Senin, 23 Mei 2016

PERADABAN INDONESIA KUNA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI



PERADABAN  INDONESIA KUNA
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI

Nurhadi Rangkuti
(Balai Arkeologi Palembang)


1. Pendahuluan

Tumbuhnya peradaban di wilayah Sumatera Selatan, erat kaitannya dengan peranan sebuah sungai besar, yaitu Sungai Musi yang bermuara di Selat Bangka. Selat Bangka dan juga Selat Malaka telah dikenal sebagai jalur perdagangan internasional sejak awal Masehi (Wolters 1974 dalam Budisantosa 2002).

Sungai Musi menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir timur Sumatera. Daerah aliran Sungai (DAS) Musi meliputi Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Batanghari Leko, Sungai Rawas,  dengan anak sungai-anak sungainya. Pada DAS Musi banyak ditemukan situs-situs arkeologi yang memiliki karakteristik budaya Hindu-Buddha, seperti sisa-sisa bangunan candi, arca-arca dewa Hindu, arca-arca Buddha dan temuan prasasti-prasasti berhuruf Pallawa dan bahasa Sansekerta serta Melayu Kuna.

Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa di DAS Musi telah berkembang peradaban masa Indonesia Kuna. Masa Indonesia Kuna dikenal pula dengan istilah masa “Klasik” atau masa “Hindu-Buddha” yang meliputi masa sejak berdirinya Kerajaan Hindu pertama di Kutai Kalimantan Timur sampai berakhirnya Kerajaan Majapahit di nusantara yang meliputi rentang waktu 10 abad (abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi).

Peradaban Indonesia Kuna di DAS Musi ditandai dengan adanya arsitektur publik yang monumental (candi, kanal, kolam), artefak-artefak komoditi perdagangan internasional, peraturan dan hukum secara tertulis, spesialisasi kerja dan hirarki masyarakat yang diketahui dari isi prasasti. Dengan mengamati luas wilayah persebaran dan banyaknya situs arkeologis, menggambarkan adanya pusat peradaban yang berciri urban di tepi Sungai Musi, dan tempat-tempat upacara keagamaan serta permukiman lainnya di luar pusat, yaitu pada cabang-cabang sungai Musi.

Pusat peradaban di tepi Sungai Musi dikenal juga dengan nama Kerajaan Sriwijaya, sebuah nama yang diabadikan dalam prasasti-prasasti dari abad ke-7 Masehi. Palembang yang terletak di tepi Sungai Musi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan yang berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi.

Prasasti Kedukan Bukit memberitakan bahwa pada 16 Juni tahun 682 Masehi, Dapunta Hyang (raja Sriwijaya) mendirikan wanua, setelah melakukan perjalanan dari Minanga menuju Mukha Upang membawa tentara sebanyak 20.000 orang dengan perbekalan 200 peti naik perahu, sedangkan yang berjalan kaki 1312 tentara. Boechari (1993) berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya mula-mula ada di Minanga, kemudian pada tanggal 16 Juni 682 Dapunta Hyang mendirikan sebuah ibukota baru di Palembang untuk dijadikan pusat kerajaan yang baru. Peristiwa pendirian wanua oleh Dapunta Hyang merupakan awal pembangunan kota, yang sekurang-kurangnya terdiri atas istana raja, rumah para pejabat kerajaan dan peribadatan (Boechari 1993).

2. Situs-Situs Pra-Sriwijaya

Di wilayah pantai timur Sumatera Selatan, terdapat situs-situs arkeologi yang diperkirakan berasal dari masa pra-Sriwijaya dan berlanjut hingga masa Sriwijaya. Situs-situs itu antara lain Air Sugihan di Kabupaten Banyuasin dan Situs Karangagung Tengah di Kabupaten Musi Banyuasin.

Situs Air Sugihan

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional telah menemukan sebuah guci keramik Cina dari Dinasti Sui (abad ke-6 – 7 Masehi) di Situs Air Sugihan. Bersama dengan artefak tersebut ditemukan pula manik kaca Indo-Pasifik dan manik kaca emas serta manik batu karnelian (Budisantosa    ). Manik-manik kaca tersebut berasal dari Mesir atau Asia Barat abad ke 4 – 11 Masehi dan diduga barang impor.

Situs Karangagung Tengah

Situs ini terletak di Kecamatan Sungai Lalan (sebelumnya Kec. Buyung Lincir), Kabupaten Musi Banyuasin. Lokasi  situs terletak di DAS Banyuasin, yang bermuara di Selat Bangka, seperti halnya Sungai Musi. Sungai Lalan yang merupakan cabang Sungai Banyuasin merupakan akses utama menuju lokasi permukiman kuna itu.

Serangkaian penelitian di Situs Karangagung Tengah sejak tahun 2000 sampai 2005 oleh Balai Arkeologi Palembang, memberikan gambaran bahwa situs-situs ini bekas permukiman kuna di daerah aliran Sungai Lalan, tepatnya di daerah rawa pasang surut (tidal swamp). Jenis-jenis tinggalan arkeologis yang ditemukan adalah tiang rumah kayu, kemudi perahu, wadah tembikar, pelandas (anvil), bata, manik-manik, anting, gelang kaca, batu asah, tulang, gigi dan tempurung kelapa. Penduduk sekitar banyak menemukan tinggalan-tinggalan lainnya seperti gelang batu, cincin emas, anting emas, dan liontin perunggu (Budisantosa 2002).

Analisis laboratorium terhadap dua potong sampel tiang rumah kayu dari Situs Karangagung Tengah berumur 1624 – 1629 BP, kira-kira sama dengan tahun 373 – 376 Masehi  atau pada masa pra-Sriwijaya (Soeroso MP 2002). Berdasarkan jenis-jenis artefak yang ditinggalkan, komunitas Karangagung pada masa lalu bersandar pada perdagangan internasional. Sisa-sisa tiang rumah kayu banyak ditemukan,  memberi gambaran adanya bangunan-bangunan rumah kayu yang dibangun sepanjang sungai lama yang menghubungkan Sungai Lalan dan Sungai Sembilang.

3. Situs-Situs Sriwijaya

3.1.  Pusat Sriwijaya

Penelitian arkeologi yang intensif di Palembang sejak tahun 1970-an sampai tahun 1990-an oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang, telah memperkuat bukti bahwa  Palembang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya. Situs-situs  masa Sriwijaya meliputi Situs Talang tuo, Sungai Tatang,Telaga Batu, Boom Baru, Bukit Siguntang, Karanganyar, Lorong Jambu, Tanjungrawa, Talangkikim, Padangkapas, Lebak Kranji, Kambangunglen, Ladangsirap, Museum Badaruddin, Candi Angsoka, Sarangwati, Gedingsuro, Kolam Pinisi, Sungai Buah dan Samirejo. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan meliputi prasasti, arca, sisa-sisa bangunan batu dan bata (candi atau bangunan lain), kanal-kanal,kolam-kolam, sisa perahu, sisa-sisa industri manik-manik, stupika tanahliat dan cetakan stupika, tembikar,dan keramik. Secara keseluruhan tinggalan arkeologis tersebut berasal dari abad ke-7 – 13 Masehi.

Terkait dengan lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Situs Karanganyar diperkirakan lokasi Dapunta Hyang mendirikan perkampungannya (wanua) yang kemudian berkembang jadi ibukota kerajaan.        Situs Karanganyar dikelilingi oleh kanal atau parit buatan dan di dalamnya terdapat kolam-kolam buatan. Parit yang terpanjang adalah Suak Bujang yang memotong meander Sungai Musi sepanjang 3300 meter. Selain itu ada parit- parit lainnya yang saling berhubungan.

3.2. Situs-situs di Luar Pusat Sriwijaya

Candi Bumiayu

Situs Candi Bumiayu terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Muara Enim. Lokasi situs terletak dekat dengan Sungai Lematang. Keberadaan situs percandian ini pertama kali dilaporkan oleh Tombrink pada tahun 1864, sedangkan penggalian arkeologis pertama kali dilakukan pada tahun 1990 oleh oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Bambang Budi Utomo 1993) dan penggalian mutakhir dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang pada tahun 2005.

Pada situs terdapat 12 gundukan tanah yang mengandung runtuhan bangunan, yang dikelilingi oleh sungai-sungai kecil yang saling berhubungan dengan luas 110 ha. Penggalian arkeologis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian arkeologi Nasional tahun 2002 dan Balai Arkeologi Palembang pada tahun 2002 hingga 2004 membuka 6 gundukan tanah, sedangkan candi yang telah ditampakan secara jelas adalah Candi Bumiayu 1,2 dan 3 (Siregar 2004)

 Gugusan Candi Bumiayu merupakan candi agama Hindu, dengan ditemukannya arca-arca Agastya, Siwa Mahadewa, arca Nandiswara dan Mahakala. Pada kompleks percandian Bumiayu 1 terdiri dari sebuah candi induk dan empat candi perwara, yang dikelilingi oleh pagar. Berdasarkan denah dan bentuk perbingkaian berpelipit sisi genta (padma) dan setengah lingkaran (kumuda) menunjukkan ciri-ciri candi abad ke-8 Masehi, sedangkan bangunan induknya diduga didirikan dalam tiga tahap. Tahap pertama dibangun sekitar abad ke-8 – 9 Masehi dan masih berfungsi hingga abad ke-12 Masehi (Herrystiadi 1993 dalam Siregar 2004).

Tata ruang gugusan candi Bumiayu diperkirakan melambangkan jagad raya yang terdiri dari jambudwipa (benua berbentuk lingkaran yang terletak di pusat) dikelilingi tujuh samudera dan tujuh benua lain. Di luar itu jagad ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah jambudwipa berdirilah Gunung Meru, yaitu gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan dan bintang-bintang. Di puncaknya terletak kota dewa-dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal dari delapan dewa lokapala (Geldern 1982 dalam Siregar 2004).

Dikaitkan dengan gugusan Candi Bumiayu, Candi induk Bumiayu 1 melambangkan Gunung Meru, sedangkan parit keliling candi melambangkan 7 samudera dan 7 benua yang masing-masing berbentuk cincin (Siregar 2004).

Situs Binginjungut

Situs terletak di Kecamatan Muarakelingi, Kabupaten Musi Rawas, di kanan dan kiri tepi Sungai Musi. Schnitger (1937) melaporkan adanya sebuah arca batu di sekitar situs, yaitu arca Awalokiteswara bertangan empat dan tinggi arca 172 cm. Keempat tangannya telah patah dan hilang. Di bagian pung­gungnya terdapat tulisan //daŋ ācāryya syuta// (Bambang Budi Utomo tt).

Dari sejumlah ciri yang dapat dijadikan sebagai penanda untuk mengetahui gaya arca, yaitu dari penggambaran pakaian dan tatanan rambut yang mencirikan adanya penga­ruh gaya seni arca pada masa Śailendra. Sesuai dengan gaya seni yang terlihat, maka dapat dikatakan bahwa arca Awalokiteśwara ini ditempatkan ke dalam periode abad ke-8-9 Masehi yang merupakan masa berkembangnya seni Śailendra (Bambang Budi Utomo tt). 

Pada lokasi yang sama ditemukan sebuah arca batu yang belum selesai, yaitu arca Buddha dalam posisi duduk bersila. Tinggi arca 153 cm. Kondisi arca yang tampak belum selesai dipahat menja­di­kan suatu kesulitan untuk mengetahui ciri-ciri ataupun gaya arca yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menempat­kan arca pada periodenya. Oleh karena arca Buddha ini ditemu­kan di Situs Bingin­jungut, dimana dijumpai pula arca Bodhisattwa Awaloki­teś­wa­ra , kemungkinan arca Buddha dapat dimasuk­kan ke dalam periode antara abad ke-8-9 Masehi (Bambang Budi Utomo tt).
Balai Arkeologi Palembang telah melakukan eksvasi pada tahun 1997 dan 1998 dengan tujuan untuk mengungkapkan arsitektur Candi Binginjungut agar diketahui persamaan dan perbedaan candi itu dengan candi-candi lainnya di DAS Musi. Dari hasil ekskavasi belum diketahui secara pasti bentuk dan arah hadap candi. Meskipun demikian sisa-sisa bangunan candi ini memiliki persamaan dengan Candi Tingkip dan Candi Bumiayu I, yaitu pada profil candi berupa profil sisi genta. Selain itu lantai batu kerakal pada sisa bangunan Candi Binginjungut memiliki persamaan dengan lantai batu kerakal yang ditemukan pada Candi Telukkijing di Kabupaten Musi Banyuasin.
Ekskavasi juga memperoleh artefak lain, yaitu tembikar, keramik dan manik-manik. Tembikar yang ditemukan memiliki persamaan tipe dengan tembikar dari Karanganyar (Palembang), sedangkan keramik yang ditemukan berasal dari Cina masa Dinasti Song abad ke-10 – 13 Masehi.

Situs Teluk Kijing
Situs Teluk Kijing terletak di Desa Kijing, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasing, berada di antara pertemuan Sungai Batanghari Leko dan Sungai Musi. Keberadaan situs ini pertama kali diberitakan oleh Westenenk (1920) yang menggambarkan situs dikelilingi oleh sebuah parit di dalamnya dengan temuan batubata dan sisa besi.

Pada tahun 1995 tim gabungan yang terdiri dari Balai Arkeologi Palembang, CNRS dan EFEO Perancis dan Museum Sumatera Selatan Balaputra Dewa melakukan survey dan menemukan pecahan-pecahan keramik dari abad ke-12 – 13 Masehi, dan sebuah benteng tanah dengan saluran di bagian sisi dalamnya, panjang saluran 1,5 km, lebar 2,5 meter dan tebal 2 meter.

Ekskavasi di Situs Teluk Kijing menemukan hamparan bata-bata yang bersusun tidak beraturan dan di bagian bawahnya ditemukan susunan batu kerakal yang teratur dan diduga bekas lantai. Selain itu ditemukan pula sebuah pecahan relief candi yang menggambarkan seorang penari atau pemusik yang membawa gendang, tetapi bagian kepala telah hilang.

Situs Candi Tingkip

Situs Tingkip terletak di Desa Sungaijauh, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musirawas. Situs ini berada dekat Sungai Tingkip yang bermuara di Sungai Kijang, yaitu salah satu cabang Sungai Lemurus Besar. Di kota Binginteluk Sungai Lemurus Besar bertemu dengan Sungai Rawas, yaitu salah satu cabang Sungai Musi (Budi Santosa 1998).

Temuan yang menarik dari situs ini adalah sebuah arca batu berbentuk Buddha dengan tinggi 172 cm. Arca ditemukan pada sebuah runtuhan candi bata di sekitar Sungai Tinggkip pada tahun 1981.

Suleiman (1983: 209) menafsirkan arca ini dari penggambaran wajah yang menci­rikan wajah arca-arca dari masa seni Dwarawati yang berkembang pada abad antara 6-9 Masehi. Pendapat yang sama mengenai gaya arca diajukan pula oleh Shuhaimi, namun cenderung me­nem­patkan arca pada abad ke-7 Masehi (Nik Hassan Shuhaimi 1992: 24). Berdasarkan peng­amatan ciri yang menun­jukkan bahwa arca Buddha dari Candi Tingkip dipahat dalam gaya mengikuti seni arca Dwa­rawati, maka diduga arca tersebut ber­asal dari abad ke-7-8 Masehi (Bambang Budi Utomo tt).

Penggalian arkeologis (ekskavasi) dilakukan pada tahun 1998 dan 1999 oleh Balai Arkeologi Palembang untuk mengungkap arsitektur Candi Tingkip. Candi Tingkip tinggal bagian dari pondasi atau batur candi, bagian lantai atau selasar dan tangga pintu masuk candi. Candi menghadap ke arah timur. Dua sisi candi, yaitu sisi barat dan sisi timur berukuran 7,60 meter. Walau belum diketahui panjang dari sisi-sisi yang lain, tetapi diperkirakan denah bangunan berbentuk bujursangkar (7,60 meter X 7,60 meter).

Berdasarkan bentuk profil dan arah hadap candi Tingkip yang memiliki persamaan dengan candi-candi di Jawa Tengah, Candi Tingkip mempunyai profil candi yang berkembang pada tahun 750-850.

Situs Candi Lesung Batu

Candi ini terletak di wilayah Desa Lesung Batu, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas. Candi yang berada di dekat Sungai Rawas ini ditemukan sisa bangunan candi dari bata. Situs ini telah dilakukan ekskavasi oleh Pusat Penelitian arkeologi Nasional tahun 1992 dan Balai Arkeologi Palembang.

Di situs ini terdapat sebuah yoni dari batuan breksi, tinggi 70 cm, lebar 75 cm, dan panjang 94 cm.Hiasan yang terdapat pada bagian dinding yoni berupa padma di pelipit bagian atas, ghana di keempat sudut, dan makhluk lain yang dipahatkan dalam posisi berdiri seperti ghana. Hiasan makhluk lain yang bukan ghana itu dipahatkan pada sisi belakang dan kiri cerat. Lubang tempat lińga atau arca berdenah empat per­segi panjang, ukurannya sudah tidak dapat diketahui lagi kare­na telah dirusak penduduk setempat.

4. Penutup

Proses pertumbuhan peradaban Indonesia Kuna di Sumatera Selatan, tidak lepas dari letak geografis yang strategis dari segi pelayaran dan perniagaan. Tentunya awal peradaban itu bermula dari kelompok-kelompok permukiman di daerah pantai di sepanjang Selat Bangka. Situs permukiman Karangagung Tengah, misalnya, berdasarkan beragamnya jenis artefak yang ditinggalkan serta luasnya persebaran situs di sepanjang sungai lama, memberikan gambaran pada sekitar abad ke-4 Masehi terdapat masyarakat yang telah mengenal perdagangan internasional, serta spesialisasi pekerjaan dan stratifikasi sosial (Budisantosa 2002).

        Berkembangnya pusat peradaban di Palembang sejak abad ke-7 didukung oleh masyarakat di DAS Musi yang telah mapan  dalam bidang perniagaan pada abad-abad sebelumnya. Dapunta Hyang memilih lokasi ibukota Sriwijaya yang baru di wilayah kota Palembang sekarang, berdasarkan pertimbangan lokasi Palembang yang strategis, yaitu titik simpul jalur perdagangan dari hilir ke hulu dan sebaliknya. Pusat-pusat komunitas (wanua) yang bermukim di luar Palembang, baik di daerah hulu maupun hilir, apabila melakukan hubungan social-budaya dan juga perniagaan, dipastikan melalui Palembang. Dengan kondisi demikian Palembang  berkembang menjadi pusat peradaban di Sumatera Selatan, dibandingkan dengan lokasi lain termasuk di daerah pantai dekat dengan Selat Bangka, yang pernah menjadi pusat permukiman pra-Sriwijaya.  



DAFTAR  PUSTAKA


Boechari,1993, Hari Jadi Kota Palembang Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, 1993a, Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, 1993a, Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, tt, Arca-Arca di Sumatera, (tidak diterbitkan)
Budisantosa, Tri Marhaeni S, 2002 “Permukiman Pra-Sriwijaya di Karang Agung Tengah: Sebuah Kajian Awal” dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra, vol 7, No.2 Nov. 2002, halaman 65-89, Palembang; Balai Arkeologi
Koestoro, Lucas Partanda, 1993, Tinggalan Perahu di Sumatera Selatan Perahu Sriwijaya?, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Rangkuti, Nurhadi, 1989, “Struktur Kota Sriwijaya di Daerah Palembang, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta 4-7 Juli 1989, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soeroso, 2002, “Pesisir Timur Sumatera Selatan Masa Proto Sejarah: Kajian Permukiman Skala Makro” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX, Kediri 23-27 Juli 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar