Senin, 23 Mei 2016

MENELUSURI JEJAK KERATON-KERATON



MENELUSURI JEJAK KERATON-KERATON
Sejarah Sosial Politik dan Budaya Kesultanan
Palembang Darusalam
 

                                                                                         
Nama dan artinya .
          Kota Palembang adalah sebuah kota tertua di Nusantara, mempunyai sejarah panjang dalam khasanah budaya Nusantara. Sebuah nama yang paling banyak memberikan catatan bahkan ilham dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan di Nusantara. Meskipun nama ataupun toponim Palembang itu sendiri secara sederhana hanya menunjukkan suatu tempat(Pa yang berarti suatu kata awal menunjukkan tempat). Kosa kata lembang berasal dari bahasa Melayu[1] yang artinya: tanah yang rendah, tanah yang tertekan, akar yang membengkak dan lunak karena lama terendam dalam air. Sedangkan menurut bahasa Palembang sendiri:  lembeng  adalah mengalir , menetes atau kumparan air. Selanjutnya dalam bahasa Melayu[2]   : lembang berarti:  tanah yang berlekuk, tanah yang menjadi dalam karena dilalui air, tanah yang rendah. Ada pengertian lain dari lembang yan cukup menarik, yaitu : tidak tersusun rapi, berserak-serak.
      Pengertian Pa-lembang adalah tempat yang berkumparan air, atau tanah yang berair dicatat pertama kali oleh pelapor Belanda pada tahun 1824 didalam bukunya  Proeve Eener Beschrivijng van het Gebied van Palembang[3]. Diterbitkan oleh J.Oomkens, Groningen tahun 1843, dan penulis atau pelapor tersebut adalah W.L.de Sturler(Pensiunan Mayor pada tentara Belanda). Dengan demikian pengertian orang-orang Palembang pada waktu itu  tentang nama kotanya adalah ‘tempat yang tergenang air’. Gambaran topografi Palembang pada tahun 1990 tergambar jelas dalam angka statistik dibawah ini(Kantor Statistik Kotamadya Palembang,1990)
            ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
           Drainase tamah                                                                     Luas(ha)                         %
           ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
        1. Tak tergenang air                                                              10.009,4                       47,76
           2. Tergenang sehari setelah hujan                                             444,3                          2,12
           3. Tergenang pengaruh pasang surut                                         308,1                          1,47
           4. Tergenang musiman                                                            2,366,1                        11,29
           5. Tergenang terus menerus                                                     7,829,8                       37,36



Letak dan bentuk kota.
      Kota Palembang terletak sekitar 75 mil dari muara Sungai Musi, dimana muara tersebut terletak di Selat Bangka. Kota itu sendiri terletak dipinggir sungai Musi diantara muara sungai Ogan dan sungai Komering(dua sungai besar yang bermuara di sungai Musi). Kota ini diyakini telah berumur 1320 tahun, berdasarkan atas tafsir dan analisa prasasti Kedukan Bukit[4].
      Dalam penelitian sejarah dan arkeologi yang panjang dan berlarut(sejak tahun 1918), maka setelah berpolemik dalam tulisan-tulisan dan seminar-seminar yang hangat, para pakar dan sarjana berkesimpulan adanya kerajaan besar bernama Sriwijaya yang pada abad ke 7  berpusat di Palembang. Sejak tahun 1982 - 1990 penggalian arkeologi secara intensif dilakukan di kota Palembang. Hasilnya merupakan hasil analisis temuan arkeologi, antara lain: prasasti, arca, keramik, fragmen perahu dan ekskavasi pada permukiman kuno.
      Bentuk kota Palembang dari abad ke 8 - 9 berdasarkan laporan dan catatan kronik Cina serta tulisan pelaut Arab dan Parsi dapat diyakini bentuknya adalah memanjang sepanjang sungai Musi mulai dari sekitar Pabrik Pupuk Sriwijaya sampai ke Karang Anyar, dimana dibagian seberang ulu tidak ada permukiman. Bentuk kota ini secara morfologi kota disebut ribbon shaped city(kota berbentuk pita). Luas kota menurut catatan saudagar Arab, Sulayman[5], pada tahun 815 yang mencatat beberapa gosip para pedagang, bahwa “pantas dapat dipercaya bahwa luas kota ini didengar dari kokok ayam diwaktu subuh dan terus menerus berkokok bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 prasang(satu prasang kurang lebih 6,25 km), karena kampungnya berkesinambungan satu sama lain tanpa terputus”. Apa yang dicatat oleh saudagar Arab tersebut, tidak jauh dari anekdot yang dicatat oleh pelapor Belanda L.C.Westenenk[6]: bahwa besarnya batas kota ini digambarkan bagaimana seekor kucing dapat berjalan tanpa memijak tanah dari Palembang Lama ke Batanghari Leko, karena cukup dengan hanya melompati dari satu atap ke atap lain dari rumah-rumah penduduk.
      Dapat dibayangkan dalam kenyataan Palembang pada masa Sriwijaya tersebut dengan membandingkan letak dari prasasti Telaga Batu yang berada di kampung 2 ilir dan prasasti Kedudukan Bukit di 35 ilir, serta prasasti Talang Tuo yang berada di Kecamatan Talang Kelapa. Dan yang pasti bentuk kota Palembang orientasinya sepanjang sungai Musi dibelahan seberang ilir. Dapat pula dikatakan Palembang pada waktu berada diperairan antara muara Sungai Komering dan Sungai Ogan.
      Bagaimana terserak-seraknya kota Palembang pada waktu, seperti arti kata lembang(=terserak-serak, tidak tersusun rapi), dapat dibaca dari catatan Cina[7] abad ke 12 dan 13: “Penduduknya tinggal diluar kota, atau mereka tinggal dirakit diatas air, suatu tempat tinggal yang lantainya terdiri dari bambu. Mereka dibebaskan dari segala bentuk pajak.”
      Selanjutnya catatan Cina lainnya yaitu Yeng-yai sheng-lan-chiao-chu[8];
menggambarkan keadaan masa itu sebagai berikut: “Tempat ini dikelilingi oleh air dan tanah kering sedikit sekali. Para pemimpin semuanya tinggal dirumah-rumah yang dibuat diatas tanah yang kering dipinggiran sungai. Rumah-rumah rakyat biasa terpisah dari rumah pemimpin, mereka semua tinggal diatas rumah-rumah rakit yang diikatkan pada tiang ditepian dengan tali. Apabila air pasang, rakit akan terangkat dan tak akan tenggelam. Seandainya penduduk akan pindah ketempat lain, mereka memindahkan tiang dan menggerakkan rumahnya sendiri tanpa mengalami banyak kesulitan. Didekat muara sungai, pasang dan surut terjadi 2 kali dalam sehari dan semalam.”
      Gambaran bagaimana kehidupan penduduk Palembang dengan air atau sungai, digambarkan dengan jelas oleh sarjana biologi Inggris yang terkenal diabad ke 19 sewaktu berkunjung ke Palembang, yaitu Alfred Wallace Russel[9]: “Penduduknya adalah orang Melayu tulen, yang tak akan pernah membangun sebuah rumah diatas tanah kering selagi mereka masih melihat dapat membuat rumah diatas air, dan tak akan pergi kemana-mana dengan berjalan kaki, selagi masih dapat dicapai dengan perahu.”   
      Gambaran Alfred Wallace Russel tersebut merupakan suatu kenyataan buruk bagi Gemeente Palembang, yaitu suatu kendala saat Gemeente ingin membangun kota Palembang secara modern. Dalam laporan 25 tahun setelah Palembang menjadi Gemeente, yaitu suatu pemerintah kota yang otonom pada tahun 1906 adalah sebagai berikut: “Kesulitan untuk mendapatkan lahan pembangunan yang cocok dalam kota ini disebabkan, disatu fihak masih banyak rawa-rawa diantara tanah  yang lebih tinggi, dilain fihak ditanah yang tinggi yang baik itu dipenuhi oleh terutama tanah pekuburan. Generasi-generasi terdahulu memilih tempat tinggal ditanah-tanah rendah dekat air, dan menguburkan jenazah-jenazah mereka ditanah tinggi yang kering( italic oleh penulis)[10].
      Selanjutnya laporan pada tahun 1930 menggambarkan bahwa topografi Palembang sebagai suatu waterfront, kota yang menghadap keair dengan anak-anak sungai yang besar dan kecil memotong kedua tepiannya, sehingga membentuk kota laguna[11]. Banyaknya anak-anak sungai memberikan kota ini julukan yang lebih indah, sebagai Indisch Venetie. Gambaran  kota lebih lagi mempunyai cirinya yang jelas dengan banyaknya rumah-rumah dibangun diatas tiang-tiang kayu oleh karena permukaan tanah yang luas dari kota ini adalah rawa. Rumah-rumah ini satu dengan lainnya dihubungkan dengan jembatan layang yang sederhana dari kayu diatas tiang-tiang.
      Adanya pasang surut dan lebatnya hujan, menyebabkan permukaan air berbeda sangat besar. Perbedaan tingkat pada air pasang surut di musim hujan dengan musim kemarau kira-kira 3,8 meter. Pada saat air pasang banyak tanah tenggelam dibawah air, dimana “tambangan”(perahu) berkeliling dengan lincah disekitar kota, menimbulkan suatu pemandangan bagaikan lukisan. Sebaliknya pada saat air surut, tanah dan solok(anak sungai kecil) berubah, menjadi lumpur dan solok-solok lumpur, yang memberikan pemandangan yang tidak indah dan rakyat menamakannya “kota lumpur”.

Topografi Palembang .

      Telah digambarkan bahwa sejak zaman Sriwijaya sampai dengan zaman kolonial, yaitu pada saat Palembang menjadi Kotapraja(gemeente), keadaan topografinya tidak banyak perubahan. Bentuk kota yang memanjang sepanjang sungai Musi, mulai dari  persimpangan muara sungai Komering sampai dengan persimpangan muara sungai Ogan.
      Para arkeologis melihat Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, tidak melihat  peninggalan yang menggambarkan suatu kemegahan. Barangkali Palembang sebagai pusat Sriwijaya tidak sama dengan pusat-pusat kerajaan lain, yang banyak ditemukan diwilayah Asia Tenggara, seperti di Thailand, Kamboja dan Birma. Palembang diduga bersifat “mendesa”(rural). Bahan untuk membuat bangunan-bangunannya hanyalah bahan-bahan dari kayu atau bambu yang mudah didapat disekitarnya. Namun karena bahan itu merupakan bahan yang mudah rusak termakan zaman, maka sisa rumah tinggal sudah tidak dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa permukiman kayu hanya ditemukan didaerah rawa atau sungai yang selalu terendam air. Bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu hanya diperuntukkan bagi bangunan sakral(bangunan keagamaan)[12].
     

                             Kuto Gawang, keraton pertama


      Bangunan pada zaman Sriwijaya sudah rusak dan hilang, barangkali wajar saja, karena dimakan oleh waktu lebih dari seribu tahun. Akan tetapi bagaimana dengan nasib bangunan pada zaman Kesultanan Palembang pada awal dan pertengahannya, sedangkan peninggalan diakhir kesultanan Palembang (abad ke 19) nyaris hilang atau hancur tak terpelihara. Pada saat ini hanya Masjid Agung Palembang yang bernasib baik, karena telah direstorasi dan renovasi. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badarudin I(1724-1757).
      Keraton Palembang yang pertama kali dibangun oleh para priyai yang datang dari Jawa pada abad ke 16, tepatnya dari wilayah Jipang dalam lingkup kekuasaan kerajaan Demak. Para priyai ini adalah pengikut Aria Jipang, yaitu Pangeran Penangsang yang tewas dalam perebutan tahta Demak.  Dengan tewasnya Pangeran Penangsang, maka para pengikutnya melarikan diri dari wilayah Demak. Pimpinan para priyai yang hijrah ke Palembang ini adalah Ki Gede ing Sura. Dari nama dan gelarnya dapat diketahui setidaknya dia adalah seorang Sura[13], berarti: seorang gagah berani, bersifat kepahlawanan, laki-laki perkasa. Sedangkan gelar Ki Gede menurut H.J.de Graaf[14] :”Ki yang dipakai oleh pendahulu-pendahulu Senapati, yaitu Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis dan Kia Ageng Pemanahan, dan bukan raden , menunjukkan bahwa mereka itu berasal dari kalangan rendahan. Tetapi memang benar mereka itu merupakan pemuka-pemuka didaerahnya, terbukti mereka itu mempergunakan predikat ageng  atau gede dibelakang sebutan Ki.”

Peran dan fungsi keraton     


      Keraton pertama yang didirikan oleh Ki Gede ing Sura adalah Keraton Kuta Gawang, situsnya sekarang menjadi kompleks pabrik Pupuk Sriwijaya(PUSRI). Makamnya berada diluar Kuta Gawang, yang sekarang dikenal sebagai Makam Candi Gede ing Suro. Nama kerajaan yang didirikan adalah nama Palembang, suatu nama yang kharismatis dalam dunia Melayu. Legimitasi yang mereka bawa adalah dari kerajaan Demak, yang juga merupakan “pewaris” kerajaan Majapahit. Memperkuat diri mereka ditengah orang-orang Melayu di Palembang, selain melakukan perkawinan antar keluarga keraton dengan orang-orang besar Melayu, juga mereka mengadaptasi kebudayaan Melayu.
      Keraton yang menjadi inti ibukota secara kosmologis merupakan pusat kekuatan magis dari kerajaan itu[15]. Keraton Palembang adalah pusat dari Batanghari Sembilan, yang merupakan lambang kosmologi, yaitu adanya delapan penjuru mata angin, dimana penjuru kesembilan berada di Keraton Palembang[16]. Dengan demikian klaim Palembang atas daerah-daerah luarnya berada dibatas-batas Batanghari(sungai). Luas kerajaannya tergantung siapa yang yang menjadi rajanya. Batas kerajaan Palembang bisa besar dan bisa mengecil. Jika rajanya berpengaruh dan berdiplomasi tinggi, daerahnya akan meluas, demikian pula sebaliknya.
      Kerajaan Palembang membagi wilayahnya menjadi:
      Ibukota
      Sebagai pusat kosmos, pusat kebudayaan, pusat politik dan kekuasaan, pusat magis dan legimitasi. Wilayah ini sepenuhnya berada dibawah Sultan Palembang.
      Kepungutan
      Kepungutan adalah daerah yang langsung diperintah oleh Sultan. Menurut de Brauw[17]: “…dengan orang Kepungut, yang berarti “dipungut”(dilindungi), dimaksudkan adalah orang-orang pedalaman Palembang, yang langsung berada dibawah kekuasaan raja-raja, mereka dikenakan segala pajak. Berbeda dengan penduduk perbatasan, yang tidak dibebani dengan pelbagau macam pajak, dan hanya dianggap sekutu yang hanya dikenakan cukai.”
      Sindang.
      Diperbatasan wilayah Kepungutan terletak wilayah Sindang, yang merupakan wilayah paling ujung atau pinggir. Tugas Sindang adalah menjaga batas-batas kerajaan. Penduduknya tidak membayar pajak dan beban-beban lain dari Kesultanan Palembang. Mereka dianggap orang-orang merdeka dan teman dari Sultan. Mereka hanya punya suatu “kewajiban”(lebih bersifat adat), yaitu seba, setidaknya tiga tahun sekali ke Palembang. Menurut Du Bois[18]: “Tidaklah atas dasar kewajiban, akan tetapi oleh karena adanya adat dikalangan pribumi untuk saling kunjung mengunjungi dan menjadi kebiasaan, bahwa mereka juga tidaklah datang dengan tangan hampa.”
      Sikap
      Diantara kedua bentuk wilayah tersebut, terdapat wilayah sikap , suatu dusun atau kumpulan dusun yang dilepaskan dari marga, dibawahi langsung oleh pamong Sultan, yaitu jenang dan raban. Dusun-dusun ini terletak di muara-muara sungai yang strategis, dan mereka mempunyai tugas-tugas khusus untuk Sultan, umpamanya sebagai tukang kayuh perahu Sultan, tukang kayu, tukang pembawa air, prajurit dan pelbagai keahlian lainnya. Mereka dibebaskan dari pelbagai bentuk pajak. Tugas yang dilakukan oleh mereka adalah gawe raja.

Luas dan tempat kedudukan keraton.
      Keraton Kuta Gawang adalah sebuah keraton setidaknya telah berdiri 100 tahun, sebelum dibakar habis oleh VOC tahun 1659.  Kuta Gawang berbentuk empat persegi, dikelilingi kayu besi dan unglen 4 persegi dengan ketebalan 30 x 30 cm. Panjang dan lebar benteng ini berukuran 290 Rijnlandsche roede(1093 mter). Tinggi dinding temboknya adalah 24 kaki, atau kurang lebih 7,25 m[19]. Benteng ini menghadap ke sungai Musi, dengan pintu masuk melalui Sungai Rengas. Sedangkan kanan dan kiri benteng dibatasi oleh sungai Buah dan sungai Taligawe[20]. Benteng ini mempunyai 3 baluarti, dimana baluarti tengah terbuat dari batu. Orang-orang asing bermukim diseberang benteng di seberang ulu sungai Musi. Mereka adalah orang-orang Portugis, Belanda, Cina, Melayu, Arab, Campa, Melayu dan lainnya.
      Benteng ini mempunyai pertahanan berlapis dengan kubu-kubu yang terletak di pulau Kemaro, Plaju, Bagus Kuning dan Plaju. Disamping itu terdapat cerucuk yang memagari sungai Musi antara pulau Kemaro dan Plaju. Kuta Gawang merupakan kota yang dilindungi oleh Kuto(= pagar dinding tinggi), tipekal kota zaman madya.
      Pengetahuan kita tentang kota pada zaman Kuta Gawang ini amat sangat terbatas. Selain peta yang dibuat oleh Laksamana Joan van der Laen sebelum menyerbu Palembang 1659[21], juga sketsa tentang peperangan tahun 1659 di Kuta Gawang[22]. Tidak ada naskah Palembang yang menjelaskan tentang bentuk dan isi Kuta Gawang tersebut. Oleh karena Kuta Gawang tersebut sangat tertutup, maka para penulis Eropa hanya menganalisa dari peta dan sketsa Kuta Gawang tersebut. Yang ada hanyalah laporan tentang penyerbuan ke Kuta Gawang serta pembumi hangusan Kuta Gawang yang memakan waktu beberapa hari.
      Atas peristiwa ini, raja dan rakyat Palembang mengungsi keluar kota meninggalkan reruntuhan Kuta Gawang yang telah menjadi arang dan abu. Raja Palembang Seda ing Rejek mengungsi ke Sako Tiga(wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir) dan meninggal disana. Selanjutnya nasib Kuta Gawang setelah lebih dua ratus kemudian dilaporkan[23]:”…. suatu tempat dimana satu abad lalu( sebenarnya lebih dua abad lalu, pen.), telah berdiri kraton atau dalem  dari raja-raja Palembang waktu itu. Sedikit bekas bangunannya masih dapat dilihat, disana sini ada sepotong dinding ditumbuhi tumbuhan yang  memanjat dan bunga-bunga warna-warni yang biasa tumbuh dipadangan. Reruntuhan gerbang, dinaungi dan dilindungi dibawah beringin yang menarik, adalah segala-galanya sebagai sisa kenangan yang hidup, dari suatu tempat, dimana pernah ada suatu kerajaan, kemegahan dan perlakuan despotisme. Didekatnya atau sekitar reruntuhan berdiri suatu pendopo yang indah, pada saat musim kemarau kepala-kepala(pejabat) bangsa Melayu yang bertugas, ambtenar-ambtenar dan perwira-perwira bangsa Eropa berkumpul, untuk melatih diri dalam menembak dengan mengunakan senapan dan yang serupanya(buks). Tempat ini diperkaya oleh alam dengan pohon-pohonan, flora dan fauna memberikan banyak manfaat. Gerombolan monyet bergelantungan dari satu pohon ke lain pohon, dari ranting kelain ranting, bahkan suara tembakan senapan tidak memaksa  mereka meninggalkan tempat itu, karena banyaknya buah-buahan dan bunga-bunga-bunga yang tersedia.”
      Pada tahun 1960-an tempat ini kemudian dibuka untuk pendirian fabrik pupuk, yaitu Pupuk Sriwijaya. Pada waktu penggalian untuk konstruksi fabrik banyak sekali terdapat balok-balok kayu bekas dinding kuto, juga temuan lainnya. Akan tetapi pada waktu itu kita belum memperdulikan masalah “kesejarahan”, temuan-temuan tersebut tidak menjadi perhatian.

Inilah kota Palembang pada 1659 dibuat oleh Laksamana J.van der Laen. Peta ini dibuat sebelumPalembang dihancurkan oleh VOC pada tahun 1659.


Palembang diserang, dihancurkan dan kemudian dibakar oleh VOC pada tahun 1659.



Kuta Tengkuruk(Kuta Batu/Kuta Lama).

      Perkembangan kota Palembang pada masa Sultan Mahmud Badaruddin I mengalami kemajuan dan juga modernisasi. Dia adalah tokoh kontroversial, seorang tokoh pembangunan yang modern, realistis dan pragmatis, tapi juga seorang petualang yang kompromistis.  Dia adalah tokoh utama dalam pembangunan Palembang, baik dibidang ekonomi, politik maupun tatanan sosial. Dia membangun pengairan sepanjang sungai Mesuji, Ogan, Komering dan Musi, bukan saja untuk pertanian, melainkan sekaligus juga untuk jalan pertahanan.
      Tiga buah bangunan monumental dididirikannya, dengan visi, arsitektur dan fungsi yang berlainan satu sama lain. Prioritas utama dalam pembangunan itu adalah makam yang berbentuk kubah untuk dirinya dan keluarganya. Makam ini dibangunnya tahun 1728 diatas perbukitan dipinggir Sungai Musi. Tempat itu bernama Lemabang. Nama ini dapat diindikasikan kalau perbukitan itu memang suatu tempat tanah yang tinggi atau ditinggikan. Untuk mencapai makamnya dari sungai Musi kita harus melewati beberapa gapura dan pagar yang pintunya melengkung ditopang tiang-tiang gaya Eropa. Dari tempat peristirahatan terakhirnya itu, seolah-olah Sultan masih ingin tetap mengawasi kehidupan perkembangan dan perkembangan rakyat dikota Palembang. Bangunan ini adalah bangunan berkubah yang pertama dibangun. Kubah merupakan ciri aristek Islam. Makam Lemabang adalah makam Kesultanan Palembang yang terbesar dan jenasah yang berkubur juga mulai Mahmud Badaruddin I, putra-putranya termasuk Sultan Ahmad Najamudin I(1754-1774) dan cucu Badarudin I yaitu Mohamad Bahaudin(1774-1803).
      Pada tahun 1737 dibangun pula keraton yang berada ditepi sungai Tengkuruk, dikenal sebagai keraton Tengkuruk atau Kuta Batu. Kuta ini mempunyai 4 baluwarti(bastion), panjang dan lebarnya adalah 164 m[24].  Kuta ini terletak diatas “pulau” yang dikelilingi oleh: depannya sungai Musi, dibelakangnya sungai Kapuran, disamping sebelah hulu adalah sungai Sekanak dan sebelah hilir sungai Tengkuruk. Kuta ini merupakan keratin ketiga dari Kesultanan Palembang.
      Masjid Agung didirikan diatas “pulau” yang sama, berada di utara dari Kuta Tengkuruk, dengan posisi disudut sungai Tengkuruk dan sungai Kapuran. Nama sungai Tengkuruk ini menerbitkan spekulasi, apakah asal kata: Teng atau Te menunjukkan keadaan yang di “urug”. Dalam hal ini arti “urug” menurut bahasa Jawa Kuno[25] adalah timbun, artinya sungai itu digali untuk di”urug” ke lahan yang dibangun untuk Keraton ataupun Masjid. Kelihatan sekali pada saat ini lantai Masjid tingginya lebih dari 1,50 m dari lantai pekarangan. Kemungkinan pada awalnya keadaan lantai masjid ini lebih tinggi lagi. Sedangkan menurut bahasa Kawi, “urug” artinya asri atau indah. Pengertian ini mungkin saja dapat diterima, karena sepanjang sungai tersebut terdapat dua bangunan monumental, yaitu Keraton dan Masjid.
      Masjid ini dibangun pertama kali tahun 1738 dan rampung setelah tahun 1748. Sebuah bangunan sangat monumental pada zaman itu, membuat kekaguman orang Eropa, antara lain adalah Dr. Otto Mohnike seorang Jerman yang berkunjung ke Palembang tahun 1874, menyatakan  sie ist eine der grossen und  schonsten in  Niederlandisch-Indien(sebuah masjid terbesar dan terindah di Hindia Belanda)[26]



Masjid Agung Palembang setelah direstorasi nampak jelas
bentuk asli, yaitu bentuk sewaktu dibangun pada tahun 1738
                       


Kuto Baru atau Kuto Besak

      Setelah masa Sultan Mahmud Badarudin I, Kesultanan Palembang Darusalam terus berkembang pesat. Ekonomi Palembang, terutama dalam perdagangan hasil bumi(lada dan hasil hutannya) dan timah memberikan masukan kepada pasar Nusantara, Eropa dan Cina. Dalam keadaan ekonomi yang baik tersebut, perkembangan siyar agama Islam terus meningkat. Bahkan Palembang menjadi Pusat sastra Islam di Nusantara setelah Aceh mengalami kemunduran diabad ke 17. Nama-nama besar para ulama dari Palembang sangat dikenal di Nusantara, antara lain Abdul.Somad al Palimbani, Syihabudin bin Abdallah Muhamad, Kemas Fachrudin, Muhamad Muhyiddin bin Syaikh Syihabudin[27].
     













Kuto Besak pada saat dikuasai Inggris pada tahun 1812.











Kekayaan dan kejayaan Keraton Palembang saat itu membuat kekaguman tokoh-tokoh Eropa antara lain Thomas Raffles sendiri menyatakan kepada atasannya Lord Minto dalam suratnya tanggal 15 Desember 1810, bahwa:
“ Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dolar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya[28].
      Dengan kekayaannya ini maka Sultan Muhamad Bahaudin sanggup mengeluarkan uangnya sendiri dari koceknya seperti yang ditulis oleh pelapor Belanda[29]  untuk membangunan sebuah Kuto yang baru, yang kemudian dikenal sebagai Kuto Besak.  Kedua nama tersebut yaitu Kuto Baru dan Kuto Besak adalah sebagai pandanan terhadap bangunan Kuto yang dibangun oleh Mahmud Badaruddin I, yang dianggap sebagai Kuto Lama dan Kuto Kecik. Fihak Belanda menyebut kedua kraton ini sebagai de nieuwe kraton dan de oude kraton.
      Ukuran dan luas serta isi keraton ini ditulis oleh I.J.Sevenhoven[30] seorang Komisaris Belanda di palembang th 1821.:” Kuto Besak berukuran lebar 77 dan panjang 49 roede(Amsterdam roede = kurang lebih 3,75 m, atau panjangnya ialah 288,75 m. dan lebarnya 183,75 m), dengan keliling tembok yang kuat dan tingginya 30 kaki serta lebarnya 6 atau 7 kaki. Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion(baluarti). Didalam masih ada tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang kuat, sehingga dapat dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama dapat didobrak.”
      Komentar orang-orang Eropa pada waktu itu yang mekagumi Benteng Kuto Besak, antara lain ambtenar Belanda J.A.van Rijn van Alkemede[31]: “Benteng ini adalah salah satu yang terbesar di Kepulauan Hindia(maksudnya Indonesia sekarang, pen) dan tidak dapat dikalahkan oleh musuh dari pedalaman."  Kemudian Mayor M.H.Court, Residen Inggris untuk Palembang, kemudian menjadi Residen dan Komandan di Bangka, menyatakan: “ Kraton Sultan adalah bangunan yang sangat indah(magnificient structure) dibuat dari bata serta dikelilingi oleh dinding yang kuat Tempat tinggal para pemimpinnya sangat luas dan nyaman, meskipun demikian tidak ada menunjukkan kemewahan.”[32].
      Atas komentar-komentar tersebut Sultan Mohamad Bahaudin boleh berbangga hati, dan lebih lagi dia boleh berbangga, karena puteranya Sultan Mahmud Badarudin II membuktikan ketangguhan benteng tersebut pada waktu Perang Palembang I dan II ditahun 1819. Pada perang tersebut peluru-peluru korvet Belanda tidak dapat menggetarkan dinding-dinding Kuto Besak. Dua kali serangan di lakukan pada tahun 1819, membuat armada Belanda frustrasi dan mengundurkan diri ke Batavia. Peristiwa ini ditulis dalam suatu syair yang indah yaitu Syair Perang Palembang atau lebih populer dengan sebutan Syair Perang Menteng.
      Terhadap suatu serbuan yang berkelebihan(overmacht) dari fihak Belanda, dimana ratusan kapal perang dan 5.000 pasukan terlatih baik, yang sebagian didatangkan dari Eropa, maka pada tahun 1821 Kuta Besak dapat ditaklukan oleh Belanda. Pada tahun 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan dalam peta Nusantara. Kuta Besak dijadikan markas tentara Belanda. Sedangkan Kuta Lama(Kuta Tengkuruk) pada tahun 1825 dibongkar dan bahan-bahan bangunannya dibuat bangunan rumah Komisaris Belanda.
      Atas pendudukan Kuta Besak dan penghancuran Kuta Lama, maka konsentrasi kota berada diwilayah ini. Pasar dan kantor-kantor berdiri dilingkungan Kuta Besak, bahkan perahu-perahu pun menjadikannya tempat berlabuh yang ideal.

                                  

                                 Keraton Beringin Janggut


      Jikalau situs ataupun tapakan keraton Palembang yang pertama jelas tempatnya, bahkan petanya ada; demikian pula keraton terakhir Kesultanan Palembang masih wujud keberadaannya. Menjadi pertanyaan dimana situs atau tapakan Keraton Kedua, yaitu Keraton Sultan Abdurahman berada?
      Catatan dari keraton Palembang tidak diketemukan sama sekali mengenai letak keraton tersebut. Laporan dari fihak kolonial mungkin juga, belum sempat kita gali dan bongkar. Akan tetapi dengan tulisan yang dibuat oleh J.W.J.Wellan tentang dimana keraton tersebut, membuat kita juga pesimis untuk menemukannya. Mengapa demikian? Jawabannya mari kita simak apa yang ditulis oleh J.W.J.Wellan[33] dalam upaya dia mencari tapak kawasan Masjid Lama:  Eertijds meende ik, dat het centrum van de nieuwe stad Palembang, in 1662, waarschijnlijk gezocht moest worden achter de Kampong Soero, in de buurt van de tegenwoordige politiekazerne, maar derde brief, thans van den Opperkoopman te Palembang, Nicolaus Jan de Beveren, gedagteekend 22 Juli 1721, heeft mijn vermoeden aan het wankelen gebracht.( Dahulu saya mengira, bahwa pusat dari kota Palembang yang baru, dalam tahun 1662, mungkin harus dicari dibelakang kampung Suro, disekitar asrama polisi yang sekarang, tetapi surat ketiga dari Pedagang Kepala di Palembang, Nicolaus Jan de Beveren, tertanggal 22 Juli 1721, membuat perkiraan saya menjadi goyang).
      Kenapa pernyataan J.W.J.Wellan tersebut mempengaruhi saya, karena Tuan Wellan adalah seorang Archivaris(ahli arsip) dari Zuid Sumatra-Institut. Dimana dia menerbitkan bibliografi tentang Zuid Sumatra(Sumatra Selatan termasuk Jambi, Bengkulu dan Lampung) yang berjudul Zuid Sumatra overzicht van de literatur der gewesten Bengkoelen, Djambi, De Lampongsche Districten en Palembang terdiri dari dua jilid dicetak di s’Gravenhage – Holland pada tahun 1923 dan 1930. Isinya terdiri ribuan judul buku-buku yang diterbitkan mengenai Zuid Sumatra, buletin,  majalah, surat-surat resmi dan Dagh Register sejak tahun 1624, peta-peta, photo-photo, gambar serta segala sesuatu mengenai Zuid Sumatra. Dengan modal yang ada padanya sebagai seorang archivaris dia menerbitkan beberapa buku, makalah dan tulisa-tulisan lainnya, baik tentang sejarah, sosial, ekonomi dan politik. Sayangnya dia tidak menulis mengenai Keraton Sultan Abdulrahman !
      Artinya kita  harus mencoba menyusun dari segala serpihan tulisan yang ada tentang Palembang dizaman Sultan Abdulrahman, cerita tutur yang ada, dan kenyataan tentang adanya situs serta toponimi yang masih wujud di Palembang pada saat ini.

Menghimpun catatan sejarah tentang masa Sultan Abdurahman.
      Catatan sejarah tentang tokoh ini mencukupi, baik dari arsip kolonial maupun naskah tulisan tangan dari para priyai Palembang. Beliau adalah seorang Sultan yang amat dikenal terutama di daerah pedalaman dan dihormati oleh Belanda. Bagi raja-raja di Jawa, baik di Banten dan Mataram, nama Sultan ini sangat disegani. Akibat semua ini menjadikan  dia sebagai suatu mitos orang hebat. Bahkan dalam catatan keraton Surakarta abad ke 19 beliau dianggap sebagai “king with magic power[34]. Pernyataan itu dituliskan sebagai: Stories spoke of Sultan Cinde Balang’s special qualities, his powers of meditation, his gift of second sight, his prowess in war; “people say that he gained the love and respect of his subjects, that he was mild tempered, wise and fair, and that under him the land blossomed and prospered.”
      Sultan Abdulrahman adalah seorang tokoh yang menyelamatkan Kesultanan Palembang, yaitu setelah kejatuhan Palembang oleh serangan VOC 1659, karena pada saat itu terjadilah semacam perebutan pengaruh untuk menjadi penerus tampuk Kesultanan Palembang. Ternyata dia dapat diterima oleh segala fihak, termasuk Jambi dan VOC. Dalam melanjutkan kepemimpinan Palembang setelah kehancuran keraton Kuta Gawang, ekonomi dan politik, maka Abdulrahman memindahkan keratonnya. Inilah pertanyaannya kemana pindahnya dan dimana letak keraton tersebut.
      Untuk itu mari kita kumpulkan “data”, atau bahan-bahan yang ada sebagai berikut:

1.     Menurut cerita tutur Keraton Palembang setelah terbakar pada tahun 1659 pindah disekitar wilayah Beringin Janggut sekarang ini.
2.     Barbara Watson Andaya, seorang sejarahwan dari Amerika menuliskan dalam bukunya[35] sebagai berikut: For its part, the VOC’s expectation of a lasting economically rewarding future in Palembang is attested by the gradual expansion of its lodge, situated on the Aor River opposite royal palace.
3.     Disebutkannya loji VOC berseberangan dengan istana, adalah suatu kesepakatan antara raja Palembang dengan VOC[36], bahwa VOC dapat mendirikan loji diseberang istana. Untuk ukuran besar loji, personalia serta persenjataannya, serta syarat-syarat lainnya juga telah ditetapkan. Di  Kuta Gawang belum sempat didirikan loji, baru berupa rakit dan kapal-kapal. Pelaksanaan pendirian loji sebenarnya baru pada tahun 1662. Pembangunan loji ini bersifat bertahap dan tempatnya adalah di sungai Aur, berhadapan dengan keraton Sultan. Menurut naskah Palembang[37], pada masa awal pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin I(1756-1774), VOC meminta kepada Sultan untuk membangun lojinya dari batu, karena selama ini hanya terbuat dari kayu dan bambu.
4.     Bagaimana gambaran loji di sungai Aur dituliskan oleh J.S.Gramberg[38]:”Benteng  dengan gerbang induk yang menghadap ke sungai Musi, membuat penampilannya mengesankan. Berbentuk  persegi empat, terdiri dari dinding batu-batu besar dengan panjang dan lebar kurang lebih 450 kaki(kira-kira 140 m), sehingga mempunyai luas 1400 roede persegi(kira-kira 19.600 m). Didalamnya terdapat gudang persenjataan, gudang untuk barang dagangan, barak rumah sakit serta rumah-rumah untuk pegawai. Dari lubang-lubang tembak mencuat 8 moncong meriam besar, melongok keluar mengancam.”
5.     Jikalau ukuran dan bentuk loji sekitar 2 ha, maka setidaknya Keraton Sultan Abdurahman akan sama ukurannya atau bahkan lebih besar. Posisi atau letaknya akan berhadapan dengan loji Sungai Aur, maka keraton itu sekitar Pasar 16 ilir – Jalan Pasar Baru. Kalau disekitar tersebut adalah keratonnya, maka masjidnya terletak disebelah utaranya, kira-kira di Jalan Masjid Lama sekarang ini. Letak masjid ini tidak terlalu jauh dengan sungai Tengkuruk, seperti letak Masjid Agung. Masjid ini dibangun sekitar tahun 1663. Tahun pendirian masjid ini berdasarkan laporan dari Opperkoopman(Pedagang Kepala) Jonathan Claessen dengan suratnya tanggal 30 Juni 1663 ke Batavia[39]. Menurut dia dalam “usahanya membangun loji di Sungai Aur, dia tidak kebagian tenaga kerja, karena diserap untuk pembangunan masjid”. Dapat pula ketiga bangunan itu dibangun secara bersamaan, sehingga sulit memperoleh tenaga kerja dan bahan bangunan.
6.     Mari kita mencoba membaca beberapa peta tua baik dari fihak Inggris maupun fihak Belanda.
A.    Peta tertua adalah yang dibuat oleh Mayor William Thorn sewaktu    meyerbu Palembang th 1811,  judulnya: Sketch of the Palaces, Forts and Batteries of Palembang.
B.     Peta koleksi KITLV dengan no.H.54.1595 sebuah peta yang digambar dengan pensil: Plattegrond van de hoofdplaats Palembang in 1823,
C.    Peta yang dibuat oleh C.F.Stemler, Amsterdam 1877 berjudul  Platte grond van Palembang
D.    Peta no E 38 dibuat tahun 1819 berjudul Platte grond van Stad Palembang.
Dua peta yaitu peta B dan peta D sangat informatif, karena ada petunjuk mengenai yang diperkirakan tapakan keraton Sultan Abdulrahman, berada juga diatas “pulau”, yaitu yang dibatasi oleh sungai Musi, Sungai Tengkuruk disebelah barat, disebelah timur adalah sungai Rendang/Karang Waru, sedangkan disebelah utara adalah sungai Penedan. Sungai Penedan ini adalah terusan yang menghubungkan Sungai Kemenduran, sungai Kapuran dan sungai Kebun Duku(ketiganya bertemu kira-kira dipersimpangan Jalan Rustam Effendi dan Jalan Sudirman sekarang). Keadan sungai Penedan sejajar dengan jalan Rustam Effendi memotong jalan Sayangan dan Terusan terus ke Sungai Rendang.
Ada indikasi yang jelas digambarkan oleh kedua peta tersebut, yaitu adanya jalan melingkar, kalau digambarkan pada sekarang yaitu dari persimpangan Airmancur – Jalan Masjid Lama melingkar ke jalan Sayangan kembali ke jalan Sudirman melalui jalan Rustam Effendi. Jalan itu adalah satu-satunya jalan dibahagian Palembang timur dan berada di “pulau” katakanlah pulau “beringin janggut”.
    Peta D tersebut menuliskan jalan itu sebagai oude kassei, yang saya     harapkan tertulis oude kasteel(=istana benteng). Namun biarpun begitu dengan oude kassei(=jalan lama, jalan bebatuan lama) sudah mengindikasikan bahwa setidaknya jalan itu melingkari bekas bangunan besar atau bisa saja merupakan tapakan fondasi bangunan.
7.     Marilah kita inventaris toponimi yang masih ada disekitar wilayah tersebut: Sayangan – Kepandean – Pelengan – Kuningan. Toponimi ini menggambarkan suatu latar belakang sejarah, dimana Palembang pada zaman Kesultanan mempunyai lembaga sosial yang disebut “gugu”(guguk – yang dipatuhi).  Guguk suatu  institusi sosial dalam masyarakat feodal, dimana seorang pangeran memperoleh anugerah tanah dari Sultan untuk berproduksi. Pangeran sebagai tokoh guguk mempunyai lingkungan masyarakat yang terdiri dari keluarga, alingan(orang-orang dilindungi, biasanya dari strata miji atau senan, yaitu orang-orang yang merdeka, bukan budak, akan tetapi tidak punya kemampuan ekonomis, hanya mempunyai tenaga dan kepandaian). Institusi guguk ini dapat menghasilkan barang yang bernilai ekonomis, seperti guguk:
              Sayangan     -  pandai atau pengrajin tembaga.
              Kepandean   -  tempat pandai besi.
              Pelengan      -  tempat pengrajin membuat minyak.
              Kuningan     -  tempat perajinan kuningan
              Pelampitan   -  perajin pembuat lampit/tikar
              Rendang       -  pembakaran.
     Disamping nama-nama tempat berdasarkan keahlian dan kerajinan, juga   ada nama jabatan seorang pejabat tinggi:
              Kebumen    -   tempat Mangkubumi
              Kedipan      -   tempat Adipati
              Ketandan    -   tempat Tandha, kepala perbendaharaan Kesultanan.
     Ada pula kedudukan etnis:
              Kebalen      -    tempat orang Bali
              Kebangkan  -   tempat orang Bangka.
     Nama-nama tempat yang menunjukkan fungsinya adalah:
              Segaran       -   nama ini adalah nama yang tua sekali, seperti   terda-                 
                                   pat di Trowulan(zaman Majapahit).  Segaran adalah
                                   kolam besar bagaikan “segara”(laut)untuk    tempat
                                   menyegarkan diri.
           Penedan  -       tempat yang terpelihara atau tempat indah.
           Karang Waru – kumpulan pohon-pohon.
           Terusan    -      saluran, kanal.
                Beringin  Janggut – Pohon ini biasanya menjadi lambang keraton.












Sketsa situs Keraton Beringin Janggut. Keraton itu diperkirakan terletak diantara Sungai Tengkuruk, Sungai Musi, Sungai Penedan Sungai Karang Waru/s.Rendang.


Perkembangan kebudayaan dan politik pada setiap keraton


         Setiap Raja  atau Sultan mempunyai pandangan politiknya sendiri, dimana dia hidup dalam suasana perkembangan sosial budaya dan ekonomi yang harus dia jawab atas segala tantangan yang dihadapinya. Oleh karena itu Raja/Sultan serta lingkungannya yaitu elite yang berada dikeraton, mempunyai sikap tersendiri atas perkembangan kerajaannya. Meskipun sebagai Raja/Sultan dia mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, namun negosiasi dengan pendukungnya termasuk rakyatnya tetap dilakukannya.
         Apalagi sebagai Raja/Sultan dia hanya mendapat jaminan dari rakyat bentuk setia dan bakti, sepanjang Raja/Sultan memberi jaminan pula kepada rakyatnya atas hidup yang tenteram. Oleh karena itu sangat menarik disimak bahwa disetiap keraton terjadi banyak perbedaan atas sikap, kebijakan dan produk budaya dan politik yang dihasilkan.
         Buku yang akan diterbitkan ini akan menggambarkan masalah-masalah ini. Barangkali inilah buku yang pertama secara thematik membahas tentang produk-produk budaya setiap keraton Palembang.


Palembang, 27 Maret 2005


[1] R.J.Wilkinson  A Malay-English Dictionary Mac Millan & Co Ltd, London 1955. Hal.674.
[2] Dr.T.Iskandar  Kamus Dewan  Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia 1986. Hal 678-679.
[3] Judul lain dari buku tersebut adalah  Bijdrage tot de kennis en rigtige beoordeeling van den zedelijken, maatschapplijken en staatkundigen toestand van het Palembangsche gebied  terbit tahun 1855 oleh J.Oomkens J.Zoon, Groningen.(hal.8)
[4] Boechari sebagai seorang epigrafi kenamaan menulis dan menganalisa kembali dari hasil tafisr Coedes(1930), de Casparis(1956) dan Damais(1952, 1955) dalam tulisannya “hari Jadi Kota Palembang Berdasarkan Prasati Kedukan Bukit” dalam  Sriwijaya dalam perspektif arkeologi dan sejarah, Pemda Tk. I Sumsel 1993.
[5] Abu Zaid Hasan,  Voyage du marchand arabe Sulayman en Inde et en Chine, redige en 851, suivi de remarques par Abu Zayd Hasan(vers 916), alih bahasa G.Ferrand dalam T.VII des Clasique de l’Orient,  Paris 1922. Hal.95.
[6] L.C.Westenenk,  Boekit Segoentang en Goenoeng Mahameroe uit de Sedjarah Melayoe  dalam TBG th 1923. Hal.223.
[7] Friedrich Hirth & W.W.Rockhill ed. Chau Ju-kua: His work on the Chinese and Arab Trade in the 12th & 13th centuries, entitled Chu-fan-chi Oriental Press, Amsterdam, 1966. Hal.60-67.
[8] Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan “The Overall Survey of the Ocean’s Shores” (1433) terjemahan dari bahasa Cina oleh Feng Ch’eng-chun, introduksi catatan dan appendiks oleh JVG.Mills, University Press, Cambridge, 1970. Hal.98-102.
[9]Alfred Wallace Russel  The Malay Archipelago Dover Publ. New York, 1962. Hal.94.

[10] 25 jaren Decentralisatie Nederlandsch-Indie 1905-1930  diterbitkan oleh Decentralisastie Kantoor, Batavia – 1930. Hal.335-347.
[11] Pada tahun 1990 menurut Kantor Statistik Kotamadya Palembang, masih tercatat 117 nama anak-anak sungai di Palembang. Karena bentuk laguna bagaikan pulau-pulau, maka Palembang juga dijuluki sebagai de Stad der Twintig Eilanden (Kota duapuluh pulau).
[12] “Sriwijaya dan Informasi Arkeologis dari Kota Palembang” oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam  Sriwijaya dalam perspektif arkeologi dan sejarah  Pemda Tk.I Sumsel 1993.
[13] Menurut P.J.Zoetmulder & S.O.Robson dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia 2 Gramedia Pustaka  Utama Jakarta 1995 Hal. 1153.
[14] H.J.de Graaf dalam  Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde no CIX, 1952. Hal. 73.
[15] Heine Geldern, R  “Conception of State and Kingshp in Southeast Asia”  The Far Eastern Quarterly Vol.2 November 1942. Hal.3
[16] Sembilan kategori merupakan suatu sistim yang dipakai didaerah Jawa pesisir(terutama di Demak), antara lain konsep Wali Songo. Lihat Koentjaraningrat  Kebudayaan Jawa  Balai Pustaka, Jakarta 1984. Hal. 433-434.
[17] A. de Brauw “Iets betreffende de verhouding der Pasemahlanden tot de Sultan van Palembang” dalam TBG IV no.1, 1855. Hal. 519
[18] A.Du Bois “De Lampongers”  TNI II, 1856 . Hal. 41.
[19] Mac Leod  Indische Gids – 26-ste Jrg.I. 1904. Hal.803-804.
[20] J.W.J.Wellan “Heeft de Gemeente Palembang recht haar wapenschild te dekken met een stedekroon”. Kol. Tijdschr. 24e jrg, 1934. Hal. 19.
[21] Peta no.1138 koleksi Rijksarchief te-‘s-Gravenhage ukuran aslinya 73,5 x 53 cm.
[22] Lihat buku Johan Nieuhof’ Voyages & Travels to the East Indies 1653-1670  terjemahan dari buku asli Gedenkwaerdige Zee en Lantreize door de voornaemste landschappen van West en Oost Indien, Amsterdam 1682.
[23] Tijdschrift voor Nederland’s Indie, 8ste Jaargang, derde deel, 1846. Hal.285.
[24] J.S.Gramberg  Palembang: Historisch-Romantische Schets uit de Gesechiedenis van Sumatra – Batavia/Haarlem, 1878. Hl. 96.
[25] C.F.Winter Sr & R.Ng.Ranggawarsita   Kamus Kawi – Jawa  Gadjah Mada University Press  Yogya, 1990 dan  S.Prawiroatmodjo  Bausastra Jawa – Indonesia cet. Ke 3. Gunung Agung Jakarta 1985.
[26] Djohan Hanafiah  Masjid Agung Palembang, sejarah dan masa depannya  Masagung, Jakarta  1988. Hal.24
[27] G.W.J.Drewes  Directions for travellers on the mystic path  Martinus Nijhoff, The Hague 1977.
[28] C.E.Wutzburg   Raffles of the Eastern Isles, London 1954. Hal 118.
[29] UBL Cod.Or 2276 c – fo.16.
[30] I.J.van Sevenhoven  Lukisan tentang Ibukota Palembang(terjemahan), Bhratara, Jakarta 1971.Hal. 14.
[31] J.A.van Rijn van Alkemede   De Hoofdplaats Palembang  dalam TAG VII/1883. Hal.51-69 pada catatan kaki 3.
[32] M.H.Court  An Exposition of the Relations of the British Government with the Sultaun and State of Palembang and the Designs of the Neth.Govt. upon that country – London 1821. Hal 104.
[33] J.W.J.Wellan  “Bijdrage tot de Geschiedenis van de Masdjid Lama te Palembang” dalam  Cultureel Indie
eerste jaargang E.J.Brill, Leiden 1939. Hal 309.
[34] Nancy Florida  “Writing the Past, Inscribing the Future: Exile and Prophecy in an Historical Text of Nineteenth Century Java”, 2 vols, Ph.D dissertation, Cornel University, 1990. Hal.327.
[35] Barbara Watson Andaya  To Live as Brothers, Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth Centuries University of Hawaii Opress, Honolulu, 1993. Hal.115.
[36] Mengenai perjanjian ini yang disebut sebagai kontrak, terhimpun dalam Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum dihimpun oleh Mr.J.E.Heeres diterbitkan oleh KITLV 1931.
[37] Teks de Bibkiotheek van de Rijksuniversiteit te Leiden no.7 dalam  buku M.O.Woelders  Het Sultanaat Palembang 1811-1825 Martinus Nijhoff, s’Gravenhage Nijhoff 1975. Hal.82.
[38] J.S.Gramberg   op.cit. Hal.144-145.



[39] Brieven, enz aan den Gouverneur-General, enz geschreven in de jaren 1662 en 1663 over gekomen. Tweede boek, 1664, BBBB.Kol.Archief no.1133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar