PERADABAN INDONESIA KUNA
DI DAERAH
ALIRAN SUNGAI MUSI
Nurhadi Rangkuti
(Balai Arkeologi Palembang)
1. Pendahuluan
Tumbuhnya
peradaban di wilayah Sumatera Selatan, erat kaitannya dengan peranan sebuah
sungai besar, yaitu Sungai Musi yang bermuara di Selat Bangka.
Selat Bangka dan juga Selat Malaka telah dikenal sebagai jalur perdagangan
internasional sejak awal Masehi (Wolters 1974 dalam Budisantosa 2002).
Sungai
Musi menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir timur Sumatera.
Daerah aliran Sungai (DAS) Musi meliputi Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai
Lematang, Batanghari Leko, Sungai Rawas,
dengan anak sungai-anak sungainya. Pada DAS Musi banyak ditemukan
situs-situs arkeologi yang memiliki karakteristik budaya Hindu-Buddha, seperti
sisa-sisa bangunan candi, arca-arca dewa Hindu, arca-arca Buddha dan temuan prasasti-prasasti
berhuruf Pallawa dan bahasa Sansekerta serta Melayu Kuna.
Bukti-bukti
arkeologis menunjukkan bahwa di DAS Musi telah berkembang peradaban masa Indonesia
Kuna. Masa Indonesia Kuna dikenal pula dengan istilah masa “Klasik” atau masa
“Hindu-Buddha” yang meliputi masa sejak berdirinya Kerajaan Hindu pertama di
Kutai Kalimantan Timur sampai berakhirnya Kerajaan Majapahit di nusantara yang
meliputi rentang waktu 10 abad (abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi).
Peradaban
Indonesia Kuna di DAS Musi ditandai dengan adanya arsitektur publik yang
monumental (candi, kanal, kolam), artefak-artefak komoditi perdagangan
internasional, peraturan dan hukum secara tertulis, spesialisasi kerja dan
hirarki masyarakat yang diketahui dari isi prasasti. Dengan mengamati luas
wilayah persebaran dan banyaknya situs arkeologis, menggambarkan adanya pusat peradaban
yang berciri urban di tepi Sungai
Musi, dan tempat-tempat upacara keagamaan serta permukiman lainnya di luar
pusat, yaitu pada cabang-cabang sungai Musi.
Pusat
peradaban di tepi Sungai Musi dikenal juga dengan nama Kerajaan Sriwijaya,
sebuah nama yang diabadikan dalam prasasti-prasasti dari abad ke-7 Masehi. Palembang yang terletak
di tepi Sungai Musi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan
yang berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi.
Prasasti
Kedukan Bukit memberitakan bahwa pada 16 Juni tahun 682 Masehi, Dapunta Hyang
(raja Sriwijaya) mendirikan wanua, setelah melakukan perjalanan dari Minanga menuju
Mukha Upang membawa tentara sebanyak 20.000 orang dengan perbekalan 200 peti
naik perahu, sedangkan yang berjalan kaki 1312 tentara. Boechari (1993)
berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya mula-mula ada di Minanga, kemudian
pada tanggal 16 Juni 682 Dapunta Hyang mendirikan sebuah ibukota baru di Palembang untuk dijadikan
pusat kerajaan yang baru. Peristiwa pendirian wanua oleh Dapunta Hyang
merupakan awal pembangunan kota,
yang sekurang-kurangnya terdiri atas istana raja, rumah para pejabat kerajaan
dan peribadatan (Boechari 1993).
2. Situs-Situs Pra-Sriwijaya
Di
wilayah pantai timur Sumatera Selatan, terdapat situs-situs arkeologi yang
diperkirakan berasal dari masa pra-Sriwijaya dan berlanjut hingga masa Sriwijaya.
Situs-situs itu antara lain Air Sugihan di Kabupaten Banyuasin dan Situs
Karangagung Tengah di Kabupaten Musi Banyuasin.
Situs Air
Sugihan
Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional telah menemukan sebuah guci keramik Cina dari
Dinasti Sui (abad ke-6 – 7 Masehi) di Situs Air Sugihan. Bersama dengan artefak
tersebut ditemukan pula manik kaca Indo-Pasifik dan manik kaca emas serta manik
batu karnelian (Budisantosa ).
Manik-manik kaca tersebut berasal dari Mesir atau Asia Barat abad ke 4 – 11
Masehi dan diduga barang impor.
Situs
Karangagung Tengah
Situs
ini terletak di Kecamatan Sungai Lalan (sebelumnya Kec. Buyung Lincir), Kabupaten
Musi Banyuasin. Lokasi situs terletak di
DAS Banyuasin, yang bermuara di Selat Bangka,
seperti halnya Sungai Musi. Sungai Lalan yang merupakan cabang Sungai Banyuasin
merupakan akses utama menuju lokasi permukiman kuna itu.
Serangkaian
penelitian di Situs Karangagung Tengah sejak tahun 2000 sampai 2005 oleh Balai
Arkeologi Palembang, memberikan gambaran bahwa situs-situs ini bekas permukiman
kuna di daerah aliran Sungai Lalan, tepatnya di daerah rawa pasang surut (tidal swamp). Jenis-jenis tinggalan
arkeologis yang ditemukan adalah tiang rumah kayu, kemudi perahu, wadah
tembikar, pelandas (anvil), bata,
manik-manik, anting, gelang kaca, batu asah, tulang, gigi dan tempurung kelapa.
Penduduk sekitar banyak menemukan tinggalan-tinggalan lainnya seperti gelang
batu, cincin emas, anting emas, dan liontin perunggu (Budisantosa 2002).
Analisis
laboratorium terhadap dua potong sampel tiang rumah kayu dari Situs Karangagung
Tengah berumur 1624 – 1629 BP, kira-kira sama dengan tahun 373 – 376 Masehi atau pada masa pra-Sriwijaya (Soeroso MP
2002). Berdasarkan jenis-jenis artefak yang ditinggalkan, komunitas Karangagung
pada masa lalu bersandar pada perdagangan internasional. Sisa-sisa tiang rumah
kayu banyak ditemukan, memberi gambaran
adanya bangunan-bangunan rumah kayu yang dibangun sepanjang sungai lama yang
menghubungkan Sungai Lalan dan Sungai Sembilang.
3. Situs-Situs Sriwijaya
3.1.
Pusat Sriwijaya
Penelitian
arkeologi yang intensif di Palembang sejak tahun 1970-an sampai tahun 1990-an
oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang, telah
memperkuat bukti bahwa Palembang pernah
menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya. Situs-situs
masa Sriwijaya meliputi Situs Talang tuo, Sungai Tatang,Telaga Batu,
Boom Baru, Bukit Siguntang, Karanganyar, Lorong Jambu, Tanjungrawa,
Talangkikim, Padangkapas, Lebak Kranji, Kambangunglen, Ladangsirap, Museum
Badaruddin, Candi Angsoka, Sarangwati, Gedingsuro, Kolam Pinisi, Sungai Buah
dan Samirejo. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan meliputi prasasti, arca, sisa-sisa
bangunan batu dan bata (candi atau bangunan lain), kanal-kanal,kolam-kolam, sisa
perahu, sisa-sisa industri manik-manik, stupika tanahliat dan cetakan stupika, tembikar,dan
keramik. Secara keseluruhan tinggalan arkeologis tersebut berasal dari abad
ke-7 – 13 Masehi.
Terkait
dengan lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Situs Karanganyar
diperkirakan lokasi Dapunta Hyang mendirikan perkampungannya (wanua) yang kemudian berkembang jadi
ibukota kerajaan. Situs Karanganyar
dikelilingi oleh kanal atau parit buatan dan di dalamnya terdapat kolam-kolam
buatan. Parit yang terpanjang adalah Suak Bujang yang memotong meander Sungai
Musi sepanjang 3300 meter. Selain itu ada parit- parit lainnya yang saling
berhubungan.
3.2. Situs-situs di Luar Pusat
Sriwijaya
Candi
Bumiayu
Situs
Candi Bumiayu terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Muara
Enim. Lokasi situs terletak dekat dengan Sungai Lematang. Keberadaan situs
percandian ini pertama kali dilaporkan oleh Tombrink pada tahun 1864, sedangkan
penggalian arkeologis pertama kali dilakukan pada tahun 1990 oleh oleh Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (Bambang Budi Utomo 1993) dan penggalian mutakhir
dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang pada tahun 2005.
Pada
situs terdapat 12 gundukan tanah yang mengandung runtuhan bangunan, yang
dikelilingi oleh sungai-sungai kecil yang saling berhubungan dengan luas 110
ha. Penggalian arkeologis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian arkeologi
Nasional tahun 2002 dan Balai Arkeologi Palembang pada tahun 2002 hingga 2004
membuka 6 gundukan tanah, sedangkan candi yang telah ditampakan secara jelas
adalah Candi Bumiayu 1,2 dan 3 (Siregar 2004)
Gugusan Candi Bumiayu merupakan candi agama
Hindu, dengan ditemukannya arca-arca Agastya, Siwa Mahadewa, arca Nandiswara
dan Mahakala. Pada kompleks percandian Bumiayu 1 terdiri dari sebuah candi
induk dan empat candi perwara, yang dikelilingi oleh pagar. Berdasarkan denah
dan bentuk perbingkaian berpelipit sisi genta (padma) dan setengah lingkaran
(kumuda) menunjukkan ciri-ciri candi abad ke-8 Masehi, sedangkan bangunan
induknya diduga didirikan dalam tiga tahap. Tahap pertama dibangun sekitar abad
ke-8 – 9 Masehi dan masih berfungsi hingga abad ke-12 Masehi (Herrystiadi 1993
dalam Siregar 2004).
Tata
ruang gugusan candi Bumiayu diperkirakan melambangkan jagad raya yang terdiri
dari jambudwipa (benua berbentuk lingkaran yang terletak di pusat) dikelilingi
tujuh samudera dan tujuh benua lain. Di luar itu jagad ditutup oleh barisan
pegunungan yang sangat besar. Di tengah jambudwipa berdirilah Gunung Meru,
yaitu gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan dan bintang-bintang. Di
puncaknya terletak kota
dewa-dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal dari delapan dewa lokapala
(Geldern 1982 dalam Siregar 2004).
Dikaitkan
dengan gugusan Candi Bumiayu, Candi induk Bumiayu 1 melambangkan Gunung Meru,
sedangkan parit keliling candi melambangkan 7 samudera dan 7 benua yang
masing-masing berbentuk cincin (Siregar 2004).
Situs
Binginjungut
Situs
terletak di Kecamatan Muarakelingi, Kabupaten Musi Rawas, di kanan dan kiri
tepi Sungai Musi. Schnitger (1937) melaporkan adanya sebuah arca batu di
sekitar situs, yaitu arca Awalokiteswara bertangan empat dan tinggi arca 172 cm.
Keempat
tangannya telah patah dan hilang. Di bagian punggungnya terdapat tulisan //daŋ
ācāryya syuta// (Bambang Budi Utomo tt).
Dari sejumlah
ciri yang dapat dijadikan sebagai penanda untuk mengetahui gaya arca, yaitu
dari penggambaran pakaian dan tatanan rambut yang mencirikan adanya pengaruh
gaya seni arca pada masa Śailendra. Sesuai dengan gaya seni yang terlihat, maka
dapat dikatakan bahwa arca Awalokiteśwara ini ditempatkan ke dalam periode abad ke-8-9 Masehi
yang merupakan masa berkembangnya seni Śailendra (Bambang Budi Utomo tt).
Pada lokasi
yang sama ditemukan sebuah arca batu yang belum selesai, yaitu arca Buddha
dalam posisi duduk bersila. Tinggi arca 153 cm. Kondisi arca yang tampak belum
selesai dipahat menjadikan suatu kesulitan untuk mengetahui ciri-ciri ataupun
gaya arca yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menempatkan arca pada
periodenya. Oleh karena arca Buddha ini ditemukan di Situs Binginjungut,
dimana dijumpai pula arca Bodhisattwa Awalokiteśwara , kemungkinan arca Buddha dapat dimasukkan ke
dalam periode antara abad ke-8-9 Masehi (Bambang Budi Utomo tt).
Balai Arkeologi
Palembang telah melakukan eksvasi pada tahun 1997 dan 1998 dengan tujuan untuk
mengungkapkan arsitektur Candi Binginjungut agar diketahui persamaan dan
perbedaan candi itu dengan candi-candi lainnya di DAS Musi. Dari hasil
ekskavasi belum diketahui secara pasti bentuk dan arah hadap candi. Meskipun
demikian sisa-sisa bangunan candi ini memiliki persamaan dengan Candi Tingkip
dan Candi Bumiayu I, yaitu pada profil candi berupa profil sisi genta. Selain
itu lantai batu kerakal pada sisa bangunan Candi Binginjungut memiliki persamaan
dengan lantai batu kerakal yang ditemukan pada Candi Telukkijing di Kabupaten
Musi Banyuasin.
Ekskavasi juga
memperoleh artefak lain, yaitu tembikar, keramik dan manik-manik. Tembikar yang
ditemukan memiliki persamaan tipe dengan tembikar dari Karanganyar (Palembang),
sedangkan keramik yang ditemukan berasal dari Cina masa Dinasti Song abad ke-10
– 13 Masehi.
Situs Teluk
Kijing
Situs
Teluk Kijing terletak di Desa Kijing, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi
Banyuasing, berada di antara pertemuan Sungai Batanghari Leko dan Sungai Musi.
Keberadaan situs ini pertama kali diberitakan oleh Westenenk (1920) yang
menggambarkan situs dikelilingi oleh sebuah parit di dalamnya dengan temuan
batubata dan sisa besi.
Pada
tahun 1995 tim gabungan yang terdiri dari Balai Arkeologi Palembang, CNRS dan
EFEO Perancis dan Museum Sumatera Selatan Balaputra Dewa melakukan survey dan
menemukan pecahan-pecahan keramik dari abad ke-12 – 13 Masehi, dan sebuah
benteng tanah dengan saluran di bagian sisi dalamnya, panjang saluran 1,5 km,
lebar 2,5 meter dan tebal 2 meter.
Ekskavasi
di Situs Teluk Kijing menemukan hamparan bata-bata yang bersusun tidak
beraturan dan di bagian bawahnya ditemukan susunan batu kerakal yang teratur
dan diduga bekas lantai. Selain itu ditemukan pula sebuah pecahan relief candi
yang menggambarkan seorang penari atau pemusik yang membawa gendang, tetapi
bagian kepala telah hilang.
Situs Candi
Tingkip
Situs
Tingkip terletak di Desa Sungaijauh, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musirawas.
Situs ini berada dekat Sungai Tingkip yang bermuara di Sungai Kijang, yaitu
salah satu cabang Sungai Lemurus Besar. Di kota Binginteluk Sungai Lemurus Besar bertemu
dengan Sungai Rawas, yaitu salah satu cabang Sungai Musi (Budi Santosa 1998).
Temuan
yang menarik dari situs ini adalah sebuah arca batu berbentuk Buddha dengan
tinggi 172 cm. Arca ditemukan pada sebuah runtuhan candi bata di sekitar Sungai
Tinggkip pada tahun 1981.
Suleiman (1983:
209) menafsirkan arca ini dari penggambaran wajah yang mencirikan wajah
arca-arca dari masa seni Dwarawati yang berkembang pada abad antara 6-9 Masehi.
Pendapat yang sama mengenai gaya arca diajukan pula oleh Shuhaimi, namun
cenderung menempatkan arca pada abad ke-7 Masehi (Nik Hassan Shuhaimi 1992:
24). Berdasarkan pengamatan ciri yang menunjukkan bahwa arca Buddha
dari Candi Tingkip dipahat dalam gaya mengikuti seni arca Dwarawati, maka
diduga arca tersebut berasal dari abad ke-7-8 Masehi (Bambang Budi Utomo tt).
Penggalian
arkeologis (ekskavasi) dilakukan pada tahun 1998 dan 1999 oleh Balai Arkeologi
Palembang untuk mengungkap arsitektur Candi Tingkip. Candi Tingkip tinggal
bagian dari pondasi atau batur candi, bagian lantai atau selasar dan tangga
pintu masuk candi. Candi menghadap ke arah timur. Dua sisi candi, yaitu sisi
barat dan sisi timur berukuran 7,60 meter. Walau belum diketahui panjang dari sisi-sisi
yang lain, tetapi diperkirakan denah bangunan berbentuk bujursangkar (7,60
meter X 7,60 meter).
Berdasarkan
bentuk profil dan arah hadap candi Tingkip yang memiliki persamaan dengan
candi-candi di Jawa Tengah, Candi Tingkip mempunyai profil candi yang
berkembang pada tahun 750-850.
Situs Candi Lesung Batu
Candi
ini terletak di wilayah Desa Lesung Batu, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi
Rawas. Candi yang berada di dekat Sungai Rawas ini ditemukan sisa bangunan
candi dari bata. Situs ini telah dilakukan ekskavasi oleh Pusat Penelitian
arkeologi Nasional tahun 1992 dan Balai Arkeologi Palembang.
Di
situs ini terdapat sebuah yoni dari batuan breksi, tinggi 70 cm, lebar 75 cm,
dan panjang 94 cm.Hiasan yang terdapat pada bagian dinding yoni
berupa padma di pelipit bagian atas, ghana di keempat sudut, dan
makhluk lain yang dipahatkan dalam posisi berdiri seperti ghana. Hiasan
makhluk lain yang bukan ghana itu dipahatkan pada sisi belakang dan kiri
cerat. Lubang tempat lińga atau arca berdenah empat persegi panjang,
ukurannya sudah tidak dapat diketahui lagi karena telah dirusak penduduk
setempat.
4. Penutup
Proses
pertumbuhan peradaban Indonesia Kuna di Sumatera Selatan, tidak lepas dari
letak geografis yang strategis dari segi pelayaran dan perniagaan. Tentunya
awal peradaban itu bermula dari kelompok-kelompok permukiman di daerah pantai
di sepanjang Selat Bangka. Situs permukiman Karangagung Tengah, misalnya,
berdasarkan beragamnya jenis artefak yang ditinggalkan serta luasnya persebaran
situs di sepanjang sungai lama, memberikan gambaran pada sekitar abad ke-4
Masehi terdapat masyarakat yang telah mengenal perdagangan internasional, serta
spesialisasi pekerjaan dan stratifikasi sosial (Budisantosa 2002).
Berkembangnya pusat peradaban di Palembang sejak abad ke-7
didukung oleh masyarakat di DAS Musi yang telah mapan dalam bidang perniagaan pada abad-abad
sebelumnya. Dapunta Hyang memilih lokasi ibukota Sriwijaya yang baru di wilayah
kota Palembang sekarang, berdasarkan
pertimbangan lokasi Palembang
yang strategis, yaitu titik simpul jalur perdagangan dari hilir ke hulu dan
sebaliknya. Pusat-pusat komunitas (wanua)
yang bermukim di luar Palembang,
baik di daerah hulu maupun hilir, apabila melakukan hubungan social-budaya dan
juga perniagaan, dipastikan melalui Palembang.
Dengan kondisi demikian Palembang berkembang menjadi pusat peradaban di
Sumatera Selatan, dibandingkan dengan lokasi lain termasuk di daerah pantai
dekat dengan Selat Bangka, yang pernah menjadi pusat permukiman pra-Sriwijaya.
DAFTAR PUSTAKA
Boechari,1993, Hari Jadi
Kota Palembang Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I
Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, 1993a,
Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang:
Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo,
1993a, Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan
Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, tt, Arca-Arca
di Sumatera, (tidak diterbitkan)
Budisantosa, Tri Marhaeni
S, 2002 “Permukiman Pra-Sriwijaya di
Karang Agung Tengah: Sebuah Kajian Awal” dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra, vol 7, No.2 Nov. 2002, halaman 65-89,
Palembang;
Balai Arkeologi
Koestoro, Lucas Partanda,
1993, Tinggalan Perahu di Sumatera Selatan Perahu Sriwijaya?, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan
Sejarah, Palembang:
Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Rangkuti, Nurhadi, 1989,
“Struktur Kota Sriwijaya di Daerah Palembang,
dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta
4-7 Juli 1989, Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soeroso, 2002, “Pesisir Timur Sumatera Selatan Masa Proto
Sejarah: Kajian Permukiman Skala Makro” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX, Kediri 23-27 Juli 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar