kasta yang rendah, pembuat pisau, kumārāmātya,
cāţabhaţa, adhikarana, kāyastha
(juru tulis), vāsikarama (pande
besi), puhāvam (kapten bahari), vaniyāga (pedagang), tukang cuci, dan
pelayan istana.
Sumber-sumber Arab menyebutkan
nama Śrībuza (=Śrīwijaya) dalam kaitannya dengan barang komoditi perdagangan.
Jalur-jalur pelayaran para pelaut/ pedagang Arab dari Oman dan Siraf ke
Kalah (=Kedah). Orang-orang Arab (Ta-shi)
ini mungkin hanya sampai di Kalah. Selanjutnya perdagangan/pelayaran
di selat dilakukan oleh para pelaut/pedagang Mālayu. Seorang pedagang Arab
lain bernama Ibn Hordadbeh berkunjung ke Śrīwijaya pada tahun 844-848
Masehi. Ia menulis bahwa raja Zābag disebut mahārāja dan kekuasaannya
meliputi pulau-pulau bagian timur. Hasil utama dari negerinya adalah
kapur barus. Pedagang Arab lainnya adalah Sulayman yang berkunjung ke
Zābag tahun 851 Masehi dan Ibn al-Fakih yang berkunjung tahun 902 Masehi. Mereka
menyebut bahwa di Zābag ada gunung berapi. Barang dagangan dari Zābag
adalah kapur barus, cengkeh, kayu cendana, dan pala. Pelabuhannya yang
besar ada di pantai barat bernama Fansur (=Barus).
Berita Arab lain ditulis oleh Ibn Rosteh (903 Masehi) dan Abu Zayd (916
Masehi). Mereka menyebutkan kekayaan dan hasil negeri mahārāja Zābag. Mahārāja
Zābag sangat kaya dan kekayaannya melebihi kekayaan mahārāja India. Demikian kayanya,
mahārāja Zābag setiap hari melemparkan segumpal emas ke kolam di dekat
istananya. Hasil hutan dari Zābag adalah kapur barus, berbagai macam kayu
(gaharu, cendana, dan sapan), dan gading gajah, hasil tambang seperti emas dan
timah, dan rempah-rempah.
Selain para pedagang,
yang singgah di Zābag terdapat juga seorang ahli geografi bangsa Arab yang
terkenal pada masa itu adalah Mas’udi. Ia berkunjung ke Zābag pada tahun 955
Masehi. Dalam catatannya ia menguraikan bahwa Mahārāja Zābag menguasai banyak
pulau, rakyat dan tentaranya banyak serta kuat. Hasil bumi dari negeri Zābag
adalah kapur barus, cengkeh, kayu gaharu, cendana, pinang, pala, kapulaga, dan
pinang. Dari Fansur di pantai barat dihasilkan kapur barus, sedangkan dari
Kalah dihasilkan emas dan timah. Selanjutnya disebutkan bahwa Mahārāja Zābag
juga menguasai perdagangan dari Siraf dan Oman.
Pada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-15 Masehi di
Nusantara terdapat kerajaan-kerajaan yang mendapat pengaruh budaya India.
Kerajaan-kerajaan ini berhubungan dagang dan agama dengan kerajaan lain di Nusantara
maupun di Asia Selatan, Asia Tenggara daratan, dan Tiongkok. Sebut saja, selain
Śrīwijaya dan Mālayu di Sumatera, pada masa yang sama di Jawa ada Kerajaan
Sunda dan Mdaŋ (Matarām), dan di Kalimantan Barat ada Kerajaan Wijayapura (Chin-li-pi-shih). Adanya
kerajaan-kerajaan itu tidak mustahil pelayaran dan perdagangan antarpulau
sering dilakukan.
Matarām dengan tinggalan
budayanya berupa candi-candi seperti Borobudur, Mendut, Pawon, Kalasan, Sewu,
dan Prambanan merupakan negara agraris. Meskipun kehidupannya dari hasil
pertanian, namun rakyatnya juga mengenal budaya maritim. Bukti dikenalnya
budaya maritim dapat dilihat pada relief Candi Borobudur.
Pada relief digambarkan berbagai jenis alat transportasi air. Ada perahu
bercadik, dan ada juga yang tidak tetapi mempunyai layar tunggal. Pada
pelayaran jarak jauh, kapal yang digunakan adalah kapal yang menggunakan cadik
dengan layar ganda. Fungsi cadik adalah sebagai alat agar perahu/kapal
tersebut tidak mudah terbalik ketika menghadapi gelombang besar.
Dikenalnya budaya
maritim selain tergambar pada relief candi Borobudur, juga tercermin dalam
jabatan pemerintahan seperti yang tertulis pada Prasasti Daŋ Puhāwaŋ Glis yang ditemukan
di kaki Gunung Sumbing (Temanggung, Jawa Tengah). Prasasti berbahasa Melayu
Kuna yang bertanggal 17 Mei 827 ini menyebutkan seorang nakhoda kapal (Daŋ Puhāwaŋ) dan keluarganya
memberikan persembahan kepada sīma-nya.
Ia adalah seorang nakhoda kapal yang datang dari Sumatera. Di tempat yang dikunjunginya
itu ada bangunan suci, ada kelompok masyarakat Melayu yang di antaranya ada
yang duduk pada pimpinan kerajaan.
Jaringan maritim yang
terbentuk pada sekitar abad ke-8 Masehi serta peranan Kadātuan Śrīwijaya dan Matarām dalam bidang kemaritiman dapat
diketahui dari bukti-bukti arkeologis berupa prasasti dan arca-arca batu dan
logam. Pada awalnya memang bermula dari perdagangan, kemudian dibarengi dengan
penyebaran agama. Pada sekitar abad ke-8-9 Masehi di belahan barat Nusantara
berkuasa Dinasti Śailendra. Entah darimana asal dinasti ini, yang kita tahu
keberadaannya ada di Jawa, Sumatera, Tanah Genting Kra (Ligor, Thailand), dan
India. Jejak keberadaannya dapat diketahui dari prasasti-prasasti yang
ditemukan di India (Nālanda), Ligor (Thailand), dan Jawa (Sojomerto, Kalasan,
dan Wanua Tńah II), serta arca-arca batu dan logam berlanggam Śailendra dari
Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Tanah Melayu.
Selain indikasi
keberadaannya di tempat-tempat tersebut, ada petunjuk lain yang
menginformasikan bahwa pada sekitar abad ke-8 Masehi antara Jawa dan Khmer
terjadi hubungan politik. Adalah suatu “fakta sejarah” bahwa hubungan politik
antara Kamboja dan kerajaan di Nusantara pada sekitar abad ke-8 Masehi tidak
demikian baik, meskipun kerajaan-kerajaan di Nusantara telah mengadakan hubungan
politik dan ekonomi dengan kekaisaran Tiongkok yang letaknya jauh di sebelah
timurlaut Kamboja. Sumber sejarah yang menyiratkan hal itu justru diperoleh
dari prasasti-prasasti yang ditemukan di Kamboja. Sementara itu data prasasti
yang menyiratkan hubungan kurang baik itu belum pernah ditemukan di Nusantara.
Dari beberapa buah
prasasti yang dikeluarkan oleh Jayawarman II, agaknya Prasasti Sdok Kak Thom
(802 Masehi) yang isinya penting dalam kaitannya pertalian sejarah antara
Kamboja dan Jawa. Prasasti Sdok Kak Thom pada bagian yang berbahasa Khmer
menyebutkan: “Yang Mulia Parameśwara telah datang dari Jawa kemudian menjadi
raja di Kerajaan Indrapura” (bait 61-62). Pada bait lain (71-72) disebutkan:
“Yang Mulia Brâhmana Hiranyadâma yang ahli dalam ilmu gaib telah datang dari
Janapada karena Paduka Yang Mulia Parameśwara telah mengundangnya untuk
mengadakan upacara agama, agar daerah Kamboja tidak lagi tergantung kepada
Jawa, oleh karena Yang Mulia telah menjadi cakrawarti “
Selain prasasti yang
dikeluarkan oleh Jayawarman II, prasasti lain yang menyebutkan “jawa” adalah
Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan oleh Raja Indrawarman pada tahun 799
Masehi. Isinya mengenai peringatan selesainya pemugaran kuil Bhadrâdhipatīśwara
yang pada tahun 787 Masehi telah diserang dan dibakar oleh sepasukan yang
datang naik kapal dari Jawa. Pada tahun 774 Masehi Campa juga pernah mendapat
serangan dari orang-orang yang datang dari Jawa.
Peristiwa penyerangan
Jawa atas Kamboja begitu membekas di hati rakyat Kamboja, sehingga menjadi
sumber cerita orang-orang Khmer yang disampaikan kepada pedagang Arab ketika ia
berkunjung pada tahun 851 Masehi. Pedagang Arab yang bernama Sulaeman
menceriterakan tentang kekalahan yang diderita oleh raja Khmer akibat serangan
yang dilakukan oleh pasukan Śrī Mahārāja dari negeri Zabaj. Nama Śrī Mahārāja
disebutkan juga di dalam beberapa prasasti dari abad ke-8 Masehi, baik yang
ditemukan di Jawa (Kalasan, 775 Masehi) dan Tanah Genting Kra (Ligor B, 778
Masehi).
Petunjuk keberadaan
“pengaruh” Śailendra di Semenanjung Tanah Melayu, Sumatera, dan Jawa
pertama-tama diketahui dari prasasti yang ditemukan di daerah-daerah itu.
Prasasti-prasasti itu menyebutkan seorang tokoh dari keluarga Śailendra,
yaitu Śrī Mahārāja Rakai Paņamkaran. Tokoh ini di Ligor disebutkan membangun trisamaya caitya untuk Padmapāņi,
Śākyamuni, dan Vajrapāņi (Prasasti Ligor A), dan di Jawa disebutkan membangun bangunan suci untuk Dewi Tārā (Prasasti
Kalasan), Candi Sewu untuk pemujaan Mañjuśri (Prasasti Kelurak), Candi Plaosan
Lor (Prasasti Plaosan), Candi Borobudur, dan salah satu bangunan di Bukit Ratu
Baka. Meskipun Paņamkaran diberitakan telah membuat bangunan suci di Ligor,
namun belum ada satupun sumber prasasti yang menyebutkan bahwa Paņamkaran
membuat bangunan suci di wilayah Sumatera. Berdasarkan informasi dari Prasasti
Siwagŗha hanya dapat menduga bahwa cucu dari Paņamkaran (Bālaputra) inilah
yang membawa pengaruh Śailendra ke Sumatera pada tahun 856 Masehi. Ia pergi
melarikan diri ke Sumatera setelah kalah perang melawan Rakai Pikatan.
Bālaputra mulai memerintah di Sumatera pada sekitar
tahun 860 Masehi. Menurut Prasasti Nālanda yang dikeluarkan oleh Dewapāladewa
pada pertengahan abad ke-9 Masehi, hak waris atas tahta kerajaan di Sumatera
diperoleh dari abang pihak ibunya (Dharmasetu) yang dikatakan dari Somawangśa.
Kepindahannya ke Sumatera tentunya tidak mungkin sendiri atau hanya terdiri
dari beberapa orang. Apalagi ia seorang bangsawan anak raja yang memerintah
sebelumnya. Mungkin saja ia membawa pengikutnya yang terdiri dari para ahli.
Setidak-tidaknya ia juga membawa arsitek dan pemahat.
Keberadaan bukti-bukti arkeologis tersebut
mengindikasikan bahwa pada masa sekitar abad ke-8-9 Kerajaan Matarām di bawah
pemerintahan dinasti Śailendra telah menjalin persahabatan dengan kerajaan lain
di luar Nusantara (Jawa dan Sumatera khususnya). Keberadaannya “diakui” di
Thailand Selatan dan India. Di Kalimantan Barat pengaruh Śailendra juga terasa
dengan ditemukannya bukti sejumlah arca logam yang bergaya seni Śailendra (abad
ke-8-9 Masehi). Pada waktu itu di Kalimantan Barat terdapat Kerajaan Wijayapura
(Ch’in-li Pi-shih). Kerajaan ini
menurut Wolters yang kajiannya didasarkan atas berita Tionghoa, berhubungan
dagang dengan Śrīwijaya, dan tidak ada hubungan langsung ke Tiongkok.
Majapahit adalah sebuah
kerajaan agraris, namun segi kemaritiman juga dikembangkan. Pada waktu itu di
Jawa Timur yang termasuk daerah inti kerajaan terdapat beberapa kota pelabuhan,
misalnya pelabuhan Kambangputih (Tuban), Pajarakan, Gresik, Surabaya, dan
Canggu. Jauh sebelum Majapahit, sejak masa pemerintahan Raja Airlangga (abad
ke-11 Masehi), di wilayah Jawa Timur telah dikenal pembagian fungsi pelabuhan
sesuai dengan asal kedatangan kapal. Pelabuhan Hujunggaluh yang merupakan pelabuhan
sungai (Sungai Brantas) letaknya di sekitar Mojokerto diatur untuk pelabuhan
pulau, sedangkan pelabuhan Kambangputih yang letaknya di pesisir Tuban diatur
untuk pelabuhan antarpulau.
Perdagangan maritim di
Asia Tenggara, khususnya di Nusantara, mencapai puncak kejayaannya pada sekitar
abad ke-15 Masehi. Pada waktu itu para pedagang Muslim dan pedagang Tionghoa
ramai berhubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Akibatnya
Selat Melaka yang menghubungkan Asia Timur dan Asia Barat/Selatan menjadi
ramai, Di daerah tepiannya, baik di daerah Semenanjung Tanah Melayu, maupun di
pantai timur pulau Sumatera timbul beberapa kota pelabuhan yang disinggahi
oleh kapal-kapal. Sebuah bandar yang baru lahir dibangun oleh Parameswara
--seorang bangsawan yang “menyingkir” dari Sumatera Selatan-- yaitu Melaka di
Semenanjung Tanah Melayu.
Letak bandar Melaka
sangat strategis, yaitu di pusat kawasan Asia Tenggara dekat dengan gerbang
perdagangan regional dan internasional yang menghubungkan antara Asia Timur
dan Asia Barat/Selatan termasuk Timur Tengah dan Afrika. Dari segi pelayaran
yang mengandalkan angin muson lokasinya juga mendukung. Bandar Melaka
terlindung oleh Semenanjung Tanah Melayu dari tiupan angin muson timurlaut
yang datang dari Laut Tiongkok Selatan, dan terlindung oleh Sumatera dari angin
muson baratdaya yang datang dari Samudra Indonesia. Dengan mengandalkan angin
muson ini pelayaran dan perdagangan berlangsung sesuai musimnya. Sambil
menunggu musim, para pedagang/pelaut itu tinggal di Melaka. Dengan demikian
mereka yang hendak meneruskan pelayaran dengan menunggu datangnya angin musim
berikutnya menjadikan bandar Melaka sebagai tempat penantiannya. Kondisi ini
menjadikan bandar Melaka cepat berkembang.
Ketika di Nusantara
timbul kerajaan-kerajaan Islam, pada awal abad ke-15, sebuah ekspedisi ambisius
dari kekaisaran Tiongkok yang melibatkan ratusan kapal besar dengan puluhan
ribu anak buah kapal di bawah pimpinan Laksamana Chêng Ho, datang ke berbagai
tempat di kawasan barat Nusantara hingga pantai timur benua Afrika. Ekspedisi
yang diperintahkan oleh Kaisar Yung Lo dari Dinasti Ming ini bertujuan
memperkuat kedudukan dan sekaligus memperluas pengaruh Ming di luar perbatasan
Kekaisaran Tiongkok. Namun di belakang itu, ekspedisi yang besar ini dapat
dikatakan sebuah Misi Kebudayaan yang sifatnya memperkenalkan penguasa
baru di kekaisaran Tiongkok,
dan mengundang pedagang asing agar mau berdagang ke Tiongkok.
Tabel 1. Pelayaran Laksamana Chêng Ho
No.
|
Tahun Pelayaran
|
Kawasan Asia Tenggara yang dikunjungi
|
1.
|
1405-1407
|
Champa, Melaka, Jawa, Samudra Pasai, Lambri (Banda Aceh),
dan Palembang.
|
2.
|
1407-1409
|
Champa, Melaka, Siam, Kalimantan, Jawa, dan Lambri
|
3.
|
1409-1411
|
Champa, Melaka, Jawa, Samudra Pasai, dan Lambri.
|
4.
|
1413-1415
|
Champa, Melaka,
Pahang, Kelantan, Jawa, Palembang, Nakur, Lambri, dan Aru.
|
5.
|
1417-1419
|
Champa, Melaka, Sulu,
Pahang, Jawa, Palembang, Samudra Pasai,
dan Lambri.
|
6.
|
1421-1422
|
Champa, Siam, Melaka, Samudra Pasai, Lambri, dan Aru.
|
7.
|
1431-1433
|
Champa, Melaka, Siam, Jawa, Palembang, Samudra Pasai,
Lide, Nakur, Aru, dan Lambri.
|
Misi Kebudayaan
Laksamana Chêng Ho yang dilakukan sebanyak tujuh kali mengunjungi berbagai
tempat di Nusantara dan Asia Barat hingga ke pantai timur benua Afrika. Beberapa
tempat di Nusantara disinggahi beberapa kali oleh misi ini. Menurut penuturan Ma Huan, Chêng Ho singgah
di Palembang untuk pertama kalinya dalam pelayarannya yang pertama (1405-1407)
dengan tujuan utama menangkap seorang lanun Ch’en Zuyi beserta pengikutnya
yang menyingkir dari Propinsi Fujian di Tiongkok.
Semangat petualangan
yang dibarengi dengan perkembangan teknologi kemaritiman menjadikannya
bangsa-bangsa di dunia ini mencari dunia baru. Semula di perairan Asia Tenggara
banyak dilalui pedagang/pelaut dari kawasan Asia, misalnya dari Arab, Persia,
India, dan Tiongkok. Para pedagang/pelaut dari Asia Barat tidak semata
berdagang. Mereka juga mempunyai andil dalam penyebaran agama Islam. Di Asia
Tenggara, khususnya di Nusantara, daerah yang pertama kali berkembang agama
Islam adalah Sumatera bagian utara. Sebagai contoh misalnya, Kerajaan Samudera
Pasai yang berdiri pada abad ke-13 Masehi merupakan kerajaan Islam pertama di
Nusantara. Dibangun oleh pedagang Muslim yang datang dari Gujarat (pantai
barat India). Dari Samudera Pasai agama Islam berkembang ke arah timur, Melaka,
Jawa, dan kawasan timur Nusantara.
Pada kurun waktu sekitar
abad ke-15-16 Masehi di Nusantara telah ada kelompok-kelompok masyarakat yang
beragama Islam. Mata pencaharian mereka adalah berdagang. Karena itulah,
pada awalnya mereka tinggal di daerah pesisir yang dilalui oleh jalur-jalur
pelayaran, seperti Lambri, Aru, Jambi, Palembang, Banten, Kalapa, Cirebon,
Demak, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Tempat-tempat ini pada awal perkembangan
Islam merupakan pelabuhan penting yang banyak disinggahi kapal dari berbagai
bangsa dengan kargonya berupa barang-barang komoditi perdagangan dari
berbagai jenis.
Sejalan dengan
kemunduran dan akhirnya runtuhnya Kerajaan Majapahit, pada sekitar abad
ke-15-16 Masehi di Jawa timbul Kerajaan Islam Demak dan Pajang. Demak merupakan
kerajaan Islam yang cukup kuat di bidang kemaritiman. Pada tahun 1511 Demak
pernah menyerang Portugis dalam usahanya mengusir dari Melaka. Namun usaha
ini tidak membuahkan hasil. Bandar Melaka pada akhirnya jatuh ke tangan
Portugis.
Sebelum kedatangan
bangsa Eropa ke Asia Tenggara, Melaka merupakan sebuah bandar yang penting.
Kapal-kapal Tiongkok perlu singgah di Melaka guna mengisi perbekalan sebelum
melanjutkan pelayaran ke Asia Barat. Jung-jung Tiongkok membawa banyak barang
dagangan ke Melaka, seperti bibit minyak wangi, benang-benang sutra dan
tenunan sutra dalam jumlah besar, kain-kain mahal, barang-barang kerajinan,
serta keramik dan porselen yang dihasilkan dari negaranya. Dari Melaka
barang-barang tersebut mereka membeli rempah-rempah, kayu cendana, timah, dan
gading gajah.
rempah-rempah dan hasil lain dari kawasan timur Nusantara
pada abad ke-15 merupakan komoditi yang sangat populer, sehingga terjadi
semacam booming pada pasaran Eropa.
Permintaan pasar Eropa terhadap komoditi ini sangat tinggi. Masa itu dapat
dikatakan “Abad Perniagaan” yang mengubah Asia Tenggara. Banyak yang menganggap
bahwa naiknya permintaan rempah-rempah akibat dari aktivitas pedagang Tionghoa
dalam memasarkannya. Keadaan sebenarnya tidak demikian. Para pedagang
Muslim-lah yang berperan aktif dalam membawa rempah dan komoditi lain antara
Asia Tenggara dan pasar lain. Pedagang Arab, Persia, dan India juga aktif menyebarkan
agama Islam bersamaan perdagangan dari Timur Tengah ke Gujarat, India Selatan,
Asia Tenggara, dan Nusantara.
Kedatangan dan dominasi
kemaritiman bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris di
wilayah perairan Asia Tenggara selama lebih dari 500 tahun (1400-1900),
sedikit banyak telah membantu perkembangan dunia maritim secara global.
Sementara itu di wilayah perairan Asia Tenggara lebih awal telah berkembang
hubungan pelayaran dengan bangsa-bangsa Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia
Timur. Namun perkembangannya lebih bersifat penjelajahan maritim, hubungan
perdagangan, dan penyebaran agama (Islam) yang harmonis.
Dunia kemaritiman dibagi
dua oleh dua penguasa lautan yang pada waktu dikuasai oleh Portugis dan Spanyol.
Portugis menguasai jalur-jalur pelayaran melalui Tanjung Harapan, Samudera
Indonesia, Nusantara, dan Brazil. Sementara itu Spanyol menguasai jalur
pelayaran Laut Carribia, Amerika Tengah, Amerika Utara, dan sebelah barat Pasifik
(termasuk Filipina dan timurlaut Nusantara).
Portugis datang ke Asia
pada sekitar tahun 1500, yaitu ketika Alvares Cabral dengan membawa 13 buah
kapalnya menyerang Calcutta. Setelah bandar Calcutta jatuh, selanjutnya
Portugis menyerang pelabuhan utama lainnya, yaitu Goa (1510) dan Melaka
(1511). Sejak Melaka jatuh, Portugis berhasil menguasai jalur perdagangan
dunia yang melalui Selat Melaka.
Armada Portugis berjaya di Selat Melaka dan Nusantara selama sekitar
200-an tahun. Dominasinya berubah dengan kemunculan penguasa lautan yang
baru pada awal abad ke-18, yaitu Inggris dan Belanda. Abad ini merupakan era
dimulainya persaingan dagang oleh
bangsa-bangsa Eropa jauh dari negerinya dalam merebut kawasan dan
jalur perdagangan/pelayaran di kawasan Asia Tenggara/Nusantara dan Asia
Timur.
Kedua pemain baru ini masing-masing mendirikan syarikat dagang. Pada tahun
1600 Inggris mendirikan East Indian Company
(EIC), dan pada tahun 1602 Belanda mendirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Mereka ini tidak hanya menguasai
jalur-jalur perdagangan saja, tetapi juga memonopoli perdagangan. Penduduk di
Nusantara hanya boleh berdagang dengan Inggris atau Belanda saja, dan tentunya
dengan harga yang telah mereka tetapkan.
Masuknya
bangsa-bangsa Eropa sebagai “pemain” di kawasan Asia Tenggara, bersamaan
dengan semakin besarnya volume perdagangan antara Nusantara dan Eropa,
menyebabkan terjadinya perubahan dalam kebudayaan. Banyak para penguasa
pelabuhan (shahbandar) gaya hidupnya berubah. Hasil penjualan rempah-rempah dan
cukai pelabuhan menjadikan mereka kaya raya dan sangat berkuasa. Produk-produk
dari luar Nusantara banyak yang masuk, seperti kain-kain mahal, barang-barang
keramik, dan aneka jenis barang mewah. Tidak hanya materi yang masuk dan
mengubah penduduk Nusantara, dalam hal gagasan dan pola pikir juga terjadi perubahan.
Teknologi rancang-bangun kapal, sistem persenjataan, sistem perbentengan, dan
bangunan-bangunan istana mulai dikenal. Demikian juga cara baru memandang
negara, keluarga, diri sendiri, serta moral. Pada abad ini pula terjadi
masuknya agama Islam, kemudian disusul agama Nasrani menggantikan agama yang
sebelumnya banyak dianut penduduk Nusantara, yaitu Hindu dan Buddha.
3. Era Perdagangan
Rempah
Indonesia yang terletak
di pertengahan rute pelayaran dan perdagangan antara India dan Tiongkok, telah
dikenal sejak dulu. Berhubungan dengan aktivitas itu, banyak ahli percaya bahwa
“sosialisasi” budaya India berlangsung
di Jawa dan Sumatera. Kedua pulau itu telah dinyatakan dalam catatan geografi
Arab Kuno sejak abad-abad awal masehi. Orang Portugis tampil pertama kali di
Nusantara pada tahun 1509, yang diikuti
dengan aksi Antonio de Abreu, seorang perwira armada Afonso de Albuquerque,
memperoleh Maluku, pulau penghasil rempah-rempah. Kakak-beradik Parmentier
dari Dieppe, Perancis, pada tahun 1529 juga berlayar ke Sumatera dalam usaha
mencari rempah-rempah walaupun kematian yang ditemukannya di sana.
Selanjutnya, orang Belanda datang ke Jawa pada tahun 1596, membangun Batavia
pada tahun 1619, dan sedikit demi sedikit berhasil menggantikan kedudukan
orang Portugis.
Pengenalan beberapa
produk alam Nusantara sebagai komoditi perdagangan yang transaksinya
berlangsung sejak dulu dan melibatkan banyak bangsa, adalah hal yang menarik
untuk diungkap. Mengacu pada data sejarah dan arkeologi maritim, kita dapat
membicarakannya pada pokok yang terkait dengan topik bahasan yang lebih luas,
yaitu economic exchanges, sebagai yang dikemukakan oleh Mollat.
Besarnya kebutuhan akan
rempah-rempah mengakibatkan perubahan jalannya sejarah serta
mempengaruhi hubungan internasional dan antarbangsa. Hal itu memunculkan arti
lain rempah-rempah sebagai komoditi yang menyebabkan bangsa Eropa mendatangi
Nusantara untuk memperolehnya dari tangan pertama. Dalam konteks ini
rempah-rempah adalah pala, cengkeh, lada, kayu manis, dan beberapa lainnya.
Pada saat itu perahu - yang memanfaatkan angin sebagai tenaga penggerak - amat
berperan. Tanpa perahu kita tahu bahwa eksplorasi, kolonisasi, maupun perkembangan
umum sebagian besar dunia, merupakan hal yang tidak akan begitu saja terwujud.
Sejak abad pertama Masehi, masyarakat Nusantara telah memiliki hubungan dagang
dengan wilayah-wilayah lain. Ada rute dagang dari Tiongkok melalui kepulauan
Nusantara ke India, Persia, Mesir, Eropa, dan sebaliknya. Barang dagangan yang
dihasilkan Indonesia adalah rempah-rempah yang terutama berasal dari Maluku.
Saudagar Jawa dan Sumatera membawa barang itu ke pusat perdagangan di kawasan
nuasantara barat. Selanjutnya mereka atau pedagang-pedagang dari India,
mengangkutnya ke India. Di sana telah menunggu saudagar-saudagar Asia Barat
(orang Persia dan Arab, mula-mula juga orang Yunani dan Mesir), yang
selanjutnya membawa rempah-rempah tadi, bersama barang lain ke pasaran Eropa.
Rute dagang itu tampak bagaikan sebuah rantai yang terjalin dari beberapa mata
rantai.
Penduduk Sumatera yang
berada di ujung barat nusantara telah melibatkan diri dalam perdagangan antara
Tiongkok dan India sejak abad ke-5 dan ke-6. Mulai
abad ke-7, secara teratur pedagang Arab yang kebanyakan datang dari India
berlayar ke Asia Tenggara. Perdagangan secara meluas tidak saja dilakukan di
Nusantara, malahan mencapai Tiongkok sebelah selatan. Lada, rempah-rempah lain,
dan kayu harum adalah komoditas yang dicari.
Gresik sejak lama juga
merupakan sebuah mata rantai pelayaran dan perdagangan di kawasan Asia
Tenggara. Di Leran masih tersimpan data pertanggalan yang dihubungkan dengan
keberadaan komunitas Islam yang paling tua di Asia Tenggara, ialah nisan
Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 495 Masehi (sekitar 1101 Masehi).
Lokasi sekitarnya mengandung sisa kehidupan sebuah bandar abad ke-10-14 Masehi
(Situs Pasucinan), yang mampu menempatkannya sebagai alternatif dari lokasi
Gresik awal. Temuan keramiknya berkronologi abad ke-10-14, dengan dominasi
produk dinasti Song-Yuan.
Kehadiran orang Portugis
di Nusantara bermula dengan penjelajahan pantai barat Afrika sejak abad ke-15.
Keinginan untuk menemukan jalur ke "Hindia" sebagai cara mencari
kekayaan melalui perdagangan adalah motivasi ekonomi yang menjadi pendorongnya.
Di dalamnya terkandung maksud mengalihkan lalulintas perdagangan melalui jalur
baru. Diperhitungkan bahwa hal tersebut akan merugikan bangsa-bangsa yang
sampai saat itu menguasai rantai perdagangan Asia-Eropa, di antaranya adalah
bangsa Turki, yang ketika itu sedang menyerang kerajaan-kerajaan Eropa. Itu
dapat dikategorikan sebagai alasan politis bangsa Portugis. Adapun alasan lain
yang mendorong penjelajahan itu adalah rasa tanggung jawab mereka atas
penyiaran agama, pengabdian terhadap agama Kristen sehingga dapat dilihat pula
adanya alasan keagamaan di dalamnya.
Berkenaan dengan itu,
maka pada permulaan abad ke-16 masuklah faktor baru dalam konstelasi kekuatan
ekonomi, politik, dan religi di Nusantara, yakni ketika Melaka - pusat perdagangan
utama antara Maluku dan India - direbut orang Portugis pada tahun 1511.
Peristiwa tersebut diikuti dengan malang melintangnya armada kapal mereka di
perairan antara Jawa dan Maluku. Puncaknya terjadi tahun 1522 ketika mereka
mendirikan benteng di Temate. Semua itu adalah kelanjutan dari kegiatan os
descobrimentos (penjelajahan dan penemuan) dalam sejarah Portugal yang
merupakan seculo domo (abad/zaman keemasan) pada lintasan sejarah
bangsa itu. Tujuan jangka panjangnya jelas, yakni menguasai perdagangan
Asia-Eropa yang dapat dicapai dengan menguasai lautan.
Orang Portugis jelas
mencium peran Melaka sebagai bandar yang amat penting. Keletakannya yang
strategis menjadi tumpuan hubungan dagang regional dan intemasional. Dari
barat, berdatangan perahu-perahu pedagang Pegu, Benggala, Srilangka (Serendib,
menurut pelaut Arab) dan Goa. Mereka adalah perantara lalu lintas komoditi
Barat dan Timur. Dari arah timur, kedatangan pedagang Siam, Tiongkok, dan
Jepang meramaikan jual-beli berbagai jenis barang dagangan yang dibawa dan yang
diperlukan. Jung Tiongkok datang ke Melaka membawa sutera, keramik, dan
sebagainya. Sedangkan barang utama yang dibawa balik ke Tiongkok berupa lada, gaharu,
rempah, dan hasil hutan Nusantara. Disampaikan oleh Tomé Piresbahwa satu
kuintal lada yang dibeli dengan nilai 4 cruzados di Melaka, laku dijual
dengan harga 15 atau 16 cruzados di Tiongkok.
Dari selatan, kapal-kapal yang sarat dengan rempah-rempah dan kayu harum, hasil
bumi dan hasil hutan Sumatera, Jawa, dan Kepulauan Maluku datang mengisi
gudang-gudang pedagang di Melaka. Kegiatan tersebut memberikan pengaruh yang
besar atas tumbuh kembangnya bandar-bandar pesisir utara Pulau Jawa seperti
Cirebon, Demak, Jepara, dan Tuban, selain memberi kesempatan diperolehnya
pangsa pasar yang luas atas produk berupa cengkeh (Maluku), pala (Banda), dan
kayu gaharu (Lombok), atau kayu cendana dari Timor.
Kedatangan Diego Lopes
de Sequiera pada tahun 1509 di Pedir menandai
hubungan Sumatera dan Portugal, sebelum orang Portugis menguasai Melaka. Ia
melanjutkan pelayaran ke Pasai, dan kemudian ke Melaka. Tujuannya menguasai
kekayaan alam Pasai, yang antara lain menghasilkan kayu cendana, kamper, damar,
lada, dan jahe. Namun akibat serangan Aceh pada tahun 1524, Portugis
meninggalkan bentengnya di Pasai.
Penaklukan Goa dan
Melaka oleh orang Portugis mengakibatkan berubahnya rute perdagangan
rempah-rempah. Dahulu lada di bawa melalui Laut Merah, Kairo, Laut Tengah, dan
masuk ke Eropa. Setelah itu rute ber-geser melalui Tanjung Harapan. Hal itu
jelas menguntungkan pihak Portugal, dan sebaliknya merugikan orang-orang
Venesia.
Pedagang Muslim yang
tidak mau lagi singgah di Melaka cenderung berdagang di bandar-bandar pesisir
utara Jawa dan kawasan barat Nusantara, seperti Aceh di Sumatera. Aceh yang
beruntung, mampu menciptakan bandar altematif bagi padagang yang enggan
menyinggahi Melaka. Sebagian ruas Selat Melaka berada di bawah kontrolnya
sehingga mengganggu arus perdagangan orang Portugis di Nusantara. Aceh juga
berkali-kali menyerang Melaka, bahkan menyerbu Patani, Johor, dan Perak.
Menurut sumber Tiongkok ketika itu Aceh mengekspor kayu gaharu, cengkih, dupa,
lada, kayu sapang, dan sebagainya.
Bangsa Eropa lain yang
ikut memasuki "ajang perburuan rempah-rempah" Nusantara adalah orang
Belanda. VOC yang dibentuk tahun 1602 merupakan sebuah federasi dari enam badan
dagang yang sejak tahun 1596 telah mengirimkan armada dagangnya ke
bandar-bandar di Nusantara. Tempat-tempat penting yang menghasilkan komoditi
bagi konsumen Eropa - yakni rempah-rempah - dikuasainya dengan cara yang lebih
luas, berbeda dengan tempat-tempat yang hanya dijadikan titik persinggahan atau
jual-beli saja.
Walaupun perdagangan
utamanya antara Batavia dan negeri Belanda, VOC tidak meninggalkan perdagangan
dengan bandar lain di Asia Tenggara dan Asia Timur. Bila yang diangkut dari
Batavia adalah rempah-rempah, maka yang dibawa dari Belanda berupa uang,
barang-barang keperluan VOC, serta sedikit barang dagangan.
Upaya Belanda memonopoli
rempah-rempah Nusantara dilakukannya dengan susah payah. Kenyataan menunjukan
bahwa saudagar Tionghoa tetap aktif
dalam perdagangan lada di sepanjang abad ke-17. Bahkan mereka mampu mencegah
Belanda menguasai perdagangan lada di Kalimantan pada tahun 1730. Kondisi yang
demikian menyebabkan rencana Belanda memonopoli pasar lada Eropa tidak begitu
saja dapat diimplementasikan sehingga pada tahun 1736 English East India
Company masih mampu mengimpor lada ke London, dalam jumlah yang sama
banyaknya dengan yang diterima VOC di Batavia dari seluruh kepulauan Nusantara.
4. Musibah di laut
Setangguh apapun sebuah
kapal dalam menerjang badai atau bencana lain di laut, kapal tersebut pada
akhirnya akan tenggelam juga. Ada empat faktor utama yang menjadi penyebab
sebuah perahu/kapal dapat tenggelam atau kandas, yaitu, penguasaan geografi
kelautan, cuaca (penguasaan pengetahuan meteorologi), peperangan, dan
kelalaian manusia (human error).
Keempat faktor ini merupakan penyebab umum sebuah perahu/kapal dapat
tenggelam atau kandas di perairan yang biasa terjadi di seluruh dunia sejak mulai dikenalnya transportasi air
hingga kini.
Perairan Asia Tenggara,
khususnya perairan Nusantara, sejak awal abad pertama tarikh Masehi telah ramai
dilalui dan dikunjungi kapal-kapal niaga dari berbagai penjuru dunia, di
antaranya dari Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia Timur. Mulai permulaan abad
ke-16, sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kelautan dan majunya
teknologi perkapalan, datang ke perairan Asia Tenggara kapal-kapal dari Eropa.
Sejalan dengan kemajuan
teknologi pembangunan perahu/kapal, dikembangkan pula ketrampilan navigasi
disertai pengetahuan geografi untuk mengenal lokasi yang dikunjungi; hidrografi
untuk mengetahui arus laut di sebuah perairan pada waktu tertentu dan alur
pelayaran yang aman; meteorologi untuk mempelajari gerak angin yang dapat
dimanfaatkan; serta astronomi untuk memahami peredaran bulan dan bintang yang
dapat menjadi pegangan dalam menentukan arah angin.
Perairan Nusantara
tampaknya merupakan sebuah perairan yang tenang, jauh dari obak besar dan
badai karena merupakan perairan antar pulau. Namun pada perairan yang tampak
tenang itu, tersembunyi bahaya yang tidak diduga oleh pelaut manapun. Badai
muson yang sewaktu-waktu datang, batu karang di laut, serta gosong-gosong pasir
di perairan dangkal merupakan bahaya yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan
bencana. Apalagi pada kala itu pengetahuan geografi kelautan dan belum adanya
peta laut, dapat menambah daftar inventaris kapal yang karam dan akhirnya
tenggelam beserta muatannya.
Sebagai bangsa bahari,
sebagian besar masyarakat yang hidupnya di laut, tentu mengenal jenis-jenis
angin. Tanpa mengenal jenis angin, maka mereka akan celaka di laut. Kosa kata
dalam berbagai bahasa di Nusantara “menyumbang” kata-kata untuk menyebutkan
nama-nama angin. Untuk angin yang berpusing-pusing disebut angin langkisan, angin puting
beliung, atau angin puyuh. Bila
ada angin yang tidak tentu arahnya, maka disebut dengan nama angin gila, sedangkan untuk angin yang
bertiup keras ada angin gunung-gunung,
angin taufan, atau angin ribut. Angin yang bertiup sedang,
disebut angin sendalu, apabila
anginnya kurang baik maka disebut angin
salah. Angin yang bertiup pada dinihari disebut angin pengarak pagi.
Sebutan untuk
berjenis-jenis angin, sebagian besar disumbangkan oleh masyarakat bahari. Angin haluan dan angin buritan menunjukkan daripada arah angin itu datang jika
sedang berlayar. Angin turutan yang
keras adalah angin sorong buritan. Angin sakal yang datang dari depan tentu
saja merupakan angin penghalang pelayaran, sedangkan angin paksa justru memaksa pelaut membongkar sauh dan pergi
berlayar.
Bila datang dari
berbagai jurusan maka dikatakan angin ekor duyung, tetapi kalau angin bertiup
keras dari sebelah sisi perahu disebut angin tambang ruang. Sebagai tinggalan
zaman bahari dikenal perbedaan antara negeri-negeri di atas angin (Eropa,
Magrib, Arab, Persia, dan India) ada di belahan barat Semenanjung Tanah Melayu,
sedangkan negeri di bawah angin terletak di sebelah timur, termasuk Nusantara
dan Asia Tenggara daratan.
Dilihat dari keletakan
geografis Nusantara yang dibelah oleh garis khatulistiwa, seharusnya
Nusantara berada dalam wilayah kekuasaan angin
pasat: di belahan selatan khatulistiwa bertiup angin pasat tenggara, dan di belahan utara bertiup angin pasat timurlaut sepanjang
tahunnya. Tempat bertemunya dua jenis angin ini disebut intertropical front dan merupakan “daerah angin mati”. Hukum alam
di Nusantara ini berbeda dengan kawasan lain yang juga termasuk dibelah oleh
khatulistiwa. Ada dua faktor yang menjadikannya berbeda, yaitu:
1. Peredaran bumi mengitari matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” itu
berpindah-pindah dari Lintang Mengkara
(Tropic of Cancer) ke Lintang Jadayat (Tropic of Capricorn). Akibatnya pasat
tenggara pada waktu melintasi garis khatulistiwa akan berobah menjadi pasat baratdaya, sedangkan apabila pasat timurlaut melintasi khatulistiwa
dalam perjalanannya ke selatan akan berobah menjadi angin pasat baratlaut.
2. Lokasi satu benua ini akan mengakibatkan suatu tekanan rendah yang cukup
mempengaruhi daerah angin mati tersebut bergeser lebih jauh ke selatan atau
utara menurut musimnya sehingga mengubah arah angin yang bersangkutan.
Kedua faktor tersebut
mengakibatkan terjadinya angin musim yang berubah arah tujuannya setiap
setengah tahunnya, sehingga angin seolah-olah memutar haluannya.
Di beberapa tempat
tertentu karena kondisi setempat, angin yang dalam bulan Desember sampai dengan
Februari merupakan angin barat, menjadi angin timur dalam bulan September
sampai dengan November.
Perubahan-perubahan
musim tersebut sudah lama dikenal oleh bahariawan Nusantara sejak dahulu.
Dengan memanfaatkan perubahan angin ini maka dalam bulan Oktober kapal-kapal
angkat sauh dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di Makassar, Gresik,
Demak, Banten, sampai ke Melaka dan kota-kota lain di belahan barat Nusantara.
Pelayaran ke arah timur dapat dilakukan dengan menggunakan angin barat.
Dalam bulan Juni hingga
Agustus angin di Laut Tiongkok Selatan bertiup ke arah utara sehingga
memudahkan pelayaran ke Ayutthaya, Campa, Tiongkok, dan kerajaan-kerajaan di
sebelah utara. Angin ini mulai mengubah haluan lagi pada bulan September dan
Desember angin ini sudah berbalik sedemikian rupa sehingga perjalanan kembali
ke seletak dapat dimulai lagi.
Dengan adanya sistem
angin musim ini, terlebih bagian barat, maka Nusantara berada dalam posisi
istimewa. Di tempat inilah kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia bertemu.
Tidak heran apabila kerajaan besar pertama yang dikenal berpusat di kawasan
ini. Kedudukan geografis ini sangat menguntungkan baginya, karena dapat
menguasai tempat pertemuan jalan pelayaran dan perdagangan.
Pelaut yang
mengendalikan sebuah pelayaran besar tentu saja sudah harus terampil dalam
pengetahuan tentang arah angin di Nusantara. Sumber-sumber tertulis sering
menginformasikan bahwa kapal yang satu menempuh suatu jarak tertentu dalam
waktu yang lebih lama dari kapal yang lain. Fa Hsien pada tahun 414 Masehi
mengeluh bahwa jarak antara Melaka dan Kanton yang biasa ditempuh dalam kurun
waktu 50 hari sudah dilampaui. Sebelas abad kemudian pelayaran Tomé Pires
(1517) untuk jalur yang sama masih memerlukan waktu 45 hari. Sebaliknya, Chia
Tan (abad ke-8 Masehi) berlayar dari Kanton ke “Selat” dalam waktu 18.5 hari
suatu kemajuan yang besar, tetapi tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan
Ch’ang Chun (abad ke-7 Masehi yang berlayar dalam 20 hari dari Kanton ke bagian
selatan Semenanjung Tanah Melayu, atau kapal yang ditumpangi I-Tsing pada tahun
671 yang berlayar dari Kanton ke Śrīwijaya dalam waktu kurang dari 20 hari.
Pengetahuan geografi
laut sangat penting untuk diketahui para pelaut. Gosong-gosong pantai dan batu
karang yang menonjol di perairan yang dangkal dapat menyebabkan sebuah kapal
tenggelam atau kandas. Karena pada waktu itu belum ada peta laut, maka di sini
yang berperan adalah nahkoda atau jurumudi yang berpengalaman dalam melalui
jalur yang berbahaya bagi pelayaran. Pada awal pelayaran di perairan Asia Tenggara,
tidak terdapat peta yang menunjukkan keletakkan terumbu karang ataupun beting
pasir yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara, seperti beting di Selat
Gaspar dan Selat Karimata serta batu karang di Kepulauan Enggano.
Salah satu cara untuk
menandai adanya beting pasir atau batu karang yang membahayakan pelayaran,
adalah dengan membuat tanda berupa pelampung. Namun cara inipun tidak banyak
menolong apabila cuaca berubah menjadi badai yang ganas. Ombak besar yang dapat
menghanyutkan pelampung, dan hujan lebat yang menghalangi pandangan dapat
menyebabkan kapal masuk dalam perangkap. Badai angin muson merupakan badai
yang sangat berbahaya. Datangnya secara tiba-tiba dan berlangsung tidak lama.
Setelah itu cuaca menjadi cerah kembali.
Siapa yang mengenal
perairan kawasan Nusantara dengan sifat anginnya yang berbeda dan geografi
lautnya yang khas, tentu saja para pelaut lokal. Data tertulis mengenai
kemampuan navigasi dari pelaut lokal yang bersumber dari naskah Nusantara dapat
dikatakan tidak ada. Mungkin hanya sumber barat yang jelas-jelas menyebutkan
kemampuan navigasi pelaut Nusantara. Sumber barat ini biasanya terdapat pada
jurnal pelayaran (logboek). Dalam
jurnal ini harus disebutkan siapa mualim yang memimpin pelayaran. Dalam sebuah
jurnal pelayaran disebutkan kapal Eropa yang pertama memasuki perairan
Nusantara menggunakan mualim setempat untuk mengantarkannya sampai ke tujuan.
Dalam ekspedisi Magelhaens tahun 1521, d’Elcano menculik dua perahu pandu laut
setempat untuk mengantarkan kapal-kapalnya dari Filipina ke Tidore.
Armada VOC dengan pimpinan Cornelis
de Houtman datang ke Nusantara, selain menggunakan orang Portugis yang pernah
datang ke Nusantara, juga memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman mualim-mualim
setempat, misalnya pelayaran di Selat Sunda hingga ke Banten. Kapal-kapal VOC yang pertama menerima tawaran
juragan perahu yang dijumpainya di Selat Sunda, untuk mengantarkan mereka ke
Banten dengan sewa 5 real.
|
|
Salah satu peta
pertama yang dibuat Francisco Rodriguez (Sumber: Indonesian Heritage Vol. 3).
|
|
Dari jurnal pelayaran
tersebut didapat gambaran yang lebih baik mengenal kemahiran pelaut-pelaut
Nusantara dalam mempraktekan kemampuan navigasi dalam memperhitungkan lamanya
pelayaran dari satu tempat ke tempat lain, dan kecakapan mualim Nusantara
membawa kapal asing ke tempat tujuan. Para mualim itu dapat dikatakan mahir,
karena kapal yang dibawanya jelas ukurannya lebih besar, berbeda teknologi
pembangunannya, serta perlengkapan navigasinya jauh lebih maju. Meskipun
demikian para mualim tersebut tidak mengalami hambatan, atau dalam bahasa
sekarang tidak “gagap teknologi”. Penilaian tentang pengetahuan navigasi
mualim-mualim lokal dalam membawa kapal asing yang sama sekali berbeda, tentu
saja lain daripada jika harus membawa kapalnya sendiri. Dengan demikian, dapat
dipastikan bahwa dalam penjelajahan pertama di perairan Nusantara pelaut-pelaut
Portugis banyak mendapat bantuan dari pelaut-pelaut setempat, sehingga dalam
waktu yang relatif singkat orang-orang Portugis telah mempunyai pengetahuan
yang cukup mengenai keadaan iklim (angin) dan geografi setempat. Peta-peta dan roteiros (buku panduan laut) tidak hanya
didasarkan atas observasi sendiri oleh pelaut Portugis, tetapi oleh kemampuannya
untuk memperoleh keterangan nautika dari pelaut setempat (Nusantara).
Buku-buku roteiros yang disalin
kembali dalam dua jilid itu dikumpulkan pada sekitar abad ke-17, tetapi
sebagian besar ditulis dalam abad ke-16.
Salah satu contoh roteiros adalah panduan laut mengenai
pantai timur Sumatera, mulai dari utara hingga selatan. Jalan yang dilalui oleh
para pemandu Portugis adalah sepanjang garis pantai Sumatera yang berlumpur.
Mereka mengambil jalan ini untuk menghindari karang-karang laut di sepanjang
perairan Pulau Bangka. Selain meminta para nakhoda untuk menghitung jumlah
tanjung secara cermat, para pengarang roteiros
itu juga menganjurkan mereka supaya selalu mengukur kedalaman dan mengarahkan
kapal mereka berlayar di tempat yang kedalaman airnya 7-12 fathom. Ini berarti perairan yang dilaluinya itu berjarak sekitar 5
mil laut atau sekitar 9 km dari garis pantai Sumatera yang seringkali
kedalamannya hanya sekitar 3 fathom.
Tidak heran, jika banyak sumber tertulis mengenai pelayaran Nusantara selalu
menulis bahwa orang lebih memilih terperosok ke dalam lumpur si Sumatera
daripada menabrak karang di sekitar Pulau Bangka. Karena itulah, dalam roteiros lebih sering ditemukan
keterangan mengenai pantai Sumatera
Selain hafal di luar
kepala tentang geografi Nusantara, pelaut-pelaut Nusantara juga telah mengenal
peta. Sebuah catatan Portugis dari abad ke-16 menginformasikan bahwa
pelaut-pelaut Nusantara sudah mengenal peta untuk berlayar. Orang-orang
Portugis berusaha keras untuk mendapatkan peta-peta tersebut. Peta pertama
tentang Nusantara dibuat oleh Francisco Rodrigues sekitar tahun 1512-1513.
Rodrigues adalah salah seorang pelaut Portugis pertama yang berlayar di
perairan Nusantara setelah bandar Melaka jatuh pada tahun 1511. Dari beberapa
sumber lain, dapat diketahui bahwa ia mewawancara beberapa pelaut setempat
secara mendalam, bahkan mengirim sebuah salinan “peta Jawa” ke Lisabon melalui
Alburquerque untuk dipersembahkan pada raja Portugal. Namun peta yang bertulisan
dengan aksara Jawa itu tidak pernah sampai ke tujuannya. Kapal Alberquerque
yang membawa peta-peta tersebut tenggelam di Selat Melaka. Toponim Melayu yang
dipakai pada peta untuk beberapa tempat di pantai Vietnam dan Campa jelas
menunjukkan asal usul keterangan yang diperoleh pelaut-pelaut Portugis itu.
Dengan hilangnya peta
yang beraksara Jawa tersebut, kita tidak lagi mempunyai bukti tentang
pengetahuan pelayaran orang Jawa pada masa itu. Dalam peta yang hilang itu
dijelaskan juga bahwa peta yang dibuat orang Jawa itu juga mencakup daerah
seberang Samudera Indonesia hingga wilayah Amerika Selatan (Brazil).
Hanya keterangan Alburquerque itulah yang memberi petunjuk tentang penggunaan
peta dalam pelayaran Nusantara. Tidak mustahil kemajuan kartografi Portugis
mengenai wilayah perairan Asia Tenggara dan Nusantara khususnya, pembuatannya
didasarkan atas peta-peta yang dibuat oleh petawan-petawan Nusantara.
Ada pendapat lain yang
mengemukakan bahwa peta yang keterangannya beraksara Jawa itu dibuat sebelum
tahun 1512 setelah mempelajari peta-peta Portugis di mana pada masa itu
Portugis sudah mencapai pantai Brazil. Peta-peta Portugis ini kemudian dipakai
untuk membetulkan dan melengkapi peta-peta yang sebelumnya telah dikenal di
Nusantara.
Pengetahuan tentang
angin dan geografi laut tidak cukup menjamin keselamatan di laut. Dalam sebuah
pelayaran, selain pengetahuan soal arah angin serta peta laut, diperlukan juga
peralatan navigasi lain yang tidak kalah pentingnya. Peralatan navigasi
tersebut adalah kompas dan sextant. Kompas berfungsi sebagai alat bantu untuk menentukan arah dan
tempat menurut deklinasi dan inklanasi jarumnya, sedangkan sextant berfungsi untuk menentukan
lokasi menurut pengukuran tinggi matahari. Instrumen yang kedua sangat
bermanfaat apabila kapal berada di tengah-tengah laut di mana tidak tampak
daratan. Bagaimana dengan instrumen ini ? Apakah pelaut-pelaut Nusantara telah
mengenalnya ?
Sebuah sumber Italia
menginformasikan bahwa Ludovico di Varthema dalam pelayarannya dari Kalimantan
ke Jawa tahun 1506 melihat kompas digunakan
oleh nakhoda kapal yang ditumpanginya. Selain kompas, kapal itu mempunyai pula “sebuah peta yang penuh
garis-garis melintang dan memanjang (mungkin yang dimaksud adalah peta laut).
Selanjutnya nakhoda kapal berceritera bahwa jauh di sebelah selatan pulau Jawa
terdapat lautan yang besar di mana siang hari sangat pendek, hanya 4 jam
lamanya. Apabila ceritera Varthema itu benar, maka pelayaran di Samudera
Indonesia sudah melewati garis subtropik di sebelah selatan. Dengan kata lain,
para pelaut Nusantara sudah sampai di daerah lingkaran Kutub Selatan.
Persoalannya, apakah para pelaut tersebut sudah membekali dirinya dengan
instrumen kompas dan sextant?
Kompas memang sudah lama dikenal para pelaut Asia. Instrumen
ini ditemukan di Tiongkok pada abad
ke-10-11 Masehi, namun pemakai yang pertama-tama adalah pelaut-pelaut Arab,
Persia, dan India. Namun demikian, belum dapat dipastikan apakah semua kapal
di masa lampau dilengkapi dengan instrumen ini. Lepas dari dipakai atau tidak,
pelaut-pelaut Nusantara tentu sudah mengenal instrumen ini melalui
pelaut-pelaut Arab, Persia, dan India yang sudah lama berlalu-lalang di
perairan Nusantara. Karena itu ketika pelaut Portugis memperlihatkan instrumen
tersebut, para pelaut tersebut tidak menunjukkan rasa heran atau takjub.
Bagaimana pelaut
Nusantara tahu arah ke mana mereka menuju, dan sarana apa yang dapat dijadikan
pedoman ketika kompas belum ditemukan
atau tidak mereka miliki? Kondisi iklim dan geografi Nusantara memungkinkan
pelaut-pelaut pribumi menjadikan pulau, gunung, dan tanjung jika berlayar
menyusuri pantai. Pada malam hari mereka menggunakan bintang-bintang di langit
yang cerah sebagai penentu kedudukan mereka di tengah laut. Di sinilah yang
bermain adalah pengetahuan astronomis pada pelaut-pelaut tersebut.
Instrumen navigasi,
seperti kompas dan sextant tidak diperlukan di perairan
Nusantara yang jauh dari kabut dan badai. Para pelaut Nusantara lebih banyak
mengandalkan pengetahuan astronomis. Konstelasi bintang dikenal dengan
kombinasi yang khas Nusantara dengan nama-nama seperti mayang dan biduk yang
lebih lagi mengingatkan sifat bahari dari pengetahuan perbintangan.
Menurut pengetahuan astronomi suku-suku di Biak (Irian Jaya), dua musim yang
dikenalnya berada di bawah pengaruh bintang-bintang Sawakoi (Orion) dan Romangwandi
(Scorpion). Romangwandi (naga)
dengan ekornya yang terdiri dari bintang Southern Crown menandakan bahwa musim
angin ribut sudah berlalu. Apabila Romangwandi
masih berada di bawah cakrawala, musim angin barat yang menyebabkan
ombak-ombak besar masih akan mengganggu pelayaran. Tetapi dengan munculnya
bintang Scorpion ini maka bintang Sawakoi
mulai menghilang.
Bagaimana dengan arah
mataangin pada sukubangsa-sukubangsa di Nusantara. Rupa-rupanya persepsi
tentang arah mataangin pada setiap sukubangsa berbeda-beda. Ada sukubangsa
yang hanya mengenal dua arah saja, seperti Bali, yaitu arah laut (ka lot) dan arah darat (ka ja, gunung). Dalam bahasa Indonesia,
di samping mengenal empat arah mataangin (utara, selatan, timur, dan barat),
mengenal istilah “tenggara” khusus untuk arah antara timur dan selatan. Dalam
bahasa Batak dikenal delapan mataangin dasar, sedangkan orang Sangir-Talaud
mengenal di samping delapan kata khusus untuk mataangin dasar, juga mataangin ambola (antara baratdaya dan selatan), dam araj miang (utara agak ke barat).
Di samping bahaya yang
ditimbulkan oleh alam, ada juga bahaya lain yang menyebabkan kapal tenggelam.
Peperangan di laut dan di perairan sungai sering terjadi kala itu. Persaingan
dagang dan penguasaan sumberdaya alam yang merupakan barang komoditi pada kala
itu, adalah yang menjadi pokok persengketaan. Tidak jarang iring-iringan kapal
(eskader) di antara para pesaing, bentrok di jalur pelayaran. Pertempuran laut
dapat terjadi sewaktu-waktu apabila saling berhadapan di laut. Karena itulah
kapal dagang jarang berlayar sendiri tanpa kawalan dari kapal yang
dipersenjatai atau kapal dagang yang bersenjata meriam.
Pertempuran di laut atau
di perairan sungai, seringkali terjadi di Nusantara terutama sejak masuknya
bangsa-bangsa Eropa. Sebelum itu ada juga pertempuran laut antara pihak
penyerbu dan kerajaan lokal. Sebut saja pertempuran laut yang terjadi tahun
1298 Masehi di Laut Jawa perairan Tuban antara pasukan Sińhasāri dan Kubilai
Khan merupakan contoh pertempuran laut. Meskipun jumlahnya cukup kuat, namun
armada Kubilai Khan berhasil dipukul mundur kembali ke Tiongkok.
Tahun 1511 di wilayah
perairan Melaka terjadi pertempuran laut antara armada Demak di bawah pimpinan
Pati Unus melawan armada Portugis yang hendak menduduki bandar Melaka. Dalam
pertempuran itu armada Demak berhasil dipukul mundur. Berberapa buah kapal
Demak yang oleh orang Portugis disebut junco
(jung) berhasil ditawan. Jung Jawa yang berhasil ditawan ini digambarkan
bahwa dibangun dengan empat lapis papan lambung yang mampu menahan tembakan
meriam Portugis, berbobot sekitar 600 ton dengan ukuran melebihi kapal-kapal
perang Portugis. Sebuah berita Portugis
menginformasikan kedatangan jung Jawa ketika baru menguasai Melaka:
“Dari kerajaan Jaoa juga datang
kapal-kapal junco raksasa
(dengan empat tiang layar) ke kota Malaca, yang amat berbeda dibanding gaya
kapal-kapal kita, dibuat dari kayu sangat tebal, sehingga bila kayu ini menua
maka papan-papan baru dapat dilapiskan kembali di atasnya” .
Berdasarkan laporan-laporan catatan harian orang Eropa,
diketahui ada dua jenis jung, yaitu jung untuk mengangkut barang yang besar,
dan jung untuk mengangkut pasukan yang dikhususkan untuk menyerang Melaka. Jung
untuk mengangkut barang muatan besar berukuran sekitar 400-500 ton, sedangkan
jung untuk mengangkut pasukan berbobot mati sekitar 1000 ton. Jung pengangkut
pasukan yang dibuat oleh orang Jawa ini papan lambungnya berlapis-lapis,
gunanya supaya tidak mudah tertembus peluru meriam Portugis. Demikian tebalnya
dinding lambung, jung ini dikomentari “Anunciada
sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan jung
itu”.
|
|
Perang laut VOC dan Spanyol tahun 1602 (Indonesia Heritage Vol. 3, hlm. 41)
|
|
Di samping pertempuran
antara pihak pendatang dan pihak pribumi, ada juga pertempuran antara pihak
pendatang. Perebutan wilayah penghasil rempah dan jalur pelayaran timur-barat,
merupakan sebab utama seringnya terjadi pertempuran laut. Sebagai contoh,
misalnya pertempuran antara Portugis dan Belanda pada 26 Desember 1601 di
perairan Banten, 1636 di perairan Selat Melaka, dan 1660 di perairan Makassar.
Pertempuran air tidak
hanya terjadi di laut lepas saja, di perairan sungai pun terjadi pertempuran.
Sejarah Nusantara mencatat beberapa kali pertempuran sungai yang pernah
terjadi antara kerajaan pribumi dan pihak kolonial Eropa. Sebagai contoh,
misalnya pihak Kerajaan Palembang dengan Belanda pada November tahun 1659;
Kesultanan Palembang-Darussalam dengan Belanda pada tahun 1819 dan tahun 1821.
Faktor lainnya yang
tidak kalah berbahayanya adalah faktor kelalaian manusia. Kebakaran dalam
kapal, seperti yang terjadi atas kapal Fame
tahun 1824 di Laut Jawa merupakan salah satu contohnya. Ada juga terbakarnya
sebuah kapal karena faktor kesengajaan dengan tujuan untuk mengelakkan diri
dari ditawan pihak yang menang perang, seperti dalam kasus kapal-kapal milik
Portugis Alioza de Caruailla, Saint Symon,
dan Erasmus yang sengaja dibakar pada
tanggal 17/18 Agustus 1606 karena kalah perang melawan armada Belanda di
perairan Selat Melaka dekat bandar Melaka, dan kapal Denham milik Inggris yang sengaja dibakar pada tahun 1758 karena
kalah perang melawan armada Perancis di perairan Bengkulu.
Sesuai
dengan zamannya, kapal-kapal yang lalu-lalang di perairan Nusantara membawa
kargo yang tentunya pada masa itu diperlukan baik untuk perdagangan maupun
untuk agama. Sebelum kedatangan Islam dan bangsa Eropa, kapal-kapal yang datang
ke Nusantara umumnya kapal dagang dimana biasanya menumpang pula pendeta agama
Hindu atau bhiksu agama Buddha. Kapal-kapal yang datang dari Asia Barat dan
Asia Selatan kargonya berupa barang-barang kaca dari Persia atau Timur Tengah,
manik-manik dari bahan batu mulia seperti karnelian, arca-arca batu atau
logam, dan barang-barang lain seperti kain sutera dan barang-barang seni. Dari
Asia Timur, khususnya Tiongkok, kapal-kapal membawa barang-barang porselen/keramik,
lakuer, emas, dan kain-kain brokat. Kembalinya ke negeri asalnya, kapal-kapal
tersebut membawa komoditi perdagangan yang berasal dari beberapa pulau di
Nusantara. Barang-barang tersebut antara lain berupa kapur barus, damar,
kemenyan, bahan wangi-wangian, kayu cendana, gading gajah, mutiara, dan
hewan-hewan yang tidak ada di negeri asalnya.
Meskipun
Mdaŋ (Matarām) merupakan sebuah kerajaan agraris, namun kerajaan ini juga
memperhatikan kehidupan maritim. Hal ini tercermin dalam relief perahu/kapal
yang terdapat pada Candi Borobudur (abad ke-7-8 Masehi). Kerajaan ini, yang
pada waktu itu diperintah oleh dinasti Śailendra, juga mengadakan hubungan
persahabatan dengan daerah lain, jauh di seberang Pulau Jawa. Di Thailand
selatan (Ligor) salah seorang rajanya menghadiahkan tiga buah bangunan suci,
dan di Nālanda (India) menghadiahkan tanah untuk keperluan wihara.
Tidak mustahil terjalin juga hubungan perdagangan antar pulau. Kapal-kapal itu,
selain mengangkut komoditi perdagangan, juga mengangkut arca-arca batu dan
logam untuk diberikan kepada masyarakat pemeluk agama Hindu atau Buddha.
Arca-arca logam (perunggu, emas, dan perak) dengan gaya Śailendra (abad ke-7-9
Masehi) yang ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, diduga dibuat di Jawa kemudian
dibawa ke tempat-tempat tersebut.
Lain
halnya dengan Kerajaan Mdaŋ (Matarām), Kadātuan Śrīwijaya adalah negara
maritim yang penghasilannya terutama diperoleh dari sektor perdagangan,
seperti komoditi eksport serta bea dan cukai bagi kapal-kapal asing yang singgah
di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya. Komoditi eksport yang dikapalkan dari
pelabuhan Śrīwijaya ke negeri Arab adalah kayu gaharu, kapur barus, cendana,
gading gajah, timah, ebony, kayu sapan, rempah-rempah, kemenyan dan bahan
wangi-wangian. Ke negeri Tiongkok Śrīwijaya mengeksport gading gajah, air
mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, kapur barus,
batu karang, kain katun, cula badak, bahan wangi-wangian, bumbu masak, dan
obat-obatan.
Barang-barang tersebut tidak seluruhnya dihasilkan dari Śrīwijaya. Ada juga
didatangkan dari tempat lain, karena pelabuhan Śrīwijaya banyak didatangi oleh
pedagang dari berbagai bangsa dan tempat di Nusantara. Barang-barang kaca,
misalnya didatangkan dari negeri di kawasan Asia Barat (Persia). Jenis
kayu-kayuan, seperti sapan, ebony, dan cendana didatangkan dari kawasan timur
Nusantara, seperti dari Nusatenggara dan Maluku.
Pada masa jayanya Kadātuan Śrīwijaya pada abad ke-7-11
Masehi, rempah-rempah yang didatangkan dari kawasan timur Nusantara menjadi
komoditi eksport utama bagi Śrīwijaya. Perubahan besar terjadi pada akhir abad
ke-14 pada waktu kota-kota pantai utara Jawa Timur dengan penguasa kaum elit
Tionghoa, Arab, dan Jawa menjadi pusat jaringan perdagangan antarapulau yang
menghubungkan penghasil rempah ke dunia luar. Bandar Melaka yang dibangun
pada abad ke-15 Masehi, melanjutkan tradisi sebagai pusat penyalur utama rempah
untuk pasar antarabangsa.
Dalam kitab Sejarah Melayu, disebutkan bahwa bandar
Melaka dibangun oleh Parameswara, salah seorang bangsawan dari Palembang yang
menyingkir keluar lingkungan keluarga. Parameswara, yang setelah memeluk agama
Islam bernama Megat Iskandar Syah, sejak tahun 1402 mengembangkan Melaka dari
sebuah perkampungan nelayan menjadi pusat perdagangan antarabangsa.
Dari sudut pandang
geografi, letak bandar Melaka sangat strategis, yakni di pusat kawasan Asia
Tenggara yang dekat dengan pintu gerbang lalu lintas perdagangan regional dan
internasional yang menghubungkan Afrika, Asia Barat, Asia Selatan dengan Asia
Tenggara dan Asia Timur. Melaka sebagai pelabuhan adalah sangat ideal, karena
terlindung oleh Semenanjung Tanah Melayu dari tiupan angin muson timurlaut,
dan demikian pula terlindung oleh Pulau Sumatera dari angin muson baratdaya
yang bertiup dari Samudera Indonesia. Ketika kapal-kapal layar menjadi
satu-satunya alat transportasi di laut, maka orang sangat tergantung pada arah
angin dalam mencapai tujuan pelayarannya. Ketika angin bertiup dari arah
timurlaut barang-barang dagangan dibawa dari Melaka menuju Asia Selatan (India)
dan Asia Barat. Ketika berembus angin baratdaya pada musim berikutnya,
kapal-kapal niaga berlayar ke bandar Melaka. Pada saat itu pula kapal-kapal
dari Melaka juga membongkar sauh menuju Tiongkok atau tempat lain di Asia Timur.
Kapal-kapal layar dari Tiongkok datang ke Melaka ketika musim angin timurlaut
berhembus, dan pada saat itu pula kapal-kapal layar yang menuju India dan Asia
Barat telah memulai pelayarannya. Dengan demikian para saudagar dan para pelaut
yang hendak meneruskan pelayaran dengan menunggu datangnya angin musim
berikutnya menjadikan bandar Melaka sebagai tempat penantiannya. Jadilah Melaka
bandar niaga yang ramai.
Melaka pada akhir abad ke-15 dikunjungi oleh para
saudagar yang datang dari Arab, India, Asia Tenggara dan saudagar-saudagar
Nusantara (Demak, Tuban, Gresik, dan kawasan timur Nusantara). Pada waktu itu
daerah ini merupakan pusat perdagangan di Asia. Dengan demikian tidak aneh jika
penduduk Melaka pada akhir abad ke-15 ini bercampur dengan anasir-anasir asing.
Penduduk asli dan para pendatang tinggal di daerah-daerah khusus.
Puncak hegemoni oleh penguasa Melayu atas Selat Melaka
terjadi pada kurun waktu abad ke-15-16 Masehi. Pada abad ini Melaka merupakan
emporium yang sangat penting di Asia Tenggara. Ketika era raja-raja Melayu
bertahta di Melaka, pelabuhan Melaka menjadi sebuah kota metropolitan, sebuah
pelabuhan yang makmur, tempat bercampurnya berbagai bangsa dengan berbagai
tingkat budaya yang beragam. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahuwa pada
waktu itu Melaka menjadi pusat dunia Melayu. Berbagai kawasan di Sumatera,
Kalimantan, dan kawasan kepulauan mengakui kekuasaan Melaka. Kejayaan ini
berlangsung sampai tahun 1511, yaitu ketika Melaka jatuh ke dalam kekuasaan
Portugis. Sejak saat itulah pengawasan atas Selat Melaka berada di tangan
Portugis. Dari kejatuhan ini, Tomé Pires dapat berbangga dan mengatakan:
“Barangsiapa menguasai Melaka bisa mencekik Venesia. Sejauh Melaka, dan
dari Melaka ke China ke Maluku, dan dari Maluku ke Jawa, dan dari Jawa ke
Melaka dan Sumatera, semuanya sudah berada dalam kekuasaan kami”
Tidak mengherankan apabila pada sekitar tahun 1513 Pati
Unus dari Demak berusaha merebut Melaka dari tangan Portugis, meskipun mengalami
kegagalan. Demikian pula VOC tahun 1641 merebut kota tersebut dari
kekuasaan orang-orang Portugis. Kejadian-kejadian itu membuktikan bahuwa betapa
pentingnya kedudukan Melaka dengan selatnya dilihat dari sudut politik dan
ekonomi.
5. Penutup
Sebagai penutup dari makalah singkat ini, sesuai dengan topik “BMKT dari
Sisi Ilmu Pengetahuan, Sejarah, dan Budaya”, dapat saya rangkum sebagai
berikut:
- Sejak awal tarikh Masehi perairan Nusantara telah
sering dan banyak dilalui kapal-kapal niaga yang datang dari berbagai
tempat untuk melakukan hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di
Nusantara.
- Kapal-kapal niaga tersebut membawa kargo yang
berasal dari negerinya untuk dijual di Nusantara, dan dari Nusantara
kembali ke negerinya atau ke negeri lain membawa barang-barang yang
dihasilkan dari Nusantara.
- Barang-barang berharga yang berasal dari Asia Barat,
misalnya wadah-wadah kaca dari Persia, dari Asia Selatan, misalnya
manik-manik dari batu karnelian, dan dari Asia Timur (Tiongkok), misalnya
barang-barang keramik dan porselen. Sebaliknya, dari Nusantara mereka
membawa hasil hutan dan hasil tambang seperti emas, perak, dan timah.
Dalam kesempatan ini pula, perkenankan saya mengusulkan beberapa hal yang
berkenaan dengan masalah-masalah kearkeologian maritim termasuk Arkeologi Bawah
Air (Underwater Archaeology):
- Sumberdaya Manusia yang menangani masalah Arkeologi
Bawah Air jumlahnya sangat terbatas, kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
Sementara itu, situs-situs bawah air (laut) di perairan Nusantara
jumlahnya sangat banyak. Untuk itu diperlukan tenaga yang terdidik dan
terlatih dengan biaya pelatihan dibebankan pada investor yang mendapat
lisensi mengangkat barang berharga.
- Dalam usaha pengangkatan benda berharganya, didokumentasikan juga
kapal pengangkutnya, karena dengan mengetahui teknologi rancang-bangun
kapalnya diharapkan dapat diketahui latar budaya asalnya.
Samudera
luas tepiannya indah.
Semangat
bahari menentang maut.
Pabila
nafsu menguasai kaidah.
Habis
sudah kekayaan laut.
Renfrew, Colin & Paul Bahn, 1991, Archaeology. Teories, Methods, and
Practise. London: Thames and Hudson
Salmon, Claudine & Denys Lombard, 1979, “Un vaisseau du XIII eme s.
retrouve avec sa cargaison dans la rade de Zaitun", dalam Archipel 18, hlm. 57-67. Paris: Association
Archipel; Green, Jeremy, 1983,
“The Song Dynasty Shipwreck at Quanzhou, Fujian Province, People's Republik of
China”, dalam International Journal
of Nautical Archaeology, 12(3), hlm. 253--261
Manguin, Pierre-Yves & Nurhadi, 1987, “Perahu Karam di situs Bukit Jakas,
Propinsi Riau. Sebuah laporan sementara”, dalam 10 Tahun Kerja-sama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Ecole
Français d'Extrême-Orient, hlm. 43—64. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional; Manguin, Pierre-Yves, 1989, “The trading ships of Insular Southeast Asia: new evidence from
Indonesian archaeological sites”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Vol. I, hlm. 200—220 Jakarta: Ikatan
Ahli Arkeologi Indonesia,; Green, Jeremy, 1990, “Maritime archaeology in
Southeast and East Asia”, dalam Antiquity Vol. 64 No. 243. Cambridge:
Antiquity Publications Ltd.; Koestoro,
Lucas Partanda, 1995, “Penempatan
Situs-Situs Runtuhan Perahu Indonesia dalam Sejarah Teknik Pembangunan
Perahu di Asia Tenggara”, dalam Hariani Santiko dkk. (eds.), Kirana:
Persembahan untuk Prof. Dr. Haryati Soebadio, hlm. 203—216. Jakarta:
Intermasa
Menurut Ming shih (Buku Sejarah Dinasti Ming), ketika itu Dinasti Ming
sebagai penguasa pribumi Han yang baru saja berdiri dan berhasil meruntuhkan
Dinasti Mongol (Yüan, 1279-1368 Masehi), perlu memamerkan keperkasaan dan
kemegahan kekaisaran Tiongkok di negara-negara asing. Ia juga berniat untuk
mencari jejak seorang pemberontak yang lari ke selatan.
Kong Yuanzhi, Prof, 2000, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan
Muhibah di Nusantara, hlm. 268. Jakarta: Pustaka Populer Obor
Mollat, Michel, 1980. “Historical contacts of Africa and Madagascar with South
and South-East Asia: the role of Indian Ocean”, dalam Historical relations across the Indian Ocean, hlm. 45—60. Paris: Unesco,
Selling, Eleanor, 1981, The Evolution of
Trading States in Southeast Asia Before the 17th Century. Disertasi pada
Columbia University
Leirissa, R.Z, 1976,
“Dokumen-dokumen VOC dari abad ke XVIII”,
dalam Bulettin YAPERNA Nomor 17 Tahun III, hlm. 44—53. Jakarta: Yayasan
Perpustakaan Nasional
Boxer, Charles Ralph, 1973, The Dutch Seaborne Empire 1600--1800. Middlesex: Penguin Books
Dalam naskah perang yang terjadi tahun 1819 dikenal dengan nama Perang Menteng.
Woelders, M.O., 1975, “Het Sultanaat Palembang 1811-1825”. VKI 72. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
INI SUDAH DI PUBLISH DIMANASAJA MAS?
BalasHapusAPAKAH BISA SAYA PAKAI UNTUK REFRENSI PENULISAN SAYA