MENELUSURI JEJAK KERATON-KERATON
Sejarah Sosial Politik dan
Budaya Kesultanan
Palembang Darusalam
Nama
dan artinya .
Kota Palembang adalah sebuah kota tertua di Nusantara,
mempunyai sejarah panjang dalam khasanah budaya Nusantara. Sebuah nama yang
paling banyak memberikan catatan bahkan ilham dalam perkembangan sejarah dan
kebudayaan di Nusantara. Meskipun nama ataupun toponim Palembang itu sendiri secara sederhana hanya
menunjukkan suatu tempat(Pa yang
berarti suatu kata awal menunjukkan tempat).
Kosa kata lembang berasal dari
bahasa Melayu[1]
yang artinya: tanah yang rendah, tanah yang tertekan, akar yang membengkak dan
lunak karena lama terendam dalam air. Sedangkan menurut bahasa Palembang sendiri: lembeng adalah mengalir , menetes atau kumparan
air. Selanjutnya dalam bahasa Melayu[2] : lembang
berarti: tanah yang berlekuk, tanah
yang menjadi dalam karena dilalui air, tanah yang rendah. Ada pengertian lain dari lembang yan cukup menarik, yaitu : tidak tersusun rapi,
berserak-serak.
Pengertian Pa-lembang
adalah tempat yang berkumparan air, atau tanah yang berair dicatat pertama
kali oleh pelapor Belanda pada tahun 1824 didalam bukunya Proeve
Eener Beschrivijng van het Gebied van Palembang[3].
Diterbitkan oleh J.Oomkens, Groningen
tahun 1843, dan penulis atau pelapor tersebut adalah W.L.de Sturler(Pensiunan
Mayor pada tentara Belanda). Dengan demikian pengertian orang-orang Palembang pada waktu
itu tentang nama kotanya adalah ‘tempat
yang tergenang air’. Gambaran topografi Palembang
pada tahun 1990 tergambar jelas dalam angka statistik dibawah ini(Kantor
Statistik Kotamadya Palembang,1990)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Drainase tamah
Luas(ha) %
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Tak
tergenang air
10.009,4
47,76
2. Tergenang sehari setelah
hujan
444,3
2,12
3. Tergenang pengaruh pasang
surut
308,1
1,47
4. Tergenang musiman
2,366,1
11,29
5. Tergenang terus menerus
7,829,8
37,36
Letak
dan bentuk kota.
Kota Palembang terletak sekitar 75 mil dari muara Sungai Musi, dimana
muara tersebut terletak di Selat Bangka. Kota itu sendiri terletak
dipinggir sungai Musi diantara muara sungai Ogan dan sungai Komering(dua sungai
besar yang bermuara di sungai Musi). Kota
ini diyakini telah berumur 1320 tahun, berdasarkan atas tafsir dan analisa
prasasti Kedukan Bukit[4].
Dalam penelitian sejarah dan arkeologi yang panjang dan berlarut(sejak
tahun 1918), maka setelah berpolemik dalam tulisan-tulisan dan seminar-seminar
yang hangat, para pakar dan sarjana berkesimpulan adanya kerajaan besar bernama
Sriwijaya yang pada abad ke 7 berpusat
di Palembang.
Sejak tahun 1982 - 1990 penggalian arkeologi secara intensif dilakukan di kota Palembang. Hasilnya merupakan hasil analisis
temuan arkeologi, antara lain: prasasti, arca, keramik, fragmen perahu dan
ekskavasi pada permukiman kuno.
Bentuk kota Palembang dari abad ke 8 - 9 berdasarkan laporan dan catatan
kronik Cina serta tulisan pelaut Arab dan Parsi dapat diyakini bentuknya adalah
memanjang sepanjang sungai Musi mulai dari sekitar Pabrik Pupuk Sriwijaya
sampai ke Karang Anyar, dimana dibagian seberang ulu tidak ada permukiman.
Bentuk kota ini
secara morfologi kota
disebut ribbon shaped city(kota berbentuk pita).
Luas kota
menurut catatan saudagar Arab, Sulayman[5],
pada tahun 815 yang mencatat beberapa gosip para pedagang, bahwa “pantas dapat
dipercaya bahwa luas kota
ini didengar dari kokok ayam diwaktu subuh dan terus menerus berkokok
bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 prasang(satu prasang kurang lebih 6,25 km), karena kampungnya berkesinambungan
satu sama lain tanpa terputus”. Apa yang dicatat oleh saudagar Arab tersebut,
tidak jauh dari anekdot yang dicatat oleh pelapor Belanda L.C.Westenenk[6]:
bahwa besarnya batas kota
ini digambarkan bagaimana seekor kucing dapat berjalan tanpa memijak tanah dari
Palembang Lama
ke Batanghari Leko, karena cukup dengan hanya melompati dari satu atap ke atap
lain dari rumah-rumah penduduk.
Dapat dibayangkan dalam kenyataan Palembang pada masa Sriwijaya tersebut
dengan membandingkan letak dari prasasti Telaga Batu yang berada di kampung 2
ilir dan prasasti Kedudukan Bukit di 35 ilir, serta prasasti Talang Tuo yang
berada di Kecamatan Talang Kelapa. Dan yang pasti bentuk kota Palembang
orientasinya sepanjang sungai Musi dibelahan seberang ilir. Dapat pula
dikatakan Palembang
pada waktu berada diperairan antara muara Sungai Komering dan Sungai Ogan.
Bagaimana terserak-seraknya kota
Palembang pada
waktu, seperti arti kata lembang(=terserak-serak,
tidak tersusun rapi), dapat dibaca dari catatan Cina[7]
abad ke 12 dan 13: “Penduduknya tinggal diluar kota, atau mereka tinggal dirakit diatas air,
suatu tempat tinggal yang lantainya terdiri dari bambu. Mereka dibebaskan dari
segala bentuk pajak.”
Selanjutnya catatan Cina lainnya yaitu Yeng-yai sheng-lan-chiao-chu[8];
menggambarkan keadaan masa itu sebagai
berikut: “Tempat ini dikelilingi oleh air dan tanah kering sedikit sekali. Para pemimpin semuanya tinggal dirumah-rumah yang dibuat
diatas tanah yang kering dipinggiran sungai. Rumah-rumah rakyat biasa terpisah
dari rumah pemimpin, mereka semua tinggal diatas rumah-rumah rakit yang
diikatkan pada tiang ditepian dengan tali. Apabila air pasang, rakit akan
terangkat dan tak akan tenggelam. Seandainya penduduk akan pindah ketempat
lain, mereka memindahkan tiang dan menggerakkan rumahnya sendiri tanpa
mengalami banyak kesulitan. Didekat muara sungai, pasang dan surut terjadi 2
kali dalam sehari dan semalam.”
Gambaran bagaimana kehidupan penduduk Palembang dengan air atau sungai,
digambarkan dengan jelas oleh sarjana biologi Inggris yang terkenal diabad ke
19 sewaktu berkunjung ke Palembang, yaitu Alfred Wallace Russel[9]:
“Penduduknya adalah orang Melayu tulen, yang tak akan pernah membangun sebuah
rumah diatas tanah kering selagi mereka masih melihat dapat membuat rumah
diatas air, dan tak akan pergi kemana-mana dengan berjalan kaki, selagi masih
dapat dicapai dengan perahu.”
Gambaran Alfred Wallace Russel tersebut
merupakan suatu kenyataan buruk bagi Gemeente
Palembang, yaitu suatu kendala saat Gemeente ingin membangun kota Palembang secara modern. Dalam laporan 25
tahun setelah Palembang menjadi Gemeente,
yaitu suatu pemerintah kota yang otonom pada tahun 1906 adalah sebagai berikut:
“Kesulitan untuk mendapatkan lahan pembangunan yang cocok dalam kota ini
disebabkan, disatu fihak masih banyak rawa-rawa diantara tanah yang lebih tinggi, dilain fihak ditanah yang
tinggi yang baik itu dipenuhi oleh terutama tanah pekuburan. Generasi-generasi terdahulu memilih tempat
tinggal ditanah-tanah rendah dekat air, dan menguburkan jenazah-jenazah mereka
ditanah tinggi yang kering( italic oleh penulis)[10].
Selanjutnya laporan pada tahun 1930
menggambarkan bahwa topografi Palembang sebagai suatu waterfront, kota yang menghadap keair dengan anak-anak sungai yang
besar dan kecil memotong kedua tepiannya, sehingga membentuk kota laguna[11].
Banyaknya anak-anak sungai memberikan kota
ini julukan yang lebih indah, sebagai Indisch
Venetie. Gambaran kota lebih lagi mempunyai cirinya yang jelas
dengan banyaknya rumah-rumah dibangun diatas tiang-tiang kayu oleh karena
permukaan tanah yang luas dari kota
ini adalah rawa. Rumah-rumah ini satu dengan lainnya dihubungkan dengan
jembatan layang yang sederhana dari kayu diatas tiang-tiang.
Adanya pasang surut dan lebatnya hujan,
menyebabkan permukaan air berbeda sangat besar. Perbedaan tingkat pada air
pasang surut di musim hujan dengan musim kemarau kira-kira 3,8 meter. Pada saat
air pasang banyak tanah tenggelam dibawah air, dimana “tambangan”(perahu)
berkeliling dengan lincah disekitar kota,
menimbulkan suatu pemandangan bagaikan lukisan. Sebaliknya pada saat air surut,
tanah dan solok(anak sungai kecil) berubah, menjadi lumpur dan solok-solok
lumpur, yang memberikan pemandangan yang tidak indah dan rakyat menamakannya “kota lumpur”.
Topografi
Palembang .
Telah digambarkan bahwa sejak zaman Sriwijaya sampai dengan zaman
kolonial, yaitu pada saat Palembang
menjadi Kotapraja(gemeente), keadaan
topografinya tidak banyak perubahan. Bentuk kota yang memanjang sepanjang sungai Musi,
mulai dari persimpangan muara sungai
Komering sampai dengan persimpangan muara sungai Ogan.
Para
arkeologis melihat Palembang
sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, tidak melihat
peninggalan yang menggambarkan suatu kemegahan. Barangkali Palembang
sebagai pusat Sriwijaya tidak sama dengan pusat-pusat kerajaan lain, yang
banyak ditemukan diwilayah Asia Tenggara, seperti di Thailand, Kamboja dan Birma. Palembang diduga bersifat
“mendesa”(rural). Bahan untuk membuat
bangunan-bangunannya hanyalah bahan-bahan dari kayu atau bambu yang mudah
didapat disekitarnya. Namun karena bahan itu merupakan bahan yang mudah rusak
termakan zaman, maka sisa rumah tinggal sudah tidak dapat ditemukan lagi.
Kalaupun ada, sisa permukiman kayu hanya ditemukan didaerah rawa atau sungai
yang selalu terendam air. Bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu hanya
diperuntukkan bagi bangunan sakral(bangunan keagamaan)[12].
Kuto Gawang, keraton pertama
Bangunan pada zaman Sriwijaya sudah rusak
dan hilang, barangkali wajar saja, karena dimakan oleh waktu lebih dari seribu
tahun. Akan tetapi bagaimana dengan nasib bangunan pada zaman Kesultanan
Palembang pada awal dan pertengahannya, sedangkan peninggalan diakhir
kesultanan Palembang
(abad ke 19) nyaris hilang atau hancur tak terpelihara. Pada saat ini hanya
Masjid Agung Palembang yang bernasib baik, karena telah direstorasi dan
renovasi. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badarudin
I(1724-1757).
Keraton Palembang yang pertama kali dibangun
oleh para priyai yang datang dari Jawa pada abad ke 16, tepatnya dari wilayah
Jipang dalam lingkup kekuasaan kerajaan Demak. Para
priyai ini adalah pengikut Aria Jipang, yaitu Pangeran Penangsang yang tewas
dalam perebutan tahta Demak. Dengan tewasnya
Pangeran Penangsang, maka para pengikutnya melarikan diri dari wilayah Demak.
Pimpinan para priyai yang hijrah ke Palembang
ini adalah Ki Gede ing Sura. Dari nama dan gelarnya dapat diketahui setidaknya
dia adalah seorang Sura[13],
berarti: seorang gagah berani, bersifat kepahlawanan, laki-laki perkasa.
Sedangkan gelar Ki Gede menurut H.J.de Graaf[14]
:”Ki yang dipakai oleh
pendahulu-pendahulu Senapati, yaitu Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis dan Kia
Ageng Pemanahan, dan bukan raden ,
menunjukkan bahwa mereka itu berasal dari kalangan rendahan. Tetapi memang
benar mereka itu merupakan pemuka-pemuka didaerahnya, terbukti mereka itu
mempergunakan predikat ageng atau gede
dibelakang sebutan Ki.”
Peran dan fungsi keraton
Keraton pertama yang didirikan oleh Ki
Gede ing Sura adalah Keraton Kuta Gawang, situsnya sekarang menjadi kompleks
pabrik Pupuk Sriwijaya(PUSRI). Makamnya berada diluar Kuta Gawang, yang
sekarang dikenal sebagai Makam Candi Gede ing Suro. Nama kerajaan yang
didirikan adalah nama Palembang,
suatu nama yang kharismatis dalam dunia Melayu. Legimitasi yang mereka bawa
adalah dari kerajaan Demak, yang juga merupakan “pewaris” kerajaan Majapahit.
Memperkuat diri mereka ditengah orang-orang Melayu di Palembang, selain
melakukan perkawinan antar keluarga keraton dengan orang-orang besar Melayu,
juga mereka mengadaptasi kebudayaan Melayu.
Keraton yang menjadi inti ibukota secara
kosmologis merupakan pusat kekuatan magis dari kerajaan itu[15].
Keraton Palembang adalah pusat dari Batanghari
Sembilan, yang merupakan lambang kosmologi, yaitu adanya delapan penjuru
mata angin, dimana penjuru kesembilan berada di Keraton Palembang[16].
Dengan demikian klaim Palembang
atas daerah-daerah luarnya berada dibatas-batas Batanghari(sungai). Luas kerajaannya tergantung siapa yang yang
menjadi rajanya. Batas kerajaan Palembang
bisa besar dan bisa mengecil. Jika rajanya berpengaruh dan berdiplomasi tinggi,
daerahnya akan meluas, demikian pula sebaliknya.
Kerajaan Palembang membagi wilayahnya
menjadi:
Ibukota
Sebagai pusat kosmos, pusat kebudayaan,
pusat politik dan kekuasaan, pusat magis dan legimitasi. Wilayah ini sepenuhnya
berada dibawah Sultan Palembang.
Kepungutan
Kepungutan adalah daerah
yang langsung diperintah oleh Sultan. Menurut de Brauw[17]:
“…dengan orang Kepungut, yang berarti “dipungut”(dilindungi), dimaksudkan
adalah orang-orang pedalaman Palembang, yang langsung berada dibawah kekuasaan
raja-raja, mereka dikenakan segala pajak. Berbeda dengan penduduk perbatasan,
yang tidak dibebani dengan pelbagau macam pajak, dan hanya dianggap sekutu yang
hanya dikenakan cukai.”
Sindang.
Diperbatasan wilayah Kepungutan terletak wilayah Sindang,
yang merupakan wilayah paling ujung atau pinggir. Tugas Sindang adalah menjaga batas-batas
kerajaan. Penduduknya tidak membayar pajak dan beban-beban lain dari Kesultanan
Palembang. Mereka dianggap orang-orang merdeka dan teman dari Sultan. Mereka
hanya punya suatu “kewajiban”(lebih bersifat adat), yaitu seba, setidaknya tiga tahun sekali ke Palembang. Menurut Du Bois[18]:
“Tidaklah atas dasar kewajiban, akan tetapi oleh karena adanya adat dikalangan
pribumi untuk saling kunjung mengunjungi dan menjadi kebiasaan, bahwa mereka
juga tidaklah datang dengan tangan hampa.”
Sikap
Diantara kedua bentuk
wilayah tersebut, terdapat wilayah sikap ,
suatu dusun atau kumpulan dusun yang dilepaskan dari marga, dibawahi langsung oleh pamong Sultan, yaitu jenang dan raban. Dusun-dusun ini terletak di muara-muara sungai yang
strategis, dan mereka mempunyai tugas-tugas khusus untuk Sultan, umpamanya
sebagai tukang kayuh perahu Sultan, tukang kayu, tukang pembawa air, prajurit
dan pelbagai keahlian lainnya. Mereka dibebaskan dari pelbagai bentuk pajak.
Tugas yang dilakukan oleh mereka adalah gawe
raja.
Luas
dan tempat kedudukan keraton.
Keraton Kuta Gawang adalah sebuah keraton setidaknya telah berdiri 100 tahun, sebelum
dibakar habis oleh VOC tahun 1659. Kuta
Gawang berbentuk empat persegi, dikelilingi kayu besi dan unglen 4 persegi
dengan ketebalan 30 x 30 cm. Panjang dan lebar benteng ini berukuran 290 Rijnlandsche roede(1093 mter). Tinggi
dinding temboknya adalah 24 kaki, atau kurang lebih 7,25 m[19].
Benteng ini menghadap ke sungai Musi, dengan pintu masuk melalui Sungai Rengas.
Sedangkan kanan dan kiri benteng dibatasi oleh sungai Buah dan sungai Taligawe[20].
Benteng ini mempunyai 3 baluarti, dimana baluarti tengah terbuat dari batu.
Orang-orang asing bermukim diseberang benteng di seberang ulu sungai Musi.
Mereka adalah orang-orang Portugis, Belanda, Cina, Melayu, Arab, Campa, Melayu
dan lainnya.
Benteng ini mempunyai pertahanan berlapis dengan kubu-kubu yang terletak
di pulau Kemaro, Plaju, Bagus Kuning dan Plaju. Disamping itu terdapat cerucuk
yang memagari sungai Musi antara pulau Kemaro dan Plaju. Kuta Gawang merupakan kota yang dilindungi oleh
Kuto(= pagar dinding tinggi), tipekal
kota zaman
madya.
Pengetahuan kita tentang kota
pada zaman Kuta Gawang ini amat sangat terbatas. Selain peta yang dibuat oleh
Laksamana Joan van der Laen sebelum menyerbu Palembang 1659[21],
juga sketsa tentang peperangan tahun 1659 di Kuta Gawang[22].
Tidak ada naskah Palembang
yang menjelaskan tentang bentuk dan isi Kuta Gawang tersebut. Oleh karena Kuta
Gawang tersebut sangat tertutup, maka para penulis Eropa hanya menganalisa dari
peta dan sketsa Kuta Gawang tersebut. Yang ada hanyalah laporan tentang
penyerbuan ke Kuta Gawang serta pembumi hangusan Kuta Gawang yang memakan waktu
beberapa hari.
Atas peristiwa ini, raja dan rakyat Palembang mengungsi keluar kota meninggalkan reruntuhan Kuta Gawang yang
telah menjadi arang dan abu. Raja Palembang Seda ing Rejek mengungsi ke Sako
Tiga(wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir) dan meninggal disana. Selanjutnya
nasib Kuta Gawang setelah lebih dua ratus kemudian dilaporkan[23]:”….
suatu tempat dimana satu abad lalu( sebenarnya
lebih dua abad lalu, pen.), telah berdiri kraton atau dalem dari raja-raja Palembang waktu itu. Sedikit bekas
bangunannya masih dapat dilihat, disana sini ada sepotong dinding ditumbuhi tumbuhan
yang memanjat dan bunga-bunga
warna-warni yang biasa tumbuh dipadangan. Reruntuhan gerbang, dinaungi dan
dilindungi dibawah beringin yang menarik, adalah segala-galanya sebagai sisa
kenangan yang hidup, dari suatu tempat, dimana pernah ada suatu kerajaan,
kemegahan dan perlakuan despotisme. Didekatnya atau sekitar reruntuhan berdiri
suatu pendopo yang indah, pada saat musim kemarau kepala-kepala(pejabat) bangsa
Melayu yang bertugas, ambtenar-ambtenar dan perwira-perwira bangsa Eropa
berkumpul, untuk melatih diri dalam menembak dengan mengunakan senapan dan yang
serupanya(buks). Tempat ini diperkaya
oleh alam dengan pohon-pohonan, flora dan fauna memberikan banyak manfaat.
Gerombolan monyet bergelantungan dari satu pohon ke lain pohon, dari ranting kelain
ranting, bahkan suara tembakan senapan tidak memaksa mereka meninggalkan tempat itu, karena
banyaknya buah-buahan dan bunga-bunga-bunga yang tersedia.”
Pada tahun 1960-an tempat ini kemudian dibuka untuk pendirian fabrik
pupuk, yaitu Pupuk Sriwijaya. Pada waktu penggalian untuk konstruksi fabrik
banyak sekali terdapat balok-balok kayu bekas dinding kuto, juga temuan
lainnya. Akan tetapi pada waktu itu kita belum memperdulikan masalah
“kesejarahan”, temuan-temuan tersebut tidak menjadi perhatian.
Inilah kota Palembang pada 1659 dibuat oleh Laksamana
J.van der Laen. Peta ini dibuat sebelumPalembang
dihancurkan oleh VOC pada tahun 1659.
Palembang diserang, dihancurkan dan kemudian dibakar
oleh VOC pada tahun 1659.
Perkembangan kota
Palembang pada
masa Sultan Mahmud Badaruddin I mengalami kemajuan dan juga modernisasi. Dia
adalah tokoh kontroversial, seorang tokoh pembangunan yang modern, realistis
dan pragmatis, tapi juga seorang petualang yang kompromistis. Dia adalah tokoh utama dalam pembangunan Palembang, baik dibidang
ekonomi, politik maupun tatanan sosial. Dia membangun pengairan sepanjang
sungai Mesuji, Ogan, Komering dan Musi, bukan saja untuk pertanian, melainkan
sekaligus juga untuk jalan pertahanan.
Tiga buah bangunan monumental dididirikannya, dengan visi, arsitektur
dan fungsi yang berlainan satu sama lain. Prioritas utama dalam pembangunan itu
adalah makam yang berbentuk kubah untuk dirinya dan keluarganya. Makam ini
dibangunnya tahun 1728 diatas perbukitan dipinggir Sungai Musi. Tempat itu
bernama Lemabang. Nama ini dapat diindikasikan kalau perbukitan itu memang
suatu tempat tanah yang tinggi atau ditinggikan. Untuk mencapai makamnya dari
sungai Musi kita harus melewati beberapa gapura dan pagar yang pintunya
melengkung ditopang tiang-tiang gaya
Eropa. Dari tempat peristirahatan terakhirnya itu, seolah-olah Sultan masih
ingin tetap mengawasi kehidupan perkembangan dan perkembangan rakyat dikota Palembang. Bangunan ini
adalah bangunan berkubah yang pertama dibangun. Kubah merupakan ciri aristek
Islam. Makam Lemabang adalah makam Kesultanan Palembang yang terbesar dan
jenasah yang berkubur juga mulai Mahmud Badaruddin I, putra-putranya termasuk
Sultan Ahmad Najamudin I(1754-1774) dan cucu Badarudin I yaitu Mohamad
Bahaudin(1774-1803).
Pada tahun 1737 dibangun pula keraton yang berada ditepi sungai
Tengkuruk, dikenal sebagai keraton Tengkuruk atau Kuta Batu. Kuta ini mempunyai
4 baluwarti(bastion), panjang dan
lebarnya adalah 164 m[24]. Kuta ini terletak diatas “pulau” yang
dikelilingi oleh: depannya sungai Musi, dibelakangnya sungai Kapuran, disamping
sebelah hulu adalah sungai Sekanak dan sebelah hilir sungai Tengkuruk. Kuta ini
merupakan keratin ketiga dari Kesultanan Palembang.
Masjid Agung didirikan diatas “pulau” yang sama, berada di utara dari
Kuta Tengkuruk, dengan posisi disudut sungai Tengkuruk dan sungai Kapuran. Nama
sungai Tengkuruk ini menerbitkan spekulasi, apakah asal kata: Teng atau Te
menunjukkan keadaan yang di “urug”. Dalam hal ini arti “urug” menurut bahasa
Jawa Kuno[25]
adalah timbun, artinya sungai itu digali untuk di”urug” ke lahan yang dibangun
untuk Keraton ataupun Masjid. Kelihatan sekali pada saat ini lantai Masjid
tingginya lebih dari 1,50 m dari lantai pekarangan. Kemungkinan pada awalnya
keadaan lantai masjid ini lebih tinggi lagi. Sedangkan menurut bahasa Kawi,
“urug” artinya asri atau indah. Pengertian ini mungkin saja dapat diterima,
karena sepanjang sungai tersebut terdapat dua bangunan monumental, yaitu
Keraton dan Masjid.
Masjid ini dibangun pertama kali tahun 1738 dan rampung setelah tahun
1748. Sebuah bangunan sangat monumental pada zaman itu, membuat kekaguman orang
Eropa, antara lain adalah Dr. Otto Mohnike seorang Jerman yang berkunjung ke Palembang tahun 1874,
menyatakan sie ist eine der grossen und
schonsten in
Niederlandisch-Indien(sebuah masjid terbesar dan terindah di Hindia
Belanda)[26]
Masjid Agung Palembang setelah direstorasi nampak
jelas
bentuk asli, yaitu bentuk sewaktu dibangun pada tahun
1738
Kuto
Baru atau Kuto Besak
Setelah masa Sultan Mahmud Badarudin I,
Kesultanan Palembang Darusalam terus berkembang pesat. Ekonomi Palembang,
terutama dalam perdagangan hasil bumi(lada dan hasil hutannya) dan timah
memberikan masukan kepada pasar Nusantara, Eropa dan Cina. Dalam keadaan
ekonomi yang baik tersebut, perkembangan siyar agama Islam terus meningkat.
Bahkan Palembang menjadi Pusat sastra Islam di Nusantara setelah Aceh mengalami
kemunduran diabad ke 17. Nama-nama besar para ulama dari Palembang sangat dikenal di Nusantara, antara
lain Abdul.Somad al Palimbani, Syihabudin bin Abdallah Muhamad, Kemas
Fachrudin, Muhamad Muhyiddin bin Syaikh Syihabudin[27].
Kuto Besak pada saat dikuasai Inggris pada tahun 1812.
Kekayaan dan kejayaan
Keraton Palembang saat itu membuat kekaguman tokoh-tokoh Eropa antara lain
Thomas Raffles sendiri menyatakan kepada atasannya Lord Minto dalam suratnya
tanggal 15 Desember 1810, bahwa:
“
Sultan Palembang
adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan
bahwa gudangnya penuh dengan dolar dan emas yang telah ditimbun oleh para
leluhurnya”[28].
Dengan kekayaannya ini maka Sultan
Muhamad Bahaudin sanggup mengeluarkan uangnya sendiri dari koceknya seperti
yang ditulis oleh pelapor Belanda[29] untuk membangunan sebuah Kuto yang baru, yang
kemudian dikenal sebagai Kuto Besak.
Kedua nama tersebut yaitu Kuto Baru dan Kuto Besak adalah sebagai
pandanan terhadap bangunan Kuto yang dibangun oleh Mahmud Badaruddin I, yang
dianggap sebagai Kuto Lama dan Kuto Kecik. Fihak Belanda menyebut kedua kraton
ini sebagai de nieuwe kraton dan de oude kraton.
Ukuran dan luas serta isi keraton ini
ditulis oleh I.J.Sevenhoven[30]
seorang Komisaris Belanda di palembang
th 1821.:” Kuto Besak berukuran lebar 77 dan panjang 49 roede(Amsterdam roede = kurang lebih 3,75 m, atau panjangnya ialah 288,75 m. dan
lebarnya 183,75 m), dengan keliling tembok yang kuat dan tingginya 30 kaki
serta lebarnya 6 atau 7 kaki. Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion(baluarti). Didalam masih ada
tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang
kuat, sehingga dapat dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama dapat
didobrak.”
Komentar orang-orang Eropa pada waktu itu
yang mekagumi Benteng Kuto Besak, antara lain ambtenar Belanda J.A.van Rijn van
Alkemede[31]:
“Benteng ini adalah salah satu yang terbesar di Kepulauan Hindia(maksudnya Indonesia sekarang, pen) dan
tidak dapat dikalahkan oleh musuh dari pedalaman." Kemudian Mayor M.H.Court, Residen Inggris
untuk Palembang, kemudian menjadi Residen dan Komandan di Bangka, menyatakan: “
Kraton Sultan adalah bangunan yang sangat indah(magnificient structure) dibuat dari bata serta dikelilingi oleh
dinding yang kuat Tempat tinggal para pemimpinnya sangat luas dan nyaman,
meskipun demikian tidak ada menunjukkan kemewahan.”[32].
Atas komentar-komentar tersebut Sultan
Mohamad Bahaudin boleh berbangga hati, dan lebih lagi dia boleh berbangga,
karena puteranya Sultan Mahmud Badarudin II membuktikan ketangguhan benteng
tersebut pada waktu Perang Palembang
I dan II ditahun 1819. Pada perang tersebut peluru-peluru korvet Belanda tidak
dapat menggetarkan dinding-dinding Kuto Besak. Dua kali serangan di lakukan
pada tahun 1819, membuat armada Belanda frustrasi dan mengundurkan diri ke Batavia. Peristiwa ini
ditulis dalam suatu syair yang indah yaitu Syair
Perang Palembang atau lebih populer dengan sebutan Syair Perang Menteng.
Terhadap suatu serbuan yang berkelebihan(overmacht) dari fihak Belanda, dimana
ratusan kapal perang dan 5.000 pasukan terlatih baik, yang sebagian didatangkan
dari Eropa, maka pada tahun 1821 Kuta Besak dapat ditaklukan oleh Belanda. Pada
tahun 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan dalam peta Nusantara. Kuta Besak
dijadikan markas tentara Belanda. Sedangkan Kuta Lama(Kuta Tengkuruk) pada
tahun 1825 dibongkar dan bahan-bahan bangunannya dibuat bangunan rumah
Komisaris Belanda.
Atas pendudukan Kuta Besak dan
penghancuran Kuta Lama, maka konsentrasi kota
berada diwilayah ini. Pasar dan kantor-kantor berdiri dilingkungan Kuta Besak,
bahkan perahu-perahu pun menjadikannya tempat berlabuh yang ideal.
Keraton Beringin Janggut
Jikalau situs ataupun tapakan keraton Palembang yang pertama
jelas tempatnya, bahkan petanya ada; demikian pula keraton terakhir Kesultanan
Palembang masih wujud keberadaannya. Menjadi pertanyaan dimana situs atau
tapakan Keraton Kedua, yaitu Keraton Sultan Abdurahman berada?
Catatan dari keraton Palembang tidak diketemukan sama sekali
mengenai letak keraton tersebut. Laporan dari fihak kolonial mungkin juga,
belum sempat kita gali dan bongkar. Akan tetapi dengan tulisan yang dibuat oleh
J.W.J.Wellan tentang dimana keraton tersebut, membuat kita juga pesimis untuk
menemukannya. Mengapa demikian? Jawabannya mari kita simak apa yang ditulis
oleh J.W.J.Wellan[33]
dalam upaya dia mencari tapak kawasan Masjid Lama: Eertijds
meende ik, dat het centrum van de nieuwe stad Palembang, in 1662,
waarschijnlijk gezocht moest worden achter de Kampong Soero, in de buurt van de
tegenwoordige politiekazerne, maar derde brief, thans van den Opperkoopman te
Palembang, Nicolaus Jan de Beveren, gedagteekend 22 Juli 1721, heeft mijn
vermoeden aan het wankelen gebracht.( Dahulu saya mengira, bahwa pusat dari
kota Palembang yang baru, dalam tahun 1662, mungkin harus dicari dibelakang
kampung Suro, disekitar asrama polisi yang sekarang, tetapi surat ketiga dari
Pedagang Kepala di Palembang, Nicolaus Jan de Beveren, tertanggal 22 Juli 1721,
membuat perkiraan saya menjadi goyang).
Kenapa pernyataan
J.W.J.Wellan tersebut mempengaruhi saya, karena Tuan Wellan adalah seorang
Archivaris(ahli arsip) dari Zuid Sumatra-Institut. Dimana dia menerbitkan
bibliografi tentang Zuid Sumatra(Sumatra Selatan termasuk Jambi, Bengkulu dan
Lampung) yang berjudul Zuid Sumatra
overzicht van de literatur der gewesten Bengkoelen, Djambi, De Lampongsche
Districten en Palembang terdiri dari dua jilid dicetak di s’Gravenhage –
Holland pada tahun 1923 dan 1930. Isinya terdiri ribuan judul buku-buku yang
diterbitkan mengenai Zuid Sumatra, buletin,
majalah, surat-surat resmi dan Dagh Register sejak tahun 1624,
peta-peta, photo-photo, gambar serta segala sesuatu mengenai Zuid Sumatra.
Dengan modal yang ada padanya sebagai seorang archivaris dia menerbitkan
beberapa buku, makalah dan tulisa-tulisan lainnya, baik tentang sejarah,
sosial, ekonomi dan politik. Sayangnya dia tidak menulis mengenai Keraton
Sultan Abdulrahman !
Artinya kita harus mencoba menyusun dari segala serpihan
tulisan yang ada tentang Palembang
dizaman Sultan Abdulrahman, cerita tutur yang ada, dan kenyataan tentang adanya
situs serta toponimi yang masih wujud di Palembang
pada saat ini.
Menghimpun catatan sejarah
tentang masa Sultan Abdurahman.
Catatan sejarah tentang tokoh ini mencukupi,
baik dari arsip kolonial maupun naskah tulisan tangan dari para priyai Palembang. Beliau adalah
seorang Sultan yang amat dikenal terutama di daerah pedalaman dan dihormati
oleh Belanda. Bagi raja-raja di Jawa, baik di Banten dan Mataram, nama Sultan ini
sangat disegani. Akibat semua ini menjadikan
dia sebagai suatu mitos orang hebat. Bahkan dalam catatan keraton Surakarta abad ke 19
beliau dianggap sebagai “king with magic
power”[34].
Pernyataan itu dituliskan sebagai: Stories
spoke of Sultan Cinde Balang’s special qualities, his powers of meditation, his
gift of second sight, his prowess in war; “people say that he gained the love
and respect of his subjects, that he was mild tempered, wise and fair, and that
under him the land blossomed and prospered.”
Sultan Abdulrahman adalah
seorang tokoh yang menyelamatkan Kesultanan Palembang, yaitu setelah kejatuhan Palembang oleh serangan
VOC 1659, karena pada saat itu terjadilah semacam perebutan pengaruh untuk
menjadi penerus tampuk Kesultanan Palembang. Ternyata dia dapat diterima oleh
segala fihak, termasuk Jambi dan VOC. Dalam melanjutkan kepemimpinan Palembang
setelah kehancuran keraton Kuta Gawang, ekonomi dan politik, maka Abdulrahman
memindahkan keratonnya. Inilah pertanyaannya kemana pindahnya dan dimana letak
keraton tersebut.
Untuk itu mari kita kumpulkan “data”,
atau bahan-bahan yang ada sebagai berikut:
1.
Menurut cerita tutur Keraton Palembang setelah terbakar pada tahun 1659
pindah disekitar wilayah Beringin Janggut sekarang ini.
2. Barbara Watson
Andaya, seorang sejarahwan dari Amerika menuliskan dalam bukunya[35]
sebagai berikut: For its part, the VOC’s
expectation of a lasting economically rewarding future in Palembang is attested by the gradual
expansion of its lodge, situated on the Aor River
opposite royal palace.
3. Disebutkannya
loji VOC berseberangan dengan istana, adalah suatu kesepakatan antara raja Palembang dengan VOC[36],
bahwa VOC dapat mendirikan loji diseberang istana. Untuk ukuran besar loji,
personalia serta persenjataannya, serta syarat-syarat lainnya juga telah
ditetapkan. Di Kuta Gawang belum sempat
didirikan loji, baru berupa rakit dan kapal-kapal. Pelaksanaan pendirian loji
sebenarnya baru pada tahun 1662. Pembangunan loji ini bersifat bertahap dan
tempatnya adalah di sungai Aur, berhadapan dengan keraton Sultan. Menurut
naskah Palembang[37],
pada masa awal pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin I(1756-1774), VOC meminta
kepada Sultan untuk membangun lojinya dari batu, karena selama ini hanya
terbuat dari kayu dan bambu.
4.
Bagaimana gambaran loji di sungai Aur dituliskan
oleh J.S.Gramberg[38]:”Benteng dengan gerbang induk yang menghadap ke sungai
Musi, membuat penampilannya mengesankan. Berbentuk persegi empat, terdiri dari dinding batu-batu
besar dengan panjang dan lebar kurang lebih 450 kaki(kira-kira 140 m), sehingga mempunyai luas 1400 roede persegi(kira-kira
19.600 m). Didalamnya terdapat gudang persenjataan, gudang untuk barang
dagangan, barak rumah sakit serta rumah-rumah untuk pegawai. Dari lubang-lubang
tembak mencuat 8 moncong meriam besar, melongok keluar mengancam.”
5.
Jikalau ukuran dan bentuk loji sekitar 2 ha, maka
setidaknya Keraton Sultan Abdurahman akan sama ukurannya atau bahkan lebih
besar. Posisi atau letaknya akan berhadapan dengan loji Sungai Aur, maka
keraton itu sekitar Pasar 16 ilir – Jalan Pasar Baru. Kalau disekitar tersebut
adalah keratonnya, maka masjidnya terletak disebelah utaranya, kira-kira di
Jalan Masjid Lama sekarang ini. Letak masjid ini tidak terlalu jauh dengan
sungai Tengkuruk, seperti letak Masjid Agung. Masjid ini dibangun sekitar tahun
1663. Tahun pendirian masjid ini berdasarkan laporan dari Opperkoopman(Pedagang
Kepala) Jonathan Claessen dengan suratnya tanggal 30 Juni 1663 ke Batavia[39].
Menurut dia dalam “usahanya membangun loji di Sungai Aur, dia tidak kebagian
tenaga kerja, karena diserap untuk pembangunan masjid”. Dapat pula ketiga
bangunan itu dibangun secara bersamaan, sehingga sulit memperoleh tenaga kerja
dan bahan bangunan.
6. Mari kita mencoba
membaca beberapa peta tua baik dari fihak Inggris maupun fihak Belanda.
A.
Peta tertua adalah yang dibuat oleh Mayor William
Thorn sewaktu meyerbu Palembang th 1811, judulnya: Sketch
of the Palaces, Forts and Batteries of Palembang.
B. Peta koleksi
KITLV dengan no.H.54.1595 sebuah peta yang digambar dengan pensil: Plattegrond van de hoofdplaats Palembang in 1823,
C. Peta yang dibuat
oleh C.F.Stemler, Amsterdam
1877 berjudul Platte grond van Palembang
D. Peta no E 38
dibuat tahun 1819 berjudul Platte grond van
Stad Palembang.
Dua peta yaitu
peta B dan peta D sangat informatif, karena ada petunjuk mengenai yang
diperkirakan tapakan keraton Sultan Abdulrahman, berada juga diatas “pulau”,
yaitu yang dibatasi oleh sungai Musi, Sungai Tengkuruk disebelah barat,
disebelah timur adalah sungai Rendang/Karang Waru, sedangkan disebelah utara
adalah sungai Penedan. Sungai Penedan ini adalah terusan yang menghubungkan
Sungai Kemenduran, sungai Kapuran dan sungai Kebun Duku(ketiganya bertemu
kira-kira dipersimpangan Jalan Rustam Effendi dan Jalan Sudirman sekarang).
Keadan sungai Penedan sejajar dengan jalan Rustam Effendi memotong jalan
Sayangan dan Terusan terus ke Sungai Rendang.
Ada indikasi yang
jelas digambarkan oleh kedua peta tersebut, yaitu adanya jalan melingkar, kalau
digambarkan pada sekarang yaitu dari persimpangan Airmancur – Jalan Masjid Lama
melingkar ke jalan Sayangan kembali ke jalan Sudirman melalui jalan Rustam
Effendi. Jalan itu adalah satu-satunya jalan dibahagian Palembang timur dan berada di “pulau”
katakanlah pulau “beringin janggut”.
Peta D tersebut menuliskan
jalan itu sebagai oude kassei, yang
saya harapkan tertulis oude kasteel(=istana benteng). Namun
biarpun begitu dengan oude kassei(=jalan
lama, jalan bebatuan lama) sudah mengindikasikan bahwa setidaknya jalan itu
melingkari bekas bangunan besar atau bisa saja merupakan tapakan fondasi
bangunan.
7.
Marilah kita inventaris
toponimi yang masih ada disekitar wilayah tersebut: Sayangan – Kepandean –
Pelengan – Kuningan. Toponimi ini menggambarkan suatu latar belakang sejarah,
dimana Palembang
pada zaman Kesultanan mempunyai lembaga sosial yang disebut “gugu”(guguk – yang
dipatuhi). Guguk suatu institusi sosial dalam masyarakat feodal,
dimana seorang pangeran memperoleh anugerah tanah dari Sultan untuk
berproduksi. Pangeran sebagai tokoh guguk mempunyai lingkungan masyarakat yang
terdiri dari keluarga, alingan(orang-orang
dilindungi, biasanya dari strata miji atau
senan, yaitu orang-orang yang
merdeka, bukan budak, akan tetapi tidak punya kemampuan ekonomis, hanya
mempunyai tenaga dan kepandaian). Institusi guguk ini dapat menghasilkan barang
yang bernilai ekonomis, seperti guguk:
Sayangan -
pandai atau pengrajin tembaga.
Kepandean -
tempat pandai besi.
Pelengan -
tempat pengrajin membuat minyak.
Kuningan -
tempat perajinan kuningan
Pelampitan -
perajin pembuat lampit/tikar
Rendang -
pembakaran.
Disamping nama-nama tempat berdasarkan keahlian dan kerajinan, juga ada nama jabatan seorang pejabat tinggi:
Kebumen -
tempat Mangkubumi
Kedipan -
tempat Adipati
Ketandan -
tempat Tandha, kepala perbendaharaan Kesultanan.
Ada pula
kedudukan etnis:
Kebalen -
tempat orang Bali
Kebangkan -
tempat orang Bangka.
Nama-nama tempat yang menunjukkan fungsinya adalah:
Segaran -
nama ini adalah nama yang tua sekali, seperti terda-
pat di Trowulan(zaman Majapahit). Segaran adalah
kolam besar
bagaikan “segara”(laut)untuk tempat
menyegarkan
diri.
Penedan -
tempat yang terpelihara atau tempat indah.
Karang Waru – kumpulan pohon-pohon.
Terusan -
saluran, kanal.
Beringin Janggut – Pohon ini biasanya menjadi lambang
keraton.
Sketsa situs Keraton Beringin Janggut. Keraton itu diperkirakan terletak diantara Sungai Tengkuruk, Sungai Musi, Sungai Penedan Sungai Karang Waru/s.Rendang.
Perkembangan kebudayaan dan politik pada setiap keraton
Setiap Raja atau Sultan mempunyai pandangan politiknya
sendiri, dimana dia hidup dalam suasana perkembangan sosial budaya dan ekonomi
yang harus dia jawab atas segala tantangan yang dihadapinya. Oleh karena itu
Raja/Sultan serta lingkungannya yaitu elite yang berada dikeraton, mempunyai
sikap tersendiri atas perkembangan kerajaannya. Meskipun sebagai Raja/Sultan
dia mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, namun negosiasi dengan pendukungnya
termasuk rakyatnya tetap dilakukannya.
Apalagi sebagai Raja/Sultan dia hanya
mendapat jaminan dari rakyat bentuk setia dan bakti, sepanjang Raja/Sultan
memberi jaminan pula kepada rakyatnya atas hidup yang tenteram. Oleh karena itu
sangat menarik disimak bahwa disetiap keraton terjadi banyak perbedaan atas
sikap, kebijakan dan produk budaya dan politik yang dihasilkan.
Buku yang akan diterbitkan ini akan
menggambarkan masalah-masalah ini. Barangkali inilah buku yang pertama secara
thematik membahas tentang produk-produk budaya setiap keraton Palembang.
Palembang, 27 Maret 2005
[1] R.J.Wilkinson A Malay-English Dictionary Mac Millan
& Co Ltd, London
1955. Hal.674.
[2] Dr.T.Iskandar Kamus Dewan
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur, Malaysia
1986. Hal 678-679.
[3] Judul lain dari buku tersebut adalah Bijdrage
tot de kennis en rigtige beoordeeling van den zedelijken, maatschapplijken en
staatkundigen toestand van het Palembangsche gebied terbit tahun 1855 oleh J.Oomkens J.Zoon,
Groningen.(hal.8)
[4] Boechari sebagai seorang epigrafi kenamaan menulis dan menganalisa
kembali dari hasil tafisr Coedes(1930), de Casparis(1956) dan Damais(1952,
1955) dalam tulisannya “hari Jadi Kota Palembang Berdasarkan Prasati Kedukan
Bukit” dalam Sriwijaya dalam perspektif arkeologi dan sejarah, Pemda Tk. I
Sumsel 1993.
[5] Abu Zaid Hasan, Voyage du
marchand arabe Sulayman en Inde et en Chine, redige en 851, suivi de remarques
par Abu Zayd Hasan(vers 916), alih bahasa G.Ferrand dalam T.VII des Clasique de l’Orient,
Paris
1922. Hal.95.
[6] L.C.Westenenk, Boekit Segoentang en Goenoeng Mahameroe uit
de Sedjarah Melayoe dalam TBG th
1923. Hal.223.
[7] Friedrich Hirth & W.W.Rockhill ed. Chau Ju-kua: His work on the Chinese and Arab Trade in the 12th
& 13th centuries, entitled Chu-fan-chi Oriental Press, Amsterdam, 1966.
Hal.60-67.
[8] Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan
“The Overall Survey of the Ocean’s Shores” (1433) terjemahan dari bahasa
Cina oleh Feng Ch’eng-chun, introduksi catatan dan appendiks oleh JVG.Mills,
University Press, Cambridge, 1970. Hal.98-102.
[9]Alfred Wallace Russel The Malay Archipelago
Dover Publ.
New York,
1962. Hal.94.
[10] 25 jaren Decentralisatie
Nederlandsch-Indie 1905-1930 diterbitkan oleh Decentralisastie Kantoor, Batavia – 1930.
Hal.335-347.
[11] Pada tahun 1990 menurut Kantor Statistik Kotamadya Palembang, masih
tercatat 117 nama anak-anak sungai di Palembang.
Karena bentuk laguna bagaikan pulau-pulau, maka Palembang juga dijuluki sebagai de Stad der Twintig Eilanden (Kota duapuluh pulau).
[12] “Sriwijaya dan Informasi Arkeologis dari Kota Palembang” oleh Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, dalam Sriwijaya dalam perspektif arkeologi dan
sejarah Pemda Tk.I Sumsel 1993.
[13] Menurut P.J.Zoetmulder & S.O.Robson dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia 2 Gramedia Pustaka Utama Jakarta 1995 Hal. 1153.
[14] H.J.de Graaf dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde
no CIX, 1952. Hal. 73.
[15] Heine Geldern, R “Conception
of State and Kingshp in Southeast Asia” The Far
Eastern Quarterly Vol.2 November 1942. Hal.3
[16] Sembilan kategori merupakan suatu sistim yang dipakai didaerah Jawa
pesisir(terutama di Demak), antara lain konsep Wali Songo. Lihat Koentjaraningrat
Kebudayaan Jawa Balai Pustaka, Jakarta 1984. Hal. 433-434.
[17] A. de Brauw “Iets betreffende de verhouding der Pasemahlanden tot
de Sultan van Palembang”
dalam TBG IV no.1, 1855. Hal. 519
[18] A.Du Bois “De Lampongers” TNI II, 1856 . Hal. 41.
[19] Mac Leod Indische Gids – 26-ste Jrg.I. 1904.
Hal.803-804.
[20] J.W.J.Wellan “Heeft de Gemeente Palembang recht haar wapenschild te dekken
met een stedekroon”. Kol. Tijdschr.
24e jrg, 1934. Hal. 19.
[21] Peta no.1138 koleksi Rijksarchief te-‘s-Gravenhage ukuran aslinya
73,5 x 53 cm.
[22] Lihat buku Johan Nieuhof’ Voyages
& Travels to the East Indies 1653-1670 terjemahan dari buku asli Gedenkwaerdige Zee en Lantreize door de voornaemste landschappen van
West en Oost Indien, Amsterdam 1682.
[23] Tijdschrift voor Nederland’s
Indie, 8ste Jaargang, derde deel, 1846. Hal.285.
[24] J.S.Gramberg Palembang: Historisch-Romantische Schets uit de
Gesechiedenis van Sumatra – Batavia/Haarlem,
1878. Hl. 96.
[25] C.F.Winter Sr & R.Ng.Ranggawarsita Kamus
Kawi – Jawa Gadjah Mada University
Press Yogya, 1990 dan S.Prawiroatmodjo Bausastra
Jawa – Indonesia
cet. Ke 3. Gunung Agung Jakarta
1985.
[26] Djohan Hanafiah Masjid Agung Palembang, sejarah dan masa
depannya Masagung, Jakarta
1988. Hal.24
[27] G.W.J.Drewes Directions for travellers on the mystic
path Martinus Nijhoff, The Hague 1977.
[28] C.E.Wutzburg Raffles of the Eastern Isles, London 1954. Hal 118.
[29] UBL Cod.Or 2276 c – fo.16.
[30] I.J.van Sevenhoven Lukisan tentang Ibukota Palembang(terjemahan),
Bhratara, Jakarta
1971.Hal. 14.
[31] J.A.van Rijn van Alkemede De Hoofdplaats Palembang dalam TAG VII/1883. Hal.51-69 pada catatan
kaki 3.
[32] M.H.Court An Exposition of the Relations of the
British Government with the Sultaun and State of Palembang and the Designs of the Neth.Govt.
upon that country – London
1821. Hal 104.
[33] J.W.J.Wellan “Bijdrage tot
de Geschiedenis van de Masdjid Lama te Palembang”
dalam Cultureel Indie
eerste
jaargang E.J.Brill, Leiden
1939. Hal 309.
[34] Nancy Florida “Writing the
Past, Inscribing the Future: Exile and Prophecy in an Historical Text of
Nineteenth Century Java”, 2 vols, Ph.D dissertation, Cornel University,
1990. Hal.327.
[35] Barbara Watson Andaya To Live as Brothers, Southeast
Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth Centuries
University of Hawaii
Opress, Honolulu,
1993. Hal.115.
[36] Mengenai perjanjian ini yang disebut sebagai kontrak, terhimpun
dalam Corpus Diplomaticum
Neerlando-Indicum dihimpun oleh Mr.J.E.Heeres diterbitkan oleh KITLV 1931.
[37] Teks de Bibkiotheek van de Rijksuniversiteit te Leiden no.7 dalam buku M.O.Woelders Het
Sultanaat Palembang 1811-1825 Martinus Nijhoff, s’Gravenhage Nijhoff 1975.
Hal.82.
[39] Brieven, enz aan den Gouverneur-General, enz geschreven in de jaren
1662 en 1663 over gekomen. Tweede boek, 1664, BBBB.Kol.Archief no.1133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar